Happy reading !!
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Arabelle's POV
Sore itu adalah acara makan malam bersama. Di keluarga Gvin memiliki tradisi acara makan malam bersama di setiap Sabtu malamnya untuk tetap menjaga keharmonisan antar anggota keluarga Gvin, jadi semua anggota keluarganya harus hadir di acara makan malam bersama ini.
Awalnya aku pikir itu tidak ada gunanya selama ini, karena tidak ada percakapan apa pun di meja makan ini, hanya keheningan dan suara benturan alat makan dan piring saja yang terdengar, hingga Mr. Gvin tiba-tiba memberikan pertanyaan basa-basi kepadaku.
"Bagaimana perasaanmu masuk sekolah untuk pertama kalinya, Arabelle ?"
Aku terdiam sejenak, mengingat kembali aktivitas melelahkan yang ku jalani di sekolah. Jika aku pikir kembali, ku rasa itu tidak berbeda jauh dengan aktivitas ku saat di rumah.
Bagaimana tidak, dari mata pelajarannya, metode belajar nya, bahkan waktu makan siangnya pun juga sama. Yang membedakannya adalah tempat itu lebih ramai dengan orang-orang yang tak kukenal, saat makan siang harus mengantre panjang, dan ada anak berisik tak kukenal yang selalu menempel padaku setiap jam istirahat. Walau setidaknya aku tidak kebosanan berkat dia. Tapi entah lah, haruskah aku bersyukur atau mengeluh dengan situasi itu.
Diamku yang cukup lama sempat membuat Mr. Gvin berdeham. Semua mata kini tertuju padaku, menunggu jawabanku. Terlalu banyak kata-kata yang beterbangan berantakan di kepalaku hingga aku hanya menjawabnya dengan kalimat yang ada di salah satu cerita yang pernah aku baca.
"Menyenangkan, aku bertemu teman-teman baru dan guru-gurunya juga ramah. Jadi membuat aku mudah beradaptasi." jawabku mencoba tersenyum manis.
Ibu tersenyum lembut kepadaku. "Senang mendengarnya. Kalian bertiga pasti juga akur-akur di sekolah, bukan ?"
Pertanyaan ibu sontak membuat ku membatu, aku sedikit mencuri pandang ke tempat Stella dan menemukan dia juga membatu sama seperti ku. Keheningan dingin seketika menerpa suasana meja makan yang sempat hangat.
Aku dapat melihat Farrel yang mengernyitkan dahinya dengan melihat ke arah ku, tatapan nya seakan mengatakan, "Apa yang terjadi diantara kalian." dan yang bisa kulakukan hanyalah mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Aku sudah selesai makan." Suara Stella yang tenang dan sedikit dingin ? memecah keheningan. Setelah mengatakan itu, Stella langsung bangkit dari kursi nya dan beranjak pergi meninggalkan ruang makan.
"Apa kalian bertengkar ?"
Aku sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari ibu, tapi yang bisa kulakukan hanya terkekeh canggung. "A-aku akan berbicara dengan Stella, Selamat malam ibu, dan Mr. Gvin."
***
Aku mengetuk pintu kamar Stella dengan lembut. "Stella, buka pintunya, bisa kita bicara sebentar ?" Tak ada suara balasan dari balik pintu membuat ku berpikir apa ada yang salah dari ucapan ku, sebenarnya bagaimana cara membujuk orang yang sedang bermasalah denganmu ? ditambah lagi aku tidak pernah mengalamai hal seperti ini dengan Farrel, aku harus bagaimana untuk membujuknya, sial.
Aku pun mengetuknya sekali lagi. "Apa kau masih marah soal hari itu ?" Sekali lagi tidak ada respon dari dalam membuat ku terdiam. Mungkinkah ada perkataan yang seharusnya tak ku ucapkan padanya. "Stella, aku tahu kamu marah padaku. Tapi, aku mohon, jangan diamkan aku seperti ini, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau rasakan jika kau terus diam seperti ini." Lagi-lagi Stella masih diam. Dan itu membuat ku sedikit khawatir.
Aku duduk di lantai, di samping pintu kamar Stella. Aku terdiam selama beberapa saat, memikirkan cara apa lagi yang bisa membuat anak ini merespon.
Tiba-tiba, aku teringat kenangan masa kecil kami. "Stella, apa kau ingat hari pertama aku datang kemari. Hari itu, kau, aku dan Farrel-, kita menghabiskan malam bersama di kamar ku." Aku berhenti sejenak mengingat-ingat kembali masa itu. "Apa kau tahu, hari itu sebenarnya aku cukup kebingungan harus bagaimana mendekati mu. Aku takut kehadiran aku dan Farrel akan membuat mu berfikir jika kami datang untuk merebut tempatmu. Tapi aku tidak menyangka malah kau duluan yang membuka hati kepada kami, dan itu membuat ku-."
"Cukup, Kakak." Balasannya dari balik pintu yang tiba-tiba membuat ku terdiam. "Jika kakak menceritakan itu hanya untuk membujuk ku sebaiknya hentikan saja, karena itu tidak akan berguna."
"Lalu kau ingin aku bagaimana agar kau tidak marah padaku lagi ?" Ucap ku dengan lirih.
Perlahan aku mendengar suara langkah kaki mendekat dari dalam, lalu berhenti tepat di belakang pintu. "Apa kakak bisa menjelaskan kenapa aku tidak boleh menyukai kak Farrel ?"
Pertanyaannya itu membuat ku tercengang. Jadi selama ini dia serius dengan perkataannya saat itu, tapi tetap saja. "Tidak, tentu saja tidak. Bagaimana aku bisa membiarkan kedua adikku saling menyukai."
"Tapi kenapa ? Aku dan kak Farrel bahkan bukan saudara sedarah-."
"Tetap saja tidak, bahkan jika kalian bukan saudara sedarah, tapi kalian itu masih saudara-."
"Kalau begitu aku tidak ingin berbicara dengan kakak lagi."
Setelah Stella mengatakan itu aku kembali mendengar suara langkah kaki dari dalam, namun kali ini menjauhi pintu. "Stella, aku tidak akan pergi dari sini jika kau tidak berhenti marah." Tak lama aku melihat lampu di dalam dimatikan dari celah di bawah pintu. Aku menghela nafas lelah, lalu menyandarkan kepalaku di dinding.
General's POV
Stella terbangun di tengah malam dengan perasaan haus yang tiba-tiba menyerang. Dengan mata yang masih berat, ia beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju pintu kamar.
Ketika membuka pintu, ia terkejut melihat Arabelle, tertidur di lantai dingin tepat di depan pintunya. Stella terdiam sesaat melihat Arabelle dengan tenang, lalu kembali berjalan meninggalkannya.
Setelah beberapa saat Stella pergi untuk mengambil minum, dia kembali lagi. Stella berjongkok, menatap wajah Arabelle yang terlihat lelah namun damai dalam tidurnya. "Bisa-bisanya dia masih ada di sini, padahal belum lama ini dia bisa beraktifitas normal."
Setelah mengatakan hal itu, Stella menjatuhkan selimut kecil yang dikenakannya pada Arabelle, lalu kembali masuk ke dalam kamar tanpa melirik ke arah Arabelle.
***
"Ara, bangun." Panggil Raffael menggoncang tubuh Arabelle perlahan. Gadis itu mengerang dan bangun dari tidurnya dengan mengusap matanya. "Kenapa kau tidur di sini, apa kamarmu yang luas itu masih kurang untukmu ?"
"Oh, kau Farrel." Sekali lagi Arabelle mengerang dengan melakukan sedikit peregangan. "Ngomong-ngomong, pukul berapa sekarang ?"
"Pukul Tujuh tepat."
Jawaban Raffael seketika membangunkan Arabelle dari kantuknya. "Aku akan terlambat." Ujarnya lalu bangkit dari tempatnya dan bergegas berlari ke kamarnya dengan tanpa sadar membawa selimut kecil yang tadinya di berikan Stella.
Melihat sikap Arabelle yang panik membuat Raffael terkekeh geli. Di saat lelaki itu berniat untuk menuruni tangga Arabelle tiba-tiba memanggilnya. "Ada apa lagi ?"
"Apa kau yang memberikan ini ?"
Raffael bersenandung ringan lalu menjawab. "Tidak."
"Oh, okay." Balas Arabelle singkat lalu menutup kamarnya lagi.
Di dalam kamar Arabelle melihat selimut itu sejenak lalu bergumam kecil. "Apa ini milik Stella ?" senyuman tipis terukir di bibirnya, dia meletakkan selimut itu di atas kasur nya setelah melipatnya dengan rapi, lalu kembali bersiap.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
PIPRA [REVISI]
Mystery / Thriller* * * * * Arabelle, seorang gadis yang terperangkap dalam tekanan lingkungan usai insiden mengerikan di sekolah yang melibatkan adik tirinya, Stella. Membuatnya kembali diasingkan ibunya dalam rumah pengasingan selama lebih dari tiga bulan masa huku...