bab 9

247 37 1
                                    


---

Pergerakan dari Bayang-Bayang

Waktu berlalu, dan meskipun Javier sudah tiada, Shani tahu musuh-musuh yang lebih licik mengintai di luar sana. Ia telah memperketat sistem keamanan di mansion, dan Cornelia semakin waspada, menelusuri setiap informasi yang mungkin memberikan petunjuk tentang langkah berikutnya dari para musuh. Namun, Shani tidak bisa sepenuhnya mengabaikan rasa gentar yang kadang muncul dalam kesunyian malam.

Di balik pintu tertutup, Gracia menjalani hari-harinya dengan perasaan campur aduk. Kehamilannya semakin membesar, dan setiap gerakan bayi dalam perutnya mengingatkannya bahwa waktu semakin mendesak. Hubungan antara dirinya dan Shani menjadi semakin kompleks—ada kehangatan, tapi juga keraguan yang menyelinap setiap kali ia memikirkan ancaman yang mengelilingi mereka.

Suatu malam, ketika Shani sedang memeriksa peta keamanan di ruang kerjanya, Cornelia masuk dengan ekspresi tegang. “Kita punya informasi baru. Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan. Sepertinya, beberapa sekutu Javier masih merencanakan sesuatu.”

Shani menatap Cornelia tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Hujan turun di luar, membuat suasana semakin mencekam. “Apa mereka tahu tentang sistem keamanan baru kita?”

Cornelia menggeleng, tapi wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Belum. Tapi mereka punya mata-mata di sekitar kota, dan kita harus mengantisipasi pergerakan mereka. Ini bukan lagi soal siapa yang memiliki lebih banyak kekuatan, tapi siapa yang bisa bertahan lebih lama.”

Shani mendengus pelan. “Jika mereka ingin berperang dalam bayang-bayang, aku siap. Aku akan memastikan mereka tidak punya kesempatan lagi untuk mendekat.”

Cornelia hanya mengangguk. Ia tahu betapa besar tekad Shani, tapi ia juga tahu bahwa situasi ini bisa menjadi terlalu berbahaya jika mereka tidak berhati-hati.

---

Malam di Atap Mansion

Di malam yang sama, Gracia tidak bisa tidur. Ia berjalan keluar menuju balkon yang menghadap ke halaman belakang mansion. Hujan yang mereda membuat udara terasa lebih dingin, namun ia merasa tenang di sana, menatap bintang yang sesekali muncul di balik awan. Di tengah keheningan itu, langkah kaki terdengar dari belakang. Shani muncul, membawa jaket tebal yang kemudian ia letakkan di pundak Gracia.

“Kau tidak seharusnya berada di luar dalam cuaca seperti ini,” ujar Shani lembut, menatap Gracia yang tampak rapuh di bawah cahaya bulan.

Gracia tersenyum kecil. “Aku butuh udara segar. Terlalu banyak hal yang terjadi di dalam kepala ini.” Ia menatap Shani, mencoba mencari jawaban dalam matanya. “Apa kau pernah merasa takut, Shani?”

Shani terdiam sejenak, menimbang pertanyaan itu. Ia lalu menghela napas panjang. “Takut adalah hal yang selalu ada. Tapi aku tidak bisa membiarkannya menguasai diriku. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan.”

Gracia mengangguk, memahami jawaban itu. Ia menundukkan kepala, memikirkan anak yang dikandungnya, dan tentang kehidupan yang mungkin menanti mereka di luar mansion. “Aku hanya ingin tahu, apakah ada kesempatan bagi kita untuk menjalani hidup yang lebih tenang? Jauh dari semua kekacauan ini?”

Shani memandang jauh ke arah kota yang samar-samar terlihat dari kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tidak tampak. “Aku tidak bisa menjanjikan itu, Gracia. Tapi aku akan terus mencoba. Untukmu. Untuk anak ini.”

Di antara mereka, terjalin keheningan yang penuh makna. Angin malam yang dingin terasa sedikit lebih hangat dengan kehadiran mereka berdua di sana, meski masa depan tetap kabur di hadapan mereka.

---

Rencana Penjebakan

Di hari-hari berikutnya, Shani dan Cornelia merancang strategi baru. Shani tahu bahwa mereka tidak bisa terus bertahan dalam posisi bertahan. Musuh-musuh mereka harus dihadapi sebelum mereka mengumpulkan kekuatan yang lebih besar.

