Ketidaksempurnaan Menyatukan Persahabatan

202 36 16
                                    

Mada terpekur. Semua fakta yang ia dengar dari Dafin membuat semua gambaran di otaknya tentang orang kaya selalu sempurna sirna. Cowok itu menyesal telah memandang negatif dua orang yang kini menyandang status sebagai sahabatnya.

"Ya Allah. Ternyata menjadi kaya nggak selalu sempurna."

Rambutnya ia sibak kasar. Ada banyak kemelut yang membelenggu. Salah satunya tentang keadaan Arsenio yang kini masih terpenjara di ICU. Perasaan takut terus menyambangi hati dan pikirannya. Selama ini belum pernah ada orang yang benar-benar menganggapnya ada.

"Lo ngapain ngelamin? Bukannya kerja. Inget, lo cuman numpang di sini."

Kepala Mada didorong kasar oleh sosok cewek yang menyandang status sebagai kakak tirinya. Tubuhnya berdiri angkuh di depan Mada. Matanya memandang Mada dengan pancaran merendahkan.

"Besok gue bakal kasih duit lebih lagi, Jo."

Joana namanya. Cewek bertubuh tinggi semampai dengan kulit putih pucat. Cantik fisiknya. Siapa pun pasti akan terpukau dengan kesempurnaan wajahnya. Namun saat mengetahui hatinya yang sebenarnya, mungkin pandangan itu akan berubah.

"Malam ini lo tidur di luar. Inget, ini rumah udah jadi milik gue dan ibu. Lo cuman numpang."

Joana tanpa belas kasihan mendorong kasar tubuh Mada yang sejak tadi tengah duduk di sofa ruang tamu. Sebenarnya bisa saja Mada melawan. Namun seperti yang Joana katakan, ia tak punya hak lagi atas rumah ini. Kini cowok itu hanya pasrah tidur di lantai teras rumah. Dalam pekatnya malam, Mada tak berhenti mengumpati mendiang ayahnya.

"Udah meninggal pun, ayah tetap bikin gue sengsara. Gue benci ayah."

***

Malvin memijat pelan kaki putra bungsunya. Cowok yang kemarin membuat heboh di pesta ulang tahun sepupunya itu kini masih terlelap. Dokter mengatakan keadaan Arsenio stabil. Hanya saja cowok itu belum mau membuka mata.

"Gimana kalau Adek nyerah, Mas?"

Alis Malvin bertaut mendengar ucapan Mareta yang kini duduk di sofa. Pria itu menghela napas pelan. Topik ini selalu mampu membuat pikirannya rumit.

"Adek pasti bertahan. Inget. Dokter bilang vonis hidup Adek cuman lima sampai 6 tahun. Tapi lihat Adek sekarang. Dia mampu mematahkan vonis itu."

Delapan tahun telah berlalu sejak vonis itu diberikan untuk si kecil yang kini telah beranjak remaja. Sejoli itu tak akan pernah ikhlas harus berpisah dengan Arsenio.

"Lebih baik aku yang mati dibanding anakku, Mas."

"Jangan ngawur. Arsen bakal baik-baik aja."

Mereka sempat berdebat sebentar sebelum keduanya menyadari di mana mereka berada. Malvin melirik sejenak ke arah si bungsu yang tetap memejamkan mata. Helaan napas lega pun keluar.

"Kita keluar aja. Perasaan kita lagi buruk. Aku nggak mau pas Adek bangun dia curiga."

Sang istri mengangguk patuh. Keduanya pun melangkah keluar meninggalkan ruang rawat Arsenio, tanpa menyadari si empunya memang telah bangun beberapa menit yang lalu.

"Apa egois kalau gue milih nyerah?"

***

Ketegangan menemani sepasang suami istri yang kini ada di halaman rumah. Mareta memandang sinis pada sosok wanita yang sepantaran dengannya. Ada emosi yang siap meluap jika sama Malvin tak mencoba menenangkannya lewat usapan lembut dalam genggaman tangannya.

"Bukannya saya udah suruh kamu pergi sejauh mungkin dari keluarga saya?"

Suara Mareta terdengar datar. Sangat kentara ada amarah yang berusaha wanita itu tahan. Wajahnya terangkat ke atas dengan angkuh.

FORGET ME NOT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang