Hal. 6

45 8 0
                                    

Sudah empat hari semenjak kejadian itu, Hanin tidak pernah bertemu dengan Nadhifa lagi. Di sekolah pun Esa selalu bilang jika Nadhifa harus berangkat pagi untuk urusan pekerjaan dan lembut diwaktu pulang. Hal itu membuat Hanin bingung apakah Nadhifa memang sengaja menghindarinya atau dia benar-benar sibuk?

Hanin sudah memutuskan. Dia harus bertemu Nadhifa. Buru-buru Hanin menyelesaikan pekerjaannya yaitu membuat soal ujian untuk Minggu depan dan menilai hasil tugas beberapa siswa yang belum selesai.

Tepat pukul tujuh malam, Hanin selesai dengan pekerjaannya. Dia segera mandi dan berganti pakaian untuk menemui Nadhifa. Nadhifa, menyebalkan. Dia tidak ada itikad baik untuk bertanggung jawab menjelaskan kenapa wanita itu tiba-tiba mencium bibirnya.

Menempuh perjalanan sekitar setengah jam akhirnya Hanin sampai juga di depan warung milik bapak dan ibu Nadhifa. Nadhifa sendiri belum terlihat padahal ini malam Minggu, ramai orang yang datang untuk nongkrong di depan warung. Hanin bisa melihat bapak dan ibu Nadhifa sedang melayani pesanan, terlihat tengah sibuk.

***

Nadhifa masuk ke ruangannya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memejamkan mata sejenak. Pekerja ini kenapa banyak sekali? Sudah berhari-hari Nadhifa lembur hanya untuk menyelesaikan ini semua akan tetapi sepertinya tak ada kata selesai untuk pekerjaan Nadhifa. Nadhifa menghela napas, yang membuat lelah justru pikirannya sendiri.

Ia masih menyesali perbuatannya tempo hari kepada Hanin. Hanin pasti marah padanya, tak seharusnya Nadhifa melakukan hal bodoh itu. Nadhifa terus memukul-mukul kepalanya, terus merutuki kebodohan itu. Ditambah lagi rasa tamparan Hanin masih tercetak jelas dipipinya. Tentang bagaimana wanita itu terlihat marah, semua masih terekam jelas dibenaknya.

Kalau ada orang paling bodoh sedunia, mungkin Nadhifa lah orangnya. Bagus Nadhifa, sekarang kamu akan di cap sebagai wanita kurang ajar dan tidak punya sopan santun.

"Arghh!"

Nadhifa memijat kepalanya. Pusing.

"Keliatannya lagi banyak pikiran ya bos," Nadhifa menoleh, ternyata ada Queen. Staff di divisi nya. Ia membawa setumpuk map yang membuat Nadhifa muak.

"Taro aja di meja sana, aku lagi mumet."

Bukannya segera pergi, Queen justru duduk berseberangan dengannya. "Dugem lagi yuk bos, udah lama kita gak pergi."

"Kamu malah menjerumuskan bos sendiri, dasar."

Queen dan Nadhifa sebelumnya memang adalah teman kuliah, jadi mereka sudah dekat meskipun kedudukannya antara atasan dan bawahan. "Aku bosen soalnya, kerjaan bikin stress."

"Ya sudah pergi sendiri aja."

"Ayolah temenin, kamu tau kan aku gak berani ke tempat kaya gitu sendirian?"

"Gak berani tapi mau dibungkus."

Terdengar tawa renyah keluar dari bibir Queen. "Om-om nya ganteng, Nad. Dia ngasih aku duit dua gepok padahal kita cuma cudle."

"Cudle sampe cum kan?" Sindir Nadhifa. Mana mungkin ada orang mau mengeluarkan uang hanya untuk berpelukan sepanjang malam.

"Haha. Udah ayo, tar malem ya."

Belum sempat menjawab, Queen sudah lebih dulu meninggalkan ruangan Nadhifa. Nadhifa menimang ajakan Queen, sepertinya tidak ada salahnya jika have fun, mengingat pikirannya yang ruwet membuat Nadhifa butuh pelampiasan.

Alhasil, malam harinya, sepulang dari kantor mereka sudah duduk di depan bar dengan segelas miras. Nadhifa berusaha untuk tidak minum terlalu banyak mengingat dia harus pulang dalam keadaan sadar, setidaknya orang rumah jangan ada yang tahu kalau Nadhifa sibuk.

Loving can Hurt (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang