Setelah Julian pergi dan menutup pintu kamarnya, Pia benar-benar merasa lebih baik. Ternyata, perasaannya selama ini hanya karena dirinya memikirkan Julian. Sesaat setelah Julian memberikan restunya, perasaannya benar-benar membaik dan tidak ada lagi keraguan, seolah hatinya sudah benar-benar tertuju pada Benjamin.
Dirinya akan bahagia bersama dengan Benjamin.
Pia mengambil ponselnya karena ia tidak bisa menahan diri hingga esok pagi untuk menemui Benjamin. Dirinya harus segera bertemu pria itu dan meluruskan semua yang masih menjadi pemberat dalam hubungan mereka. Mereka harus segera berbaikan.
Ia tersenyum ketika melihat layar ponselnya menyala karena ada sebuah panggilan telepon yang masuk. Ternyata, Benjamin lah yang lebih dulu meneleponnya. Ia segera mengangkat panggilan telepon itu. "Aku baru akan menelepon kamu."
"Pia? Apa kamu memiliki masalah? Mengapa kamu mau meneleponku? Karena, Pia alasan aku menelepon kamu adalah karena aku ingin meminta maaf kepadamu. Aku baru menyadarinya, Pia. Aku harus memperjuangkan kamu, sebelum kamu benar-benar pergi meninggalkanku," kata Benjamin di ujung sana.
Kata-kata Benjamin saling susul menyusul, seolah ia ingin mengungkapkan semuanya sebelum Pia memutuskan sambungan telepon.
"Benjamin," panggil Pia meminta Benjamin untuk tenang. "Tenang."
"Aku tidak akan bisa tenang karena aku sudah sangat payah, Pia."
"Ya kamu sangat payah. Kamu payah, sampai aku sendiri yang ingin menjelaskan semuanya kepada kamu. Dengar, Benjamin. Aku mencitai kamu," kata Pia dengan jantung yang berdebar.
"...."
"Benjamin?" panggil Pia karena setelah hampir sepuluh detik berlalu, tidak ada jawaban apapun di ujunh sana. "Kamu masih mendengar aku?"
Terdengar sebuah napas berat di sana. "Apa yang baru kamu katakan, Pia? Kamu mencintaiku?"
"Kamu mau aku mengulanginya untuk mengolok-olok aku, ya?" tanya Pia yang kini terdengar merajuk.
Di ujung sana, Benjamin terlihat sangat terkejut. Setelah ia bicara dengan ibunya, ia baru menyadari kalau seharusnya, dirinya memperjuangkan Pia. Bagaimana Pia bisa mempercayainya jika dirinya saja tidak mampu memperjuangkan wanita yang sangat ia cintai ini?
"Maafkan aku, aku sangat terkejut," kata Benjamin. "Aku akan ke rumah kamu, untuk mengatakan semuanya."
"Kita harus ketemu. Mau ketemu di restoran dua puluh empat jam? Aku lagi kepingin makan cake," kata Pia.
Entah mengapa, dirinya sangat ingin memakan sepotong cake bersama dnsgan Benjamin di hadapannya.
"Sekarang sudah larut, Pia. Aku akan ke rumah kamu dan kita bisa pergi ke cafe dua puluh empat jam bersama."
Pia menggelengkan kepalanya. "Kita ketemu di sana. Aku mau cepet-cepet makan."
"Baiklah," jawab Benjamin. "aku akan menunggu kamu di sana."
Pia dan Benjamin mematikan sambungan telepon dan Pia segera mengganti pakaiannya. Dengan cepat, ia sudah keluar dari kamarnya dan melihat Julian yang ternyata masih da di dapur. "Mau ke mana kak?"
"Aku mau makan cake. Nanti Benjamin nunggu di cafe," kata Pia sambil tersenyum. Sekarang ia tidak perlu menyembunyikan perasaannya lagi di hadapan Julian.
Julian membalas senyuman Pia. "Hati-hati. Ini sudah malam."
Pia menganggukkan kepalanya dan memberikan salam perpisahan sebelum dirinya benar-benar keluar dari rumah.
***
Benjamin sudah tiba lebih dulu di cafe dua puluh empat jam. Cafe itu benar-benar buka dua puluh empat jam sehari dan memiliki berbagai menu. Salah satunya adalah menu dessert yang sangat disukai oleh Pia. ia menunggu di salah satu meja dengan sepotong tiramisu cake dan dua minuman.
Benjamin terlihat gelisah di kursinya karena ia tidak sabar untuk bertemu dengan Pia. Ia tidak sabar untuk melihat wajah Pia, menyentuh tangannya dan memeluknya. Ia sangat merindukan Pia.
Akan tetapi, setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Pia belum juga tiba. Ia semakin gusar. Apakah Pia kesulitan di perjalanan? Apakah mobil wanita itu tiba-tiba mati, atau ban mobilnya bocor?
Setelah sepuluh menit lagi berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk membungkus cake yang sudah ia pesan dan menyusul Pia. Cafe ini berada di tengah antara apartemennya dan juga rumah Pia. Di pukul sebelas lima puluh menit malam seperti ini, jalanan sudah sangat lengang.
Jika mobil Pia baik-baik saja, tidak akan memerlukan waktu lama untuk tiba di sini. Benjamin segera menyalakan mesin mobilnya ketika ia masuk ke mobil dan segera menuju ke rumah Pia.
Jalanan seharusnya lengang, namun tidak jauh dari cafe, ia melihat kerumunan mobil polisi dan mobil orang yang berhenti. Sepertinya ada sebuah kecelakaan di malam hari seperti ini.
"Siapa yang kecelakaan di malam hari seperti ini?" tanyanya.
Ia akan melewati mobil yang sudah nyaris hancur bagian depannya itu ketika ia membaca nomor polisi mobil itu.
Setelahnya, semua hal terasa begitu membingungkan bagi Benjamin. Ia segera menepikan mobilnya dan segera keluar dari mobil. Ia menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan lain yang nyaris menabraknya. Ia tidak mendengar umpatan pengemudi lain karena fokusnya hanya satu.
Pertanyaannya hanya satu.
Mengapa mobil yang kecelakaan itu memiliki nomor polisi yang sama dengan mobil Pia?
Benjamin terus berjalan hingga ia tiba di hadapan mobil itu dan ia melihat paramedis mengeluarkan wanita yang terjebak di dalam mobil, yang sudah tidak sadarkan diri.
Ia terduduk dan kehilangan kata-katanya ketika melihat korban itu. Wanita yang tidak sadarkan diri, yang berlumuran darah itu adalah Pia, wanita yang akan ia temui.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Finally Here, I Found You
RomanceSetelah menyelesaikan kuliahnya dan diterima bekerja di hotel bintang lima sekaligus terbaik di Indonesia, Pia memutuskan untuk berhenti mengencani pria-pria kaya untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Ia akan bekerja dengan benar dan tidak akan meng...