10

115 20 2
                                    

Hai.. lama ngga berjumpa 

Masih ada yang nungguin Hyungie dna Ungie ga ya?

.

.

Di bawah langit malam yang dihiasi bintang-bintang, Yoongi duduk sendirian di teras rumah, memandang luasnya langit dengan tatapan hampa. Ada keheningan yang begitu terasa dalam hatinya, dan rasa kesepian yang semakin kuat membungkus jiwanya. Ia mengingat perayaan ulang tahunnya tiga tahun yang lalu, di mana semua orang yang ia cintai berkumpul, tersenyum, dan memberikan kehangatan yang tak terlupakan. Tapi malam ini, hanya bintang yang menemani.

"Apa mereka lupa padaku?" bisiknya dalam hati, suaranya hampir tenggelam dalam udara malam yang tenang.

Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu, dan hidup terasa begitu berbeda. Seokjin, kakak yang dulu selalu ada untuknya, kini lebih banyak menghabiskan waktu di apartemennya setelah bekerja di rumah sakit. Hoseok, sepupu yang ceria, yang dulu selalu datang dengan leluconnya, kini sibuk dengan pertemuan-pertemuan dan pekerjaannya sendiri. Namjoon, juga sering tidak terlihat karena tuntutan hidupnya. Bahkan Jimin, Taehyung, dan Jungkook—yang pernah berjanji untuk selalu ada—sekarang tampak jauh, terjebak dalam kehidupan masing-masing. Semuanya seperti menghilang satu per satu, meninggalkan Yoongi dalam kesepian yang semakin lama semakin pekat.

"Apakah aku ini hanya beban bagi mereka?" pikir Yoongi, air matanya perlahan jatuh. Tubuhnya mungkin terlihat kuat, tapi hatinya jauh lebih terluka karena rasa kehilangan yang mendalam. Setiap malam yang ia lalui semakin terasa sunyi, dan dunia yang dulu dipenuhi tawa sekarang terasa begitu hampa.

Yoongi terus memandang langit, seolah berharap ada satu bintang yang akan menjawab segala pertanyaannya. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, yang ia temui hanyalah diam.

Sementara itu di rumah sakit, Seokjin merasakan kepedihan yang mendalam ketika melihat pasien muda di hadapannya, tubuhnya penuh dengan luka parah yang sulit sembuh karena kondisi hemofilia. Setiap pergerakan, setiap darah yang mengalir sulit untuk dihentikan, mengingatkannya pada Yoongi.

Bayangan Yoongi yang rentan dan rapuh seketika muncul dalam pikirannya. Meski Yoongi saat ini tidak mengeluhkan saki tapa-apa, ketidakberdayaan dan kerapuhan yang sama terlukis di benaknya. Seokjin merasa seperti melihat adiknya sendiri terbaring di ranjang rumah sakit, terluka, tanpa daya.

"Hemofilia," gumamnya dalam hati, "sama seperti Yoongi..."

Pikiran itu menghantuinya, membuatnya semakin pedih. Seokjin menghela napas berat, mencoba kembali fokus pada tugasnya. Namun, dalam benaknya, ia tak bisa berhenti membayangkan apa yang terjadi jika suatu hari Yoongi harus menghadapi situasi yang serupa—rapuh, tak berdaya, dan dalam bahaya. Baginya, setiap kehidupan yang ia selamatkan selalu mengingatkannya betapa berharganya waktu bersama Yoongi.

.

.

.

Di kamar apartemennya di London, Jimin menatap langit malam yang pekat dari balik jendela besar. Suasana di luar begitu hening, hanya suara gemericik hujan yang samar-samar terdengar. Di tangannya, ponsel menyala dengan layar yang menampilkan foto lama—momen kebersamaannya bersama para sepupu di masa lalu. Wajah Yoongi yang tersenyum lebar di foto itu, terlihat sehat dan penuh semangat, kini terasa seperti kenangan yang jauh.

Jimin menutup matanya sejenak, menghela napas panjang. Kesepian merayapi dirinya. Sejak meninggalkan kampung halaman untuk menempuh pendidikan lanjutan di Royal College of Art, ia merasa ada jarak yang makin lebar dengan keluarganya. Hoseok dan Namjoon, kakak kembarnya, selalu sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan mereka masing-masing. Seokjin dengan pekerjaannya yang tak kenal waktu, Taehyung dan Jungkook dengan rutinitas mereka, dan Yoongi... Yoongi, sepupu yang paling dekat dengannya, tidak ia ketahui bagaimana kabarnya hingga detik ini.

