Malam itu, di kafe milik Faiz yang biasa menjadi tempat bersantai Ayesha, ia duduk di meja pojok bersama dua sahabat karibnya, Sany dan Alina. Cahaya lampu yang hangat memantul lembut dari dinding kayu, menciptakan suasana nyaman dan tenang di sekeliling mereka. Tawa ringan dan percakapan santai mengisi meja mereka, membahas hal-hal kecil seputar kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah suasana santai itu, tiba-tiba Ayesha melemparkan kalimat yang membuat suasana berubah drastis.
Ayesha meneguk kopinya perlahan, lalu dengan tenang, ia berkata, “Aku berpikir untuk ke London.”
Alina, yang sedang memeriksa ponselnya, seketika menoleh. Matanya melebar, tidak menyangka apa yang baru saja didengarnya. Di sebelahnya, Sany diam-diam menarik napas panjang. Dia sudah menduga percakapan ini akan datang, meski tetap saja mendengar langsung dari mulut Ayesha membuatnya sedikit terkejut.
Alina, dengan nada bingung dan sedikit panik, langsung bertanya, “Ke London? Kenapa tiba-tiba, Ayesha? Kamu nggak pernah bilang mau pergi jauh.”
Sany menatap Ayesha dari sudut matanya, mencoba mengukur emosi yang tersirat di wajah sahabatnya itu. Di luar, Ayesha terlihat tenang, bahkan tersenyum tipis. Tapi Sany tahu lebih baik dari itu. Di balik senyuman Ayesha, ada beban yang sedang dipikulnya, sesuatu yang tidak ingin Ayesha ungkapkan secara langsung.
“Ada apa, Sha?” Alina menambahkan, nadanya penuh dengan kekhawatiran. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu nggak biasanya kayak gini."
Ayesha hanya tersenyum samar, menatap cangkir kopinya seolah mencari jawabannya di dalam cairan hitam yang berputar. “Aku cuma merasa perlu menjauh sebentar. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Di sini... semuanya terasa terlalu sesak.”
Sesak. Satu kata itu cukup untuk menggambarkan apa yang dirasakan Ayesha akhir-akhir ini. Perasaannya terhadap Faiz, kebingungan di antara mereka, dan sekarang, Ayna yang terlibat dalam lingkaran itu—semua membuat hatinya berputar-putar, mencari arah yang tak kunjung ditemukan. London terasa seperti pelarian yang tepat, setidaknya untuk sementara waktu.
Alina menatapnya dalam-dalam, berusaha mencari makna lebih dari kata-kata Ayesha. “Apa kamu yakin ini yang terbaik, Sha? London bukan tempat yang dekat. Apa ini hanya karena kamu ingin melarikan diri?”
Sany diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Ia tahu apa yang dirasakan Ayesha—meski Ayesha belum pernah mengatakannya secara gamblang, ia bisa merasakan perasaan sahabatnya itu. Mereka telah bersama dalam banyak fase kehidupan, dan Sany paham, kadang kala Ayesha butuh waktu sendirian untuk menemukan jawabannya sendiri. Karena itulah, meskipun tahu lebih banyak, Sany tetap diam. Ia tidak ingin memaksa Ayesha berbicara sebelum ia siap.
“Kadang, kita butuh jarak untuk bisa melihat sesuatu dengan lebih jelas,” jawab Ayesha pelan. Ia kemudian tersenyum kepada Alina, mencoba menenangkan sahabatnya yang jelas-jelas masih cemas. "Aku nggak melarikan diri. Aku cuma butuh waktu untuk memikirkan semuanya."
Sementara itu, di sudut lain kafe, Faiz berdiri di balik bar, tak jauh dari tempat duduk mereka. Ia tengah membersihkan gelas saat tanpa sengaja mendengar percakapan itu. Awalnya, ia tak begitu memerhatikan, tetapi ketika telinganya menangkap nama “London,” kepalanya langsung menoleh ke arah mereka. London? Kenapa Ayesha tiba-tiba ingin ke London?
Faiz berhenti melangkah, tatapannya tertuju lurus ke arah Ayesha. Meski ia mencoba untuk tetap tenang, hatinya dipenuhi kegelisahan. Ayesha tak pernah mengatakan sesuatu tentang pergi jauh sebelumnya. Apakah ini ada hubungannya dengan perasaan yang selama ini Faiz simpan dalam diam? Ada sesuatu yang berubah dalam diri Ayesha, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.
“Kenapa dia ingin pergi?” Faiz bertanya pada dirinya sendiri, pandangannya tertuju pada meja tempat Ayesha duduk bersama kedua sahabatnya. Mereka tertawa kecil, tapi Faiz tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik percakapan ringan itu. Rasanya ia ingin menghampiri Ayesha, menanyakan langsung apa yang terjadi. Namun, ia menahan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teratai Biru
Teen FictionDi kota Yogyakarta yang kaya akan budaya dan sejarah, Faiz, seorang dosen muda yang penuh semangat, menjalani kehidupannya dengan baik. Ia memiliki segudang impian dan passion dalam mengajar, tetapi ada satu hal yang mengganjal di hatinya: sahabatny...