Shani memutuskan untuk menyebar informasi palsu mengenai kelemahan di salah satu bagian mansion. Ia berharap, musuh akan termakan umpan ini dan mencoba menyerang di sana. Cornelia, yang mengawasi pergerakan mata-mata di kota, setuju bahwa rencana ini adalah peluang terbaik mereka.

“Saat mereka mencoba menyerang, kita akan siap menyergap mereka,” kata Shani dengan dingin. “Dan kali ini, kita tidak akan memberi mereka kesempatan kedua.”

Cornelia mengangguk, meskipun masih ada kekhawatiran di wajahnya. “Ini akan menjadi pertaruhan besar, Shani. Tapi aku percaya pada instingmu. Hanya saja, pastikan Gracia tetap aman.”

Shani memandang Cornelia, lalu menatap foto Gracia yang ada di meja kerjanya. “Dia akan selalu menjadi prioritas. Aku tidak akan membiarkan ada yang menyentuhnya, tidak selagi aku masih berdiri.”

---

Pertempuran Tengah Malam

Malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Shani dan timnya telah mempersiapkan penyergapan di sekitar titik yang diumpankan sebagai kelemahan. Dengan Cornelia mengawasi dari ruang monitor, Shani memimpin timnya di lapangan, siap menghadapi musuh yang mereka antisipasi.

Sesuai dugaan, sekelompok pria bersenjata mencoba menyusup melalui bagian yang mereka anggap lemah. Mereka tidak menyadari bahwa setiap gerakan mereka dipantau. Shani memberi isyarat kepada para pengawalnya, dan serangan balasan pun dimulai. Tembakan bersahutan, teriakan perintah menggema di udara malam.

Di tengah kekacauan itu, Shani bergerak dengan cepat dan cekatan, memimpin serangan seperti seorang panglima di medan perang. Cornelia terus memberikan arahan melalui radio, memastikan bahwa tidak ada celah bagi musuh untuk melarikan diri.

Sementara itu, di dalam mansion, Gracia mendengar suara tembakan dari kamarnya. Ia meremas selimut dengan kuat, hatinya berdebar tak karuan. Meskipun ia tahu Shani kuat, ketakutan tetap merambati dirinya. Ia berdoa dalam hati agar Shani dan semua yang berada di pihaknya bisa selamat malam ini.

---

Akhir yang Berdarah dan Janji Baru

Saat pertempuran mereda, Shani dan timnya berhasil menundukkan para penyusup. Beberapa musuh berhasil dilumpuhkan, sementara sisanya melarikan diri ke dalam kegelapan. Namun, di balik kemenangan itu, Shani menyadari bahwa ancaman ini belum sepenuhnya berakhir. Ini hanya permulaan dari pertempuran yang lebih besar.

Shani kembali ke mansion dengan luka-luka di tubuhnya, meski tidak separah sebelumnya. Ia berjalan menuju kamar Gracia, berharap bisa memberitahunya bahwa mereka aman, setidaknya untuk malam ini.

Namun, saat ia membuka pintu kamar, Gracia sudah berdiri di sana, matanya basah oleh air mata. Tanpa berkata apa-apa, Gracia berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Shani membalas pelukan itu, merasakan semua kelelahan dan ketegangan malam itu mencair seketika dalam kehangatan pelukan Gracia.

“Terima kasih... untuk kembali,” bisik Gracia dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku takut... aku takut kau tidak akan pulang.”

Shani mengecup kening Gracia dengan lembut, sebuah gerakan yang begitu asing bagi dirinya, namun terasa sangat alami saat itu. “Aku akan selalu kembali untukmu, Gracia. Itu janji yang tidak akan pernah kulanggar.”

Di tengah malam yang sunyi, dengan bayangan ancaman yang masih menggantung di kejauhan, ada harapan yang tumbuh di antara mereka. Mungkin jalan di depan masih panjang dan berliku, tapi untuk saat ini, mereka berdua tahu bahwa mereka tidak akan lagi berjalan sendirian.

---

Misteri yang Belum Terpecahkan

Namun, di balik kemenangan kecil ini, ada rencana yang lebih besar yang mulai terbentuk di balik layar. Musuh baru yang lebih licik dan berbahaya sedang merencanakan serangan berikutnya, siap untuk menghancurkan pertahanan Shani dari dalam. Bagaimana Shani dan Gracia akan menghadapi ancaman ini? Apakah mereka akan menemukan kekuatan yang cukup untuk bertahan di tengah badai yang semakin besar?

Perjalanan mereka belum selesai, dan misteri baru akan segera terungkap, membawa mereka lebih jauh ke dalam konflik yang tidak mereka duga sebelumnya.

budak dan tuan shaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang