bayang bayang masa lalu

0 0 0
                                    


Happy reading

Sehari setelah pertemuan mereka di kedai kopi, Arshaka masih merasa terjebak dalam momen-momen indah yang dibagikan dengan Azalea. Dia tidak bisa menghilangkan senyuman di wajahnya, meskipun hidupnya di rumah masih sama—gelap dan sepi. Kembali ke rutinitas harian, ia merasa beban di pundaknya semakin berat.

Dia baru saja bangun dari tidur yang tidak nyenyak, mengingat semua masalah yang harus dihadapinya. Arshaka menatap langit-langit kamarnya, merasakan sakit kepala yang melanda akibat insomnia yang terus menerus menghantuinya. Setiap malam, suara-suara di pikirannya menjadi semakin keras, mengingatkan dia akan luka yang tak kunjung sembuh. Ayahnya, ibunya, dan segala keributan yang menyakitkan membuatnya merasa tidak ada tempat untuk bersembunyi.

Dengan rasa malas, ia beranjak dari tempat tidur dan bersiap untuk berangkat sekolah. Saat melihat wajahnya di cermin, ia merasa bingung—mencari sedikit harapan di balik tatapan kosong yang mencerminkan kepedihan.

Di sekolah, Arshaka duduk di bangku belakang di kelas. Teman-temannya selalu ramai dan penuh tawa, tetapi semua itu terasa seperti jarak yang tak terjangkau baginya. Mereka mengobrol dan bercanda, sementara Arshaka hanya bisa mendengarkan. Tiba-tiba, dia teringat Azalea dan percakapan mereka. Rasa hangat yang ditinggalkan gadis itu membuatnya tersenyum sendiri.

“Eh, Arshaka!” suara Fajar, teman sekelasnya, menyadarkannya dari lamunan. “Kau kenapa? Senyummu aneh banget.”

Arshaka terkejut dan cepat-cepat menyembunyikan senyumnya. “Nggak, aku baik-baik saja,” jawabnya, meski dia tahu bahwa Fajar bisa merasakan ada yang tidak beres.

Fajar menatapnya curiga. “Ayo, ceritakan! Kau pasti jatuh cinta ya?” Dia menggoda, sementara teman-teman lain di sekelilingnya tertawa.

“Apa sih, jangan aneh-aneh,” Arshaka membalas, tetapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Mungkin ada sesuatu yang menyenangkan dalam hidupnya, meski itu hanya bayangan Azalea.

Setelah jam pelajaran berakhir, Arshaka bergegas menuju tempat parkir sepeda untuk pulang. Di tengah jalan, matanya tertuju pada sebuah poster di tembok. Sebuah pengumuman tentang acara seni di sekolah yang akan diadakan akhir pekan depan. Dia melihat nama-nama siswa yang terlibat, dan tiba-tiba ingatan tentang Azalea muncul kembali. Mungkin dia juga akan datang. Keinginan untuk bertemu lagi membakar semangatnya.

Sambil berkendara pulang, pikirannya kembali kepada Azalea. Dia membayangkan senyum manisnya dan bagaimana dunia seakan terasa lebih berwarna saat berada di dekatnya. Namun, saat ia tiba di rumah, semua harapan itu seakan runtuh. Suasana di dalam rumah sangat sunyi. Hanya ada suara televisi yang berdengung dari ruang tamu, tempat ibunya duduk melamun dengan tatapan kosong.

“Sha, pulang ya?” Ibunya bertanya tanpa melihatnya, hanya menatap layar televisi. Arshaka merasa sedih melihat ibunya yang tidak berdaya.

“Ya, Bu,” jawabnya sambil berusaha tersenyum. Dia ingin menghiburnya, tetapi dia sendiri merasa kehabisan energi. Setiap hari terasa semakin berat. Dalam suasana seperti ini, Arshaka merasakan adanya jarak yang semakin lebar antara mereka.

Dia pergi ke kamarnya dan menutup pintu, merasa terasing di dalam rumahnya sendiri. Setiap kali dia berusaha berbicara dengan ibunya, dia selalu merasa tidak ada yang mendengarkan. Dia ingin berbagi tentang harapan dan kebahagiaannya, tetapi bagaimana mungkin jika mereka berdua terjebak dalam kesedihan masing-masing?

Malam pun tiba, dan sekali lagi, Arshaka terjaga di tempat tidur. Dia mencoba menutup mata, tetapi suara-suara di pikirannya kembali menghantuinya—suara ayahnya, tangisan ibunya, dan semua kenangan menyakitkan. Tidur seolah menjadi mimpi yang tak terjangkau. Rasa sepi itu menyelimuti, membuatnya merasa semakin terasing.

Dia teringat akan Azalea. Kenangan manis bersamanya menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan itu. Harapan itu membuatnya berusaha bangkit, meskipun terasa sulit. Arshaka memutuskan bahwa dia harus bertemu Azalea lagi. Mungkin dia bisa menemukan kekuatan untuk menghadapi masa lalu dan masa depan yang tidak pasti.

Keesokan harinya, Arshaka pergi ke kedai kopi tempat mereka bertemu. Jantungnya berdegup kencang saat dia memasuki ruangan yang sama. Pikirannya dipenuhi harapan dan kecemasan—apakah Azalea akan datang?

Dia mencari-cari di antara para pengunjung, dan hatinya terasa melambung ketika dia melihat sosok Azalea duduk di sudut yang sama seperti sebelumnya, dengan senyum ceria yang menghiasi wajahnya. Rasa lega dan bahagia menyelimuti hatinya, membuatnya merasa seolah semua beban di pundaknya perlahan menghilang.

“Arshaka!” seru Azalea saat melihatnya. “Aku tidak menyangka kamu akan datang!”

“Ya, aku datang untuk melihatmu,” balasnya, merasa percaya diri untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.

Mereka mulai mengobrol, dan saat Azalea menceritakan tentang adiknya yang berulang tahun, Arshaka merasa betapa berartinya momen ini. Dia merasa seolah dia bisa melepaskan semua beban yang menghimpit di hatinya. Percakapan itu mengalir begitu alami, seolah mereka telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun.

Namun, saat waktu berlalu, Arshaka tahu bahwa bayang-bayang masa lalunya tidak akan hilang begitu saja. Dia harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan, meskipun dia tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Tetapi, satu hal yang pasti—Azalea adalah alasan untuk terus berjuang.

Ketika mereka berpamitan, Azalea memberi Arshaka harapan baru yang akan membantunya melewati setiap malam kelam yang menghantuinya. Di tengah luka-lukanya, Arshaka menyadari bahwa dia tidak sendirian. Bersama Azalea, mungkin mereka bisa saling menyembuhkan.

Dengan semangat baru, Arshaka melangkah keluar dari kedai kopi. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada cahaya di ujung terowongan yang gelap, dan dia siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang.

LUKA DAN HARAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang