12

120 23 2
                                    

Yoongi duduk di dapur yang luas dan sunyi, hanya ditemani suara detik jarum jam yang terus berdetak. Hari-harinya di rumah besar itu kini tidak lagi membuatnya takut, tetapi kesepian yang menggerogoti hatinya terasa lebih menyakitkan. Panggilan terakhir dengan Seokjin sudah berlalu beberapa hari, dan Yoongi tidak lagi berharap kakaknya akan segera pulang. Ia sudah pasrah, mungkin memang seperti inilah kehidupannya sekarang—terbiasa sendirian.

Sore itu, Yoongi merasa ingin makan buah apel. Ia berjalan menuju dapur dan mengambil pisau, lalu mulai mengupas apel dengan perlahan. Namun, di tengah-tengah kegiatannya, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Pisau yang ia genggam tergelincir, dan tanpa sengaja melukai jarinya.

"Ah!", teriaknya spontan karena terkejut.

Ia terkejut, melihat darah yang mulai mengalir dari luka di jari telunjuknya. Panik, ia menjatuhkan pisau, tetapi pisau itu malah terjatuh ke arah kakinya dan menggores punggung kakinya dengan sayatan yang cukup dalam.

"Aduh... sakit...", suaranya kembali mengudara, penuh keluhan.

Rasa sakit yang tiba-tiba menyerang membuatnya bingung. Ini pertama kalinya ia terluka seperti ini. Dengan tangan gemetar, ia mengambil tisu dan kapas yang ada di dapur, berusaha menghentikan darah yang mengalir dari kedua lukanya. Namun, darah itu tidak juga berhenti. Setiap kali ia menekan tisu ke lukanya, darah terus merembes keluar, membasahi tisu hingga merah pekat. Kepalanya mulai terasa ringan, dan tubuhnya semakin lemah.

"Kenapa... kenapa darahnya nggak berhenti...?", tanyanya yang hanya berbalas kekosongan.

Peluh dingin membasahi dahinya. Ia mencoba berdiri, tetapi tubuhnya terasa semakin berat. Pemandangan di sekitarnya mulai memudar, dan sebelum ia sadar, Yoongi sudah bersandar pada kulkas, matanya setengah tertutup.

Saat itulah, pintu rumah terbuka, dan pembantu rumah tangga Yoongi masuk dengan barang-barang belanjaan di tangannya. Ketika ia melihat majikan kecilnya yang duduk pucat bersandar di kulkas, dengan darah yang menetes dari jari tangan dan punggung kaki, ia langsung terkejut.

"Ya ampun, Tuan Muda! Apa yang terjadi?!"

Dengan cepat, ia menjatuhkan barang belanjaannya dan bergegas ke arah Yoongi. Ia berlutut, memeriksa luka di tangan dan kaki Yoongi, yang sudah terlalu parah untuk diatasi dengan tisu atau kapas biasa.

"Tuan Muda, jangan pingsan! Saya panggil pengawal sekarang!" Ia berlari ke luar rumah, memanggil para pengawal dengan cemas.

"Cepat! Majikan kecil terluka! Panggil supir, kita harus segera ke rumah sakit! Kabari Tuan Muda Seokjin juga! Cepat.. cepat!!"

Salah satu pengawal langsung bergegas menyiapkan mobil, sementara pembantu kembali ke dapur untuk memastikan Yoongi tetap sadar.

"Tuan Muda, tahan ya, kita akan segera ke rumah sakit. Tolong jangan tertidur!"

Yoongi, yang semakin lemas, hanya mampu mengangguk pelan. Matanya semakin berat, dan ia mulai kehilangan kesadarannya sedikit demi sedikit.

"Maaf... aku... aku cuma mau makan apel...", ucapnya dengan suara pelan.

"Jangan bicara dulu, Tuan Muda. Kita harus menghentikan darahnya dulu. Tolong bertahan.", sanggah sang pembantu rumah tangga itu.

Dengan bantuan pengawal, pembantu itu membawa Yoongi ke dalam mobil dan bergegas menuju rumah sakit, berdoa agar majikan kecilnya tidak kehilangan lebih banyak darah. Pikirannya dipenuhi rasa cemas, sambil terus berusaha menenangkan Yoongi sepanjang perjalanan.

.

.

.

Sesampainya di rumah sakit, Yoongi segera diangkat oleh pengawal dan diletakkan di atas brankar. Perawat-perawat yang sudah siaga dengan cepat mendorong brankar itu menuju UGD. Di belakangnya, pembantu Yoongi mengikuti dengan wajah pucat, mencoba menjelaskan situasi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hyungie & UngieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang