Senin paginya, Nadhifa terbangun dengan suara alarm yang amat berisik. Dia segera bangkit dari tempat tidur dan mengambil handuk lalu keluar kamar. Dilihatnya sang Ibu sedang membuat sarapan, sedangkan Bapaknya tengah memberi makan burung. Ada Esa yang baru bangun dan masih terkantuk-kantuk duduk di depan meja makan.
Nadhifa pun masuk ke kamar mandi setelah menyapa keluarganya. Tak butuh waktu lama untuk mandi karena dia takut kesiangan, kini Nadhifa sudah siap berangkat kerja. Hari Senin Nadhifa harus memakai pakaian hitam putih dan ia memilih blouse putih dengan aksen batik dibeberapa sisi dan celana bahan berwarna hitam. "Pacarmu kapan ke sini bawa orangtuanya, Nad? Kalian sudah pacaran selama tiga tahun, lho. Gak baik pacaran lama-lama," kata Ibu saat Nadhifa tengah menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. "Mending disegerakan saja," tambahnya.
"Nad belum bahas itu sama Rudi, Bu," jawab Nadhifa pendek, tentu saja dia berbohong. Seringkali Nadhifa bertanya tentang keseriusan Rudi kepada dirinya namun tak ada jawaban pasti dari laki-laki itu.
"Bapak setuju sama ibu. Seharusnya kalau dia serius, dia pasti sudah bawa keluarganya bertemu kami," kata bapak, ikut menambahkan. "Ngapain lama-lama pacaran, lagian umur kalian sudah hampir dua puluh tujuh tahun, apalagi yang harus dipikirkan."
"Nanti Nad omongin sama Rudi," jawab Nadhifa sekenanya. "Nad ada meeting hari ini jadi harus berangkat lebih awal." Nadhifa berdiri hendak berangkat lebih dulu. Namun ternyata adiknya juga sudah siap jadi dia bisa ikut nebeng.
Sebenarnya Nadhifa tidak ada keperluan khusus dikantor mengingat pekerjannya bulan ini sudah beres, jadi dia tinggal mengerjakan report yang dibutuhkan, Nadhifa hanya ingin menghindari obrolan itu mengingat dia saja tidak tahu kapan Rudi akan datang dan menikahinya. Bukannya ingin berprasangka buruk, hanya saja entah mengapa Nadhifa sendiri merasa ragu dengan Rudi. Nadhifa memiliki firasat buruk tentang kekasihnya itu.
"Kak Nad kenal Bu Hanin darimana?"
"Dia temen Kakak waktu SMP."
"Oh."
"Kenapa emang?"
"Bu Hanin cantik, Kak. Aku suka liatnya."
"Hush, jangan-jangan kamu naksir sama guru sendiri ya."
"Engga juga sih, aku gak doyan tante-tante lagian. Aku cuman suka sama gaya ngajarnya yang gak bikin kelas jadi boring, oh iya, dia juga wali kelas aku."
"Emang sebelumnya dia ngajar di mana?"
"Di TK gitu, aku lupa soalnya gak nyimak waktu perkenalan."
Nadhifa tak menjawab lagi karena kini mereka sudah sampai. Esa segera masuk setelah turun dari motor dan salam pada kakaknya. Saat hendak putar balik, ternyata ada Hanin yang menyapanya. "Hai."
"Oh, hai," mereka saling melempar senyum. "Nganterin Esa?" Tanya Hanin, sekadar berbasa-basi.
"Uhm, ya. Sekalian berangkat kerja," ucap Nadhifa. "Kamu udah sarapan?"
"Eh? Belum, nanti aja di kantin."
"Gimana kalau kita makan bubur bareng, kebetulan aku juga belum sarapan nih."
Masih ada setengah jam sebelum kelas pertama dimulai, Hanin pun menyetujui ajakan Nadhifa. Nadhifa dan Hanin masuk ke dalam sebuah warung bubur yang letaknya tepat bersampingan di sebelah sekolah. Beberapa anak ada yang menyapa Hanin, sedangkan Nadhifa hanya bisa tersenyum geli. "Pasti kamu guru favorit mereka," ucapnya setelah murid tadi berlalu pergi. "Soalnya aku udah Nemu satu sample yang bilang kalau kamu guru favorit."
"Biasa aja, Nad. Mungkin mereka cuma beramah tamah aja." Hanin sebenarnya malu karena lagi-lagi harus bertemu anak didiknya diluar jam pelajaran. "Bubur gak diaduk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving can Hurt (Tamat)
ChickLitNadhifa terjebak cinta yang rumit setelah ia bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya. Akankah dia mengikuti egonya atau berhenti dan kembali pada kodrat yang semestinya?