Happy reading
Arshaka melangkah lesu di trotoar yang basah, embun pagi membasahi sepatunya. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, terasa begitu berat. Ia menutup matanya sejenak, mencoba merasakan sinar matahari yang mulai menyembul di balik awan kelabu. Namun, dalam hati, rasa sepinya tak kunjung sirna. Pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Setelah lulus dari SMP, Arshaka harus menghadapi kenyataan pahit—hidup dalam keluarga yang hancur berantakan. Ayahnya pergi meninggalkan keluarganya untuk wanita lain, sementara ibunya tenggelam dalam kesedihan yang dalam, tidak mampu mengurus anak-anaknya. Keberadaannya di rumah terasa seperti bayang-bayang yang selalu terpinggirkan. Meskipun usianya baru enam belas tahun, Arshaka merasakan beban hidup yang jauh lebih berat dari usianya.
Di dalam benaknya, terngiang-ngiang suara ibunya, "Kamu harus kuat, Sha. Hidup ini tidak mudah." Kata-kata itu kini terdengar seperti sebuah mantra yang membelenggunya. Namun, apa artinya kekuatan jika tidak ada satu pun yang dapat diandalkan?
Saat menginjakkan kaki di depan sebuah kedai kopi kecil, Arshaka ragu. Ia biasanya tidak terlalu suka berkumpul di tempat ramai, tetapi hari ini, ia merasa butuh sesuatu yang berbeda. Aroma kopi yang menggoda membuatnya terpesona. Ia menelan ludah, seolah sudah lama tidak merasakan hal yang menyenangkan.
Dia melangkah masuk, merasa bingung dengan pilihan menu yang ada di papan. Sambil menunggu antrian, dia melihat ke sekeliling. Sebuah meja di pojok menyita perhatiannya. Seorang gadis muda, sekitar sebaya dengannya, sedang duduk dengan wajah serius, mengaduk kopi dalam cangkirnya. Raut wajahnya mencerminkan kedalaman pikirannya, seolah dunia di luar sana tidak ada artinya baginya.
Setelah memesan secangkir cappuccino, Arshaka duduk di meja yang bersebelahan dengan gadis itu. Dia tidak ingin mengganggu, tetapi matanya tak bisa lepas dari gadis itu. Satu hal yang menarik perhatian adalah senyum manis yang tiba-tiba muncul di wajahnya ketika dia melihat Arshaka mengamati cangkirnya.
"Apakah kamu juga suka kopi?" tanyanya dengan nada ceria, seolah-olah menghapus semua kesedihan yang ada di dalam hatinya.
Arshaka tersentak, tidak tahu harus menjawab apa. "Ya, aku suka. Ini pertama kalinya aku ke sini," jawabnya pelan, mencoba tersenyum meski hatinya penuh dengan keraguan.
Gadis itu memperkenalkan dirinya. "Aku Azalea. Senang bertemu denganmu, Arshaka." Dia berbicara dengan nada hangat yang membuat Arshaka merasa nyaman. Ada sesuatu yang menenangkan dalam suara dan senyumnya.
"Senang bertemu juga, Azalea," balas Arshaka, mencoba menampilkan sikap santai. Namun, dalam hati, dia merasakan gelombang emosi yang tak terduga.
Mereka mulai berbincang-bincang, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Azalea mengungkapkan bahwa dia hidup bersama adiknya setelah orangtuanya bercerai. "Aku harus bekerja keras untuk menghidupi kami berdua," katanya dengan tatapan yang penuh tekad. "Kadang, aku merasa seperti tidak bisa menangani semua ini."
Arshaka bisa merasakan kedalaman emosi yang tersembunyi di balik kata-kata Azalea. Dia merasa terhubung, seolah mereka berbagi beban yang sama meski dari latar belakang yang berbeda. "Aku mengerti," jawabnya. "Kehidupan bisa sangat sulit, kadang kita hanya butuh seseorang untuk diajak bicara."
Azalea tersenyum, dan senyum itu menyentuh hatinya. Di tengah kesedihan yang mengelilingi hidup mereka, momen kecil ini terasa seperti cahaya yang menerangi jalan yang gelap. Mereka melanjutkan percakapan, berbagi tawa dan kisah-kisah sederhana, seolah-olah dunia di luar kedai kopi itu tidak ada.
Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Saat Azalea melihat jam di ponselnya, wajahnya tiba-tiba berubah. "Oh tidak, aku harus pergi! Adikku pasti menunggu," katanya dengan panik.
"Semoga harimu menyenangkan, Azalea," ucap Arshaka, meski hatinya terasa berat saat dia melihat gadis itu bersiap untuk pergi.
Azalea menghentikan langkahnya, menoleh kembali ke Arshaka. "Tunggu! Mungkin kita bisa bertemu lagi di sini? Aku suka berbicara denganmu," ucapnya dengan senyuman yang menawan.
Arshaka merasa jantungnya berdegup kencang. "Ya, aku juga ingin itu," jawabnya, merasa seolah dia tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Ada harapan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, harapan yang sudah lama hilang.
Setelah berpamitan, Arshaka tetap duduk di tempatnya, merenungkan percakapan yang baru saja terjadi. Kehangatan yang ditinggalkan Azalea membangkitkan sesuatu di dalam dirinya yang sudah lama padam. Saat dia menyesap cappuccino yang masih hangat, dia merasa seolah hidupnya yang penuh dengan kesedihan perlahan-lahan mulai menemukan arti.
Namun, saat dia beranjak pergi dari kedai itu, bayang-bayang masa lalunya kembali menghantuinya. Dia harus pulang ke rumah yang sunyi, di mana kenangan pahit menunggu. Tetapi, di balik semua itu, sebuah harapan baru mulai berakar. Pertemuan dengan Azalea mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih baik, sebuah cahaya di ujung terowongan gelap yang selama ini membelenggunya.
Ketika Arshaka melangkah keluar dari kedai kopi, sinar matahari yang hangat menyentuh wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasakan sedikit kebahagiaan. Mungkin, hanya mungkin, dia tidak lagi sendiri.
Kehidupan baru menantinya, dan di balik luka-lukanya, ada harapan yang sedang tumbuh. Pertemuan ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang akan membawa mereka melewati tantangan hidup dan mengubah nasib mereka selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA DAN HARAPAN
RomanceSinopsis "Luka dan Harapan" mengisahkan perjalanan dua remaja, Arshaka dan Azalea, yang terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan luka emosional. Arshaka, seorang pemuda yang terlahir dalam keluarga broken home, berjuang melawan ins...