Bordeaux, 1875.
Belasan kaki dari para Serviteur (Pelayan Rumah Tangga) sejak tadi berlalu-lalang di hadapanku. Begitu juga dengan beberapa peti kayu dari ruang penyimpanan dan tidak tahu berapa gulung kertas perkamen dari ruangan Papa sejak tadi dipindahkan ke dalam kereta angkut. Membuat aku yang melihatnya dari atas tangga kediamanku menjadi jengah. Terlalu banyak hiruk-pikuk yang terjadi di rumah ini selama beberapa bulan ini.
Padahal sudah hampir 15 tahun sejak revolusi perdagangan yang katanya membuat keluargaku hampir dilanda pailit. Atau mungkin karena isu perang dunia yang kabarnya terpicu hingga Eropa, membuat Papa begitu gencar dengan urusannya.
Papa bahkan belum berbicara lagi denganku dan sibuk mengurusi bisnisnya itu. Yang aku tahu, Papa sedang sibuk mengurusi belasan gudang dan gedung toko miliknya di Britania. Membuat pria tua itu terus berpergian dari Prancis ke Britania dan kembali lagi. Begitu juga dengan Maman yang pada akhirnya selalu ikut dengan Papa.
"Monsieur (Tuan) Hugand, seluruh barang sudah selesai diangkut. Kita bisa berangkat dalam lima belas menit. Jika menunggu lagi, kita bisa terlambat dalam konferensi besok pagi."
Oh. Itu dia Percy. Pengikut setia Papa yang selalu menjadi penghantar salamku untuknya. Seperti biasa, arloji sakunya selalu menggantung di depan dadanya. Percy benar-benar manusia yang tepat waktu. Karena itu Papa menyukainya.
"Percy!" panggilku seraya menuruni tangga berlapis permadani berwarna merah marun dengan sepasang kaki kecilku. Buku yang sejak tadi kupegang kini tertutup dan kupeluk di depan dada. Kulihat dia menoleh dan melirik ke arahku yang bahkan tak setinggi pinggangnya.
"Percy, apakah Papa akan pergi untuk waktu lama?" Aku bertanya sambil mendongak ke arahnya yang sejujurnya membuat leherku sakit jika berlama-lama seperti.
Lelaki berambut ikal di depanku ini mengangguk. "Dua bulan," jawabnya yang tentu saja membuatku langsung menunduk dengan wajah tertekuk. Lagi-lagi pergi dalam waktu lama.
"Bagaimana dengan Maman (Mama)?" Baru saja aku bertanya tentang Maman, Brie muncul dari pintu besar di sisi kananku sambil menenteng koper berlapis kulit yang aku tahu itu milik Maman.
Seketika pundakku melemas. Pandanganku mengikuti gerakan Brie yang kini meletakkan koper Maman ke dalam mobil uap milik Papa di depan pintu kediaman keluargaku. Sudah jelas, Maman pasti ikut pergi bersama Papa ke Britania selama dua bulan. Lagi-lagi meninggalkan aku sendirian di Hugand de Manoir (Kediaman Keluarga Hugand) bersama para Serviteur.
"Ma chérie (Sayangku)." Sebuah panggilan lembut terdengar dari arah belakang. Membuat aku menoleh dan menemukan Papa serta Maman yang sudah berpakaian tebal dengan mantel mereka. Musim dingin segera tiba dan pasti mereka akan kedinginan sepanjang perjalanan.
"Papa ... Maman ... Apakah kali ini aku masih tidak boleh ikut? Bisakah sekali saja aku ikut dengan kalian?" pintaku pada dua orang dewasa yang kini berada di depanku. Papa tentu saja tidak tersenyum, hanya Maman yang tersenyum lalu mengusap pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WITCH IN MY ROOM
FantasíaSetelah seratus tahun lamanya, bulan purnama merah akhirnya kembali menampakkan dirinya di mata manusia. Membangkitkan kembali ketakut seluruh negeri akan legenda dari para penyihir merah yang akan muncul untuk mencari pengantin prianya. Namun, berb...