❝〔 𝗌𝖾𝗏𝖾𝗇 〕❞

165 36 107
                                    

*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈


Kembali ke warsa dua empat.

Tak terasa, notasi sudah tunjuk angka dua belas kurang. Itu artinya, jam makan siang sebentar lagi akan datang. Lantas, disela perjalanan—yang menurut Biruna agak menyebalkan.

Sebab manusia sebongsor gapura kabupaten seperti Likana terus memeluk tanpa izin dengan alasan takut jatuh dan sayang nyawa. Dia dibuat risih bukan kepalang, berimbas tidak fokus ketika berkendara. Bawaannya mau misuh-misuh terus. Belum saja, benaran dia gas sampai nyawa sungguh seperti mau terlepas.

Memang sih, Biruna ketika jalanan lenggang seperti tengah mempermainkan malaikat yang tengah mencatat. Tidak heran, apabila ibut sering tiba-tiba ngadat. Orang pemiliknya saja alergi disalip kendaraan lain tanpa kecuali, bawaannya mau ngebut. Belum saja, diam-diam diintai malaikat maut.

“Lepas ihhh ..., geli, brengsek!” Biruna mencak-mencak di balik kemudi, sedang Likana tutup telinga. Terlalu parno. Terlepas dari perawakan yang mirip titan, Likana nyatanya tak seberani kelihatan apabila berhadapan dengan ratu jalanan. Dia angkat tangan.

“Makanya, bawa motor tuh jangan kaya ngajak mati bersama. Kita bukan Romeo dan Juliet, ya!” Likana semakin mengeratkan pelukan. Masalahnya, mereka berdua tidak menggunakan helm. Apa tidak berlipat ganda bahayanya?

“Ya, sudah. Sana turun! Aku harus memberi paham bapak-bapak supra itu tadi, enak saja ngejek seperti siput. Aku akan membuktikan kalau matic juga enggak kalah terbaik. Lagipula, siapa yang mau juliet? Dia pelakor, ya!!” Kepala Biruna sedikit menoleh, menunjukkan 𝘴𝘪𝘥𝘦 𝘦𝘺𝘦𝘴 yang sinis.

“Sayang nyawa, bego!” Kepalang jengkel bercampur was-was, Likana menoyor kepala Biruna sampai buat gadis itu injak rem mendadak.

Dia melotot garang dengan kepala yang masih teleng ke samping. Bagaimana tidak, Likana memukul seperti menggunakan ilmu kanuragan. Sakitnya sampai menghasilkan efek kunang-kunang.

“TURUN!!” Sepertinya, sumbu empunya si puan sudah terbakar habis sampai hangus. Jangan harap, ada toleransi.

Sedang, di belakangnya, Likana menggeleng kukuh. “Enggak mau! Belum hapal jalan.”

Mendesah kasar, urat pada leher kini sudah tercetak. Rahang Biruna mengeras. “Benaran jadi tai ikan saja deh, kamu!!” Mungkin, apabila hidup ini seimpulsif komik, kepala Biruna sudah mengepulkan abu vulkanik. Siap meledak.

“Enggak mau, sekarang cita-citaku sudah berubah, mau jadi ikan corydoras saja. Supaya ada kumis sama moncongnya, tapi bukan lele, nanti aku malah makan kamu. Lele suka makan tai soalnya. Kalau Corydoras, aquarium saja aku kuras, apalagi dompet kamu mas!!” Seraya nyengir, membuat dua sabit itu sempurna tenggelam.

“SINTING!!”

“Tapi aku ganteng.”

Tepat ketika Biruna akan membalas penuh nyinyir, Likana potong kalimat. “Ayo jalan, aku traktir bensin dan makan siang.” katanya membujuk, menggeser tempat duduk supaya hadir sedikit ruang tak lupa lepaskan tautan. Mencoba merayu. “Asal, bawa motornya yang kalem-kalem saja, ya. Janji enggak meluk.” Sedikit mencondongkan tubuh guna berbisik.

retorika, tanpa kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang