11

122 22 2
                                    

Hari ini singkat yaa..

.

.


Kim Yoongi, remaja mungil berkulit putih dengan rambut hitam yang halus, duduk di bangku taman dekat rumahnya. Angin sepoi-sepoi menari lembut di antara daun-daun pohon, membuat suasana sore terasa nyaman. Ia memperhatikan sekelilingnya—keluarga-keluarga yang tengah tertawa, mengobrol, dan menikmati waktu bersama. Di satu sisi, ia senang melihat kebahagiaan orang lain, tetapi ada perasaan sepi yang tiba-tiba menyeruak dari dalam dirinya.

Di taman ini, ia sendirian. Hanya ada suara angin yang menemani.

Yoongi merapatkan jaketnya, menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Jarinya dengan cepat menemukan nama kakaknya, Kim Seokjin. Dengan harapan yang tulus, ia menekan tombol panggil. Sudah lama ia tidak bertemu Seokjin, kakaknya yang kini semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter.

Panggilan pertama, hanya berdering. Tidak ada jawaban.

Ia mencoba lagi.

Panggilan kedua, sama. Hanya pesan suara operator yang berbunyi.

Yoongi menunduk, menatap layar ponselnya dengan kecewa. Mungkin kakaknya terlalu sibuk untuk menjawab. Tapi kerinduan yang menggebu membuatnya mencoba sekali lagi. Kali ini, setelah beberapa dering, terdengar suara Seokjin di ujung sana, namun tidak seperti yang Yoongi harapkan.

"Yoongi, kenapa terus menelepon? Aku sedang sibuk, apa nggak bisa nunggu nanti?"

Suara Seokjin terdengar sedikit kesal, seakan Yoongi mengganggu di waktu yang tidak tepat. Yoongi terdiam sejenak, merasakan dadanya sedikit perih. Ia menatap ke arah orang-orang di taman lagi, menyaksikan mereka bercengkerama dengan hangat, sementara dirinya diabaikan.

Yoongi menjawab dengan suara pelan. "Aku... cuma kangen, hyung. Udah lama nggak ketemu."

Seokjin: terdengar menghela napas. "Yoongi, maaf ya. Hyung benar-benar sibuk sekarang. Hyung harus segera ke ruang operasi. Mungkin kita bisa bicara nanti, oke?"

Yoongi menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan kecewa yang makin kuat. Ia tahu Seokjin bukan bermaksud kasar, tetapi sulit rasanya menerima bahwa bahkan untuk sekadar berbicara sebentar, kakaknya tidak punya waktu.

"Iya, nggak apa-apa, hyung. Maaf udah ganggu."

"Nggak, kamu nggak ganggu. Cuma... ya, nanti kita obrol lagi, oke? Jaga diri kamu baik-baik, Yoongi. Hyung sayang kamu."

Setelah kata-kata terakhir itu, panggilan terputus. Yoongi menatap kosong ke layar ponselnya yang gelap. Kata-kata 'aku sayang kamu' memang keluar dari mulut Seokjin, tetapi entah kenapa tetap ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Jarak yang semakin hari semakin jauh.

Yoongi menarik napas dalam-dalam lagi, berusaha menahan perasaan sepi yang kembali menyelimutinya. Di taman yang ramai dengan tawa orang lain, ia tetap merasa sendiri.

.

.

.

Setelah menyelesaikan operasi yang memakan waktu berjam-jam, Seokjin menghela napas panjang. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam. Kelelahan mulai merasuk tubuhnya, namun pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Yoongi. Tadi sore, adiknya menelepon, dan ia sempat menjawab dengan nada kesal. Kini, ada rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Yoongi pasti hanya ingin bicara, hanya ingin melepas rindu.

Seokjin segera menuju ruangannya, meraih ponselnya, dan dengan cepat menekan nomor Yoongi. Ia berharap adiknya masih terjaga. Tak butuh waktu lama, di dering pertama panggilannya terangkat. Namun suara Yoongi yang menyambutnya di seberang terdengar berbeda—datar, seperti tidak bergairah.

"Yoongi, kamu masih bangun?"

Suara Yoongi terdengar sangat datar. "Iya, masih..."

Seokjin merasa ada yang janggal, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya.

"Maaf ya tadi sore... Hyung lagi sibuk banget di rumah sakit. Hyung nggak bermaksud marah atau gimana. Kamu baik-baik aja, kan?"

Yoongi terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang benar-benar datar. "Nggak apa-apa, hyung. Aku ngerti kok, Hyung sibuk."

Di seberang, Yoongi menggigit bibirnya. Ia menunduk, menggenggam selimutnya erat, mencoba menahan perasaan sesak di dadanya. Seokjin mungkin tidak menyadari, tetapi ada sesuatu yang terasa berat di hatinya sejak panggilan sore tadi.

Seokjin sendiri merasa sedikit lega. "Baguslah kalau kamu ngerti. Tadi kamu mau ngomongin apa? Apa ada yang penting?"

"Nggak ada yang penting, cuma... Aku kangen aja, hyung." Yoongi berusaha menjaga suaranya agar tetap stabil.

Seokjin tersenyum kecil di ujung telepon, meskipun ia tidak bisa melihat wajah adiknya.

"Hyung juga kangen sama kamu, Yoongi. Tapi sekarang udah malam, kamu nggak ngantuk?"

Yoongi terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar lebih pelan.

"Mungkin... Tapi nggak bisa tidur."

Ada getaran di suara Yoongi yang membuatnya terdengar rapuh, tetapi Seokjin tidak menyadarinya. Baginya, itu mungkin hanya tanda Yoongi mulai mengantuk.

"Ah, ya, wajar kalau kamu nggak bisa tidur karena tadi tidur siangnya lama, ya? Hyung janji, kalau ada waktu, kita bisa ngobrol lebih lama. Sekarang coba istirahat dulu, ya?" ujar Seokjin.

Yoongi berusaha tersenyum meski air mata mulai menetes. "Iya... aku coba tidur."

Seokjin tersenyum puas mendengar jawaban Yoongi.

"Oke. Jaga kesehatan kamu, Yoongi. Hyung sayang sama kamu. Selamat tidur, ya."

Yoongi menjawab dengan suaranya yang nyaris tercekat, tapi ia berusaha menahannya sekuat tenaga. "Iya, selamat tidur, hyung."

Setelah panggilanberakhir, Yoongi membiarkan ponselnya jatuh di atas bantal. Air matanyaakhirnya jatuh bebas, membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa kosong. Iamerindukan Seokjin lebih dari apa yang bisa diungkapkannya, tetapi kenyataanbahwa kakaknya terlalu sibuk selalu membuatnya merasa sendirian.

.

.

.

tbc...

Hyungie & UngieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang