Chapter 06: Ujian atau penyiksaan hidup [01]

11 5 0
                                    

Happy Reading

*******************************************

Arabelle's POV

Siang itu aku meninggalkan sekolah tanpa bisa bertemu dengan siapapun di sekolah. Ya walau sebenarnya aku juga tidak yakin siapa yang masih mau bertemu denganku setelah kejadian itu. Saat ini aku terjebak di dalam mobil bersama pria asing yang dibayar ibu untuk menjadi pamanku, dan itupun hanya kami berdua yang ada di dalam mobil ini. Apa dia sudah menghipnotis ibu ? Bagaimana ibu bisa mempercayainya begitu saja ?

"Saya tidak pernah melakukan apapun kepada nyonya, ini semua murni permintaan beliau." Ujar pria asing itu dari kursi pengemudi di depanku dengan matanya yang masih fokus ke jalanan.

Perkataan pria asing itu yang tiba-tiba, sempat membuatku berpikir dia dapat membaca isi pikiranku jika aku tidak mendengar kalimatnya selanjutnya. "Jadi, apa anda bisa berhenti menatap saya tajam seperti itu."

Aku dapat melihat sorot matanya yang tertekan di kursi pengemudi dari pantulan kaca spion tengah. "Bukan salahku jika aku curiga padamu, Paman." Balasku sembari mengalihkan pandangan ke pemandangan di balik kaca mobil.

"Anda benar-benar mirip dengan ayah anda, Nona."

"Jika ayah yang kamu maksud itu paman Gvin, maka kamu keliru, Paman. Ayahku hanya satu di dunia ini. Dan orang itu tidak akan pernah menjadi ayahku."

Entah mengapa aku merasa sedikit kesal setelah mendengar kalimatnya itu. Aku menghela nafas gusar, berharap percakapan ini tidak berlanjut, tapi pria itu terlihat tidak ingin berhenti.

"Saya juga tidak berharap Mr. Gvin menjadi ayah anda, dan saya tidak sedang membicarakan orang itu, tapi yang saya maksud adalah ayah anda yang sebenarnya."

Sudah kuduga dia pasti akan mengatakan itu-. Eh tunggu, apa yang baru saja dikatakannya ? "Paman mengenal ayahku ?" Ujarku mencondongkan tubuh ke arah kursi pengemudi, mulai tertarik dengan pembicaraan ini. "Bagaimana paman mengenal ayahku ?"

"Kami satu angkatan kuliah dan..." Kalimatnya menggantung di udara, seolah sengaja memancing rasa ingin tahuku. "Saya akan menceritakannya begitu kita sampai." Ketika melihat senyum tipis di wajahnya, aku pun sadar bahwa dia hanya mempermainkanku.

Sekali lagi aku menghela nafas gusar dan menyandarkan tubuhku kembali di sandaran kursi. "Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Paman."

Pandanganku kembali tertuju pada pemandangan di balik kaca mobil. Aku melihat sebuah petunjuk arah dengan tulisan Ratnaloka, membuatku bergumam malas, "Tak kusangka aku akan kembali ke tempat ini dengan orang asing."

Terdapat tiga puluh delapan provinsi di negara Nexiaterica yang tersebar di tujuh kepulauan besar, dan Arundha adalah salah satunya. Kepulauan Arundha terbagi menjadi enam provinsi: Teranova, ibu kota Nexiaterica, yang terletak di antara wilayah Mandragiri dan Arundalaya Barat; Astralis, pusat pendidikan Nexiaterica, yang bersebelahan dengan kota Ratnaloka, salah satu kota di Arundalaya Tengah; dan yang terakhir adalah wilayah atau provinsi Arundalaya Timur.

"Anda mulai memasuki wilayah Arundalaya Tengah." Aku melihat sebuah gapura dengan tulisan 'Selamat Tinggal Astralis,' bersamaan dengan suara operator dari fitur peta yang digunakan pria itu.

"Anda terlihat begitu tenang untuk anak yang sedang dihukum, ya Nona." Komentar sarkastik pria itu berhasil membuat mataku menyipit.

"Apa paman berharap aku menghadapi situasi ini dengan berderu air mata ?" balasku mendengus geli membayangkan skenario itu di kepalaku. "Maaf jika aku menghancurkan ekspetasimu, Paman. Dan tolong berhentilah bicara formal kepadaku, aku tidak nyaman."

Aku dapat mendengarnya terkekeh geli dari kursi pengemudi, dan entah mengapa itu membuatku sedikit terganggu. Tapi aku hanya mengabaikannya dengan menopang dagu lelah dan bergumam kecil seraya berdo'a. "Jika Tuhan ataupun Dewa itu ada, aku harap situasi ini dapat berlalu dengan tenang."

General's POV

"sakit..."

"sakit ibu..."

"Maaf... maafkan Arabelle..."

"Ara tidak akan mengulanginya lagi !"

"Sakit.. maaf... maaf...ibu.."

Entah sudah berapa kali kalimat itu terulang dari mulutnya, tapi rasa sakit itu tak kunjung berhenti. Setiap kali ibunya menusukkan cairan aneh ke dalam tubuhnya berbagai rasa sakit timbul di sekujur tubuh mungil itu.

Gadis itu terlihat begitu berusaha mempertahankan kesadarannya, penampilannya begitu menyedihkan. Kulit putihnya yang halus dihiasi oleh beberapa luka sayat di kaki dan lengannya, wajahnya yang pucat dihiasi oleh tetesan butir air keringat yang jatuh dari rambut pirangnya, mata yang dihiasi dengan iris biru langit itu terlihat sayu, sementara bibir yang seharusnya berwarna merah cerah, telah berubah menjadi biru pucat.

Gadis itu adalah Arabelle. Rambut pirang yang tadinya dia sembunyikan itu sudah kembali ke bentuk asalnya, begitu juga dengan iris matanya yang selalu dia tutupi dengan lensa mata coklat gelapnya.

Tiga bulan sudah berlalu dan selama itu Arabelle hanya bisa berdiam diri di tempat ini-, di sebuah rumah terpencil di tengah hutan yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan sulit ditemukan oleh orang luar.

Tangan wanita itu terulur untuk mencakup dagu putrinya. Dengan lembut sang ibu membersihkan peluh keringat di sekitar wajahnya dengan sapu tangan seraya berbisik pelan. "Tutupi rambut dan mata mu itu saat mulai masuk sekolah nanti, jangan biarkan orang lain mengetahui rupa aslimu ini. Kamu mengerti, sayang." Wanita itu tersenyum sejenak sebelum menarik tubuhnya kembali dari Arabelle sembari membersihkan tangannya dengan sapu tangan yang dia gunakan kepada Arabelle sebelumnya.

"Gunakan waktumu untuk introspeksi diri di sini, aku harap kau bisa lebih dewasa lagi dalam bertindak."

Pintu pun tertutup tepat setelah kalimat wanita itu selesai. Setelah menerima siksaan dari berbagai eksperimen itu, ibunya akan meninggalkannya di ruangan ini hingga Ezra-pria yang mengaku sebagai pamannya-memindahkannya ke kamar tidurnya di lantai atas.

"Saya tidak menyangka anda masih bisa sadar setelah semua percobaan itu, Nona muda." Pria bersurai coklat gelap itu akhirnya berujar setelah hanya diam mengamati gadis kecil yang terbaring lemas di atas tempat tidur dengan sekujur tubuh terikat. Nada suaranya terdengar sarkastik, namun sorot mata dari iris abu-abunya terlihat begitu mengkhawatirkan gadis itu.

"Tentu saja, aku tidaklah selemah itu, Paman."

Pria itu tersenyum tipis sesaat mengusap puncak kepala Arabelle. "Ya, anda benar-benar gadis yang kuat, seperti ayahmu."

To be continued

PIPRA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang