Semenjak ayahnya pensiun dari kepolisian, kedua orangtuanya memutuskan untuk membuka warung kecil-kecilan di depan rumah sekedar untuk menghilangkan bosan agar dimasa tua ini, mereka tidak hanya diam saja di rumah menerima hasil uang pensiunan serta tunjangan dari negara. Itulah sebabnya terkadang pulang dari kantor, Nadhifa langsung ikut jaga warung menggantikan ibunya.
Malam Minggu ini banyak anak muda yang berkumpul di depan warung karena Bapak memang menyiapkan tempat duduk serta meja untuk mereka berkumpul. Nadhifa membantu ibunya membuatkan kopi pesanan mereka. Kopi yang dihidangkan tentu saja sekedar kopi sachet karena Nadhifa memang tidak menyediakan kopi yang aneh-aneh mengingat di keluarganya tidak ada yang paham tentang perkopian.
Semakin malam suasana semakin ramai, bangku darurat yang selalu bapaknya siapkan untuk memenuhi situasi seperti ini telah tersebar dibeberapa sudut. Nadhifa sibuk membuat kopi sampai tak sadar kalau Hanin sudah menungguinya di depan warung, berpura-pura memesan dan Nadhifa langsung mengatakan 'tunggu sebentar' tanpa melihat ke arah Hanin. Hanin terkekeh. Ia membiarkan sampai Nadhifa sadar sendiri.
"Loh, Hanin. Hai," Nadhifa baru engeh ternyata. "Ada apa?"
"Aku lagi jalan-jalan disekitar sini, jadi aku mampir ke kamu," katanya.
Nadhifa memicing, "modus aja, kan? Di tempat sini apanya yang mau diliat selain kecantikan wajah anak Bapak Santoso."
Hanin tergelak geli melihat kepercayaan diri Nadhifa. Entah mengapa Nadhifa terlihat lebih ceria malam ini, senyum tak lepas dari wajah cantiknya. "Aku pesan teh, duduk di sana." Hanin menunjuk tempat kosong yang berada dipojokkan. Nadhifa mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.
Setelah menunggu sekitar lima menit, akhirnya Nadhifa mengantarkan teh pesanan Hanin. Nadhifa ikut duduk disamping Hanin sambil menikmati alunan gitar seorang pemuda yang kerap kali datang ke sini setiap malam minggu kemudian diiringi lagu hati-hati dijalan - Tulus. "Han, makasih ya buat malam itu. Kamu udah menampung aku di kostan kamu."
"It's okey, kostan aku selalu terbuka buat orang patah hati."
"Bisa aja kamu." Nadhifa terkekeh. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu jadi ngekost di sini? Tadinya kan rumahmu emang di daerah sini."
"Ah itu, sebenernya aku daftar PNS terus penempatannya ternyata di daerah sini. Kebetulan banget, kan? Tapi sayangnya rumah yang di sini udah di jual, jadi aku harus nge-kost."
"Jadi kamu udah PNS? Keren-keren."
"Lebih keren pegawai BUMN kayanya," balas Hanin.
Nadhifa menunduk malu. "Yeah, kita sama-sama keren."
Hanin mengangguk setuju. "Aku punya satu pertanyaan."
"Apa itu?" Tanya Nadhifa.
"Kenapa malam itu kamu datang ke kostan aku?"
"Oh itu..." Nadhifa berpikir sejenak. Sejujurnya dia juga tidak tahu kenapa dia memilih kostan Hanin sebagai tempat menumpang tidur. "Aku juga lupa, Han. Kayanya itu motor jalan sendiri ke kostan kamu deh."
"Kangen?"
"Hah? Eh enggak, maksudnya--"
"Kangen Rudi ya? Kamu galau dan mabok-mabokkan sampai nyasar ke kostan aku."
Nadhifa menggaruk rambutnya sambil nyengir. "I'm sorry. Aku terlalu bingung harus melampiaskan ke mana lagi," ia tersenyum kecut. "Rudi brengsek sialan, aku capek mikirin dia terus, sedangkan dia asik hoa-hoe sama Luna."
"Hoa-hoe...?"
"Masa kamu gak ngerti, sih?" Keduanya saling mendekat saat Nadhifa memberi aba-aba kemudian Nadhifa membisikkan sesuatu ke telinga Hanin. Hanin mengerjap beberapa kali kemudian tawa kembali muncul dari bibirnya. Nadhifa menatap Hanin bingung. "Apanya yang lucu, Han?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving can Hurt (Tamat)
ChickLitNadhifa terjebak cinta yang rumit setelah ia bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya. Akankah dia mengikuti egonya atau berhenti dan kembali pada kodrat yang semestinya?