Ingin rasanya Jimin menelepon Yoongi malam itu. Ia membayangkan suaranya, bagaimana suara lembut Yoongi selalu bisa membuatnya merasa lebih baik, seolah memberikan kekuatan meskipun hanya dari kejauhan. Tapi ada sesuatu yang menahan Jimin. Di hatinya, ada rasa berat yang sulit ia jelaskan. Rasa bersalah yang menghantuinya. Di tengah semua rutinitas dan kesibukan, Jimin merasa seolah telah meninggalkan Yoongi sendirian untuk berjuang tanpa dukungan langsung darinya.

"Bagaimana mungkin aku bisa meneleponnya dan bertanya kabarnya, sementara aku bahkan tidak ada di sisinya?" batin Jimin. Ia merasa malu. Malu pada diri sendiri, karena meskipun ia merindukan Yoongi, ia tak pernah bisa meluangkan waktu untuk benar-benar pulang atau berada di sana untuknya. Ada kontrak yang mengikatnya di sini, kewajiban yang tak bisa ia tinggalkan begitu saja, tapi di sisi lain, ia tahu betul bahwa Yoongi pasti merindukan kehadirannya.

Ponsel di tangannya bergetar ringan. Sebuah pesan masuk dari manajernya tentang pertemuan esok pagi. Jimin menatap pesan itu dengan mata lelah, lalu menguncinya kembali tanpa membalas. Kesibukan, kontrak, karier—semuanya mengurungnya di London, jauh dari keluarga yang dicintainya. Jauh dari Yoongi.

Dengan perasaan kacau, Jimin akhirnya meletakkan ponselnya di meja dan meraih pensil serta sketsa. Setidaknya, melalui seni, ia bisa mengekspresikan perasaan yang tak mampu ia ucapkan. Tangannya mulai bergerak, menggambar sosok Yoongi di atas kertas. Meskipun mereka berjauhan, melalui karya seni inilah Jimin berharap bisa tetap dekat dengan adik sepupunya, setidaknya di dalam pikirannya.

.

.

.

Di meja makan di apartemen mereka, Jungkook dan Taehyung duduk berhadapan sambil menikmati makanan yang Taehyung bawa pulang setelah seharian bekerja. Suasana hening, hanya terdengar bunyi alat makan yang sesekali beradu dengan piring. Namun, pikiran Jungkook melayang ke tempat lain. Di tengah-tengah suapan makanannya, ia teringat sepupu kecil mereka, Yoongi, yang sekarang menjalani hari-harinya sendirian di rumah besar keluarga.

"Hyung," Jungkook memecah keheningan, menatap Taehyung dengan mata serius. "Aku merasa bersalah. Aku benar-benar kehilangan waktu bersama Yoongi. Kita semua sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing, tapi Yoongi... dia sendirian di rumah, tanpa siapa pun."

Taehyung berhenti mengunyah sejenak, menatap adiknya, lalu mengangguk pelan. "Aku tahu, Kook. Aku juga memikirkannya. Terutama dengan kondisi kesehatannya sekarang."

Mereka berdua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Faktanya, mereka bertujuh, yang dulu selalu bersama-sama, kini tersebar menjalani mimpi dan tujuan hidup masing-masing. Taehyung sibuk mengambil alih perusahaan mendiang orang tua mereka, sementara Jungkook kini tinggal bersamanya, mengikuti langkah kakaknya. Seokjin yang bekerja tanpa henti sebagai dokter sering kali tak ada di rumah. Sementara itu, Yoongi harus menghadapi semua ini sendirian.

"Aku bisa membayangkan betapa kesepiannya dia di rumah besar itu," ujar Jungkook lagi, suaranya sarat dengan rasa bersalah. "Kita tahu bagaimana Seokjin hyung kalau sudah bekerja. Dia pasti jarang ada di rumah. Aku harap Yoongi baik-baik saja."

Taehyung meletakkan sumpitnya dan menghela napas panjang. "Mungkin setelah ini, kita bisa cari waktu untuk mengunjunginya. Mungkin tidak lama, tapi aku yakin Yoongi akan merasa lebih baik kalau kita datang menemaninya, walau sebentar."

Jungkook tersenyum kecil, meski masih ada beban di hatinya. "Kuharap begitu, Hyung."

.

.

.

kayanya bakal lanjut deh...

"kayanya", yaaaaa

Hyungie & UngieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang