BAB 21

67 13 1
                                    

Di sepanjang perjalanan, Pia hanya bicara dengan Gabriela. Ia menumpahkan semua kekesalannya pada sahabatnya itu dan Gabriela juga menanggapi dengan sangat antusias, membuat Pia semakin menggebu-gebu. Bahkan, perjalanan terasa sangat singkat karena pembicaraan mereka yang sangat seru.

Sementara di kursi belakang, Julian hanya diam karena ia memang tidak diajak bicara oleh Pia. Pia berjalan lebih dulu bersama dengan Gabriela, seolah Julian memang tidak ada di antara mereka.

Situasi yang dingin itu membuat Julian memutuskan untuk berjalan ke kamarnya. Akan tetapi, ia menghentikan langkah ketika merasakan punggungnya dipukul oleh Pia. Ia berbalik dan pukulan semakin banyak ia dapatkan, membuatnya hanya bisa menutupi kepala dengan kedua tangannya. Meskipun ia sudah berteriak kesakitan, namun Pia sama sekali tidak memberikan kelonggaran untuk Julian.

"Pia, udah," kata Gabriela sambil berusaha menarik tubuh Pia agar tidak bisa menjangkau Julian. "Julian, cepetan masuk ke kamar kamu."

Pia tidak terima jika Julian harus bersembunyi di kamarnya. Maka ia berkata, "Jangan pergi kamu!"

Julian mendesah kesal dan kembali melanjutkan langkah ke arah kamarnya, sementara Pia akhirnya berhasil melepaskan tubuhnya dari pegangan Gabriela. Ditariknya baju Julian, membuat adiknya itu terpaksa kembali harus berhenti.

"Udah kak!" teriak Julian yang akhirnya memperlihatkan kekesalannya.

Sejak tadi, Julian memang hanya diam. Namun, Pia yakin kalau diamnya Julian bukan karena adiknya itu merasa bersalah. Julian pasti akan kembali melakukan kesalahan ini jika memiliki kesempatan lain.

Pia merasa sangat lelah dan marah. Ia lelah harus terus menerus merasa khawatir di setiap perjalanannya untuk menemui Julian setelah mendapatkan kabar tentang adiknya itu. Ia marah karena Julian tidak mau mendengarkannya. Padahal, ia sudah memiliki sangat banyak beban di dalam kepalanya.

"Kamu yang udah!" balas Pia dengan teriakan yang lebih besar. "Kapan kamu dewasa, Julian! Aku udah datengin kamu di berbagai tempat karena ulah kamu! Sekolah, rumah warga, rumah sakit dan sekarang kantor polisi! Apa kamu bakal berhenti kalau kamu udah masuk peti mati?"

Suara Pia terdengar gemetar, tanda kalau ia sangat marah. Ia juga mengkhawatirkan Julian. Bagaimana jika adiknya itu mendapatkan cedera yang serius? Bagaimana jika adiknya akan meninggalkannya juga?

"Aku cuma mau kamu menjalani hidup kamu dengan normal! Kamu bisa ga sih ngelakuin itu!" teriak Pia lagi.

Julian bernapas dengan cepat, tanda kalau ia juga sedang tersulut emosi.

"Kenapa kamu harus ngelakuin ini?"

Julian masih diam.

Pia kembali berkata, "mau nunjukkin ke semua orang kalau kamu hebat? Kamu bisa berantem sama semua orang? Iya?"

"Aku gak akan bilang alasannya," jawab Julian.

"Aku cuma mau kamu berhenti lakuin hal bodoh ini, Julian! Aku ngizinin kamu kickboxing karena kamu mau jadi atlet, bukan jadi tukang tinju amatiran begini!"

Pia sangat ingin menangis, namun ia tidak akan mengizinkan air matanya keluar untuk kali ini. Kali ini, ia akan menjadi sosok kakak yang jauh lebih keras dari adiknya. "Berhenti mukulin orang lain atau aku gak izinin kamu kickboxing lagi!"

Di tengah kemarahan itu, Pia sangat ingin Julian bicara karena sedari tadi, adiknya hanya berdiri mematung menatap ke titik di bahu Pia. Itu adalah tanda kalau Julian belum merasa bersalah dan tidak akan mengikuti ucapannya.

"Janji gak Julian Max!" teriak Pia sambil memukuli punggung Julian.

Julian kembali berusaha menghindar, namun sama sekali tidak membalas. Ia hanya menghindari seadanya, dan menerima pukulan demi pukulan dari kakaknya itu.

Lalu, ketika akhirnya Gabriela berhssil mensrik tubuh Pia lagi, ia menatap Pia dan berkata dengan sangat frustasi, "Aku gak akan berhenti mukulin mereka yang menghina kamu, Kak!"

Raut marah Pia berubah menjadi tidak mengerti. Apa yang Julian maksudkan? Mengapa Julian harus memukuli mereka? Siapa mereka hingga bisa menghinanya?

Selama ini, ia berusaha untuk menjalani kehidupan dengan sangat baik. Ia bahkan tidak pernah meminta-minta ataupun mencuri uang siapapun. Meskipun hidup mereka sulit, namun Pia tidak pernah melakukan hal yang memalukan, yang mengharuskannya mendapatkan sebuah penghinaan.

Lagipula, mereka tidak mengenal Pia. Mengapa mereka mau menghinanya?

"Kenapa Kakak nyekolahin aku di sekolah mahal, padahal aku gak masalah sekolah di sekolah biasa?" kata Julian sambil mengusap kepalanya, merasa gamang antara harus bicara atau diam saja.

"Supaya kamu bisa hidup lebih baik!" jawab Pia, seolah itu adalah jawaban yang seharusnya sudah Julian mengerti.

Ia ingin memberikan pendidikan terbaik untuk Julian, karena tahu kalau orang tuanya pasti akan melakukan hal yang sama jika mereka masih ada.

"Dan Kakak? Kakak harus ngelakuin pekerjaan itu cuma untuk nyekolahin aku?" tanya Julian.

Hati Pia mencelos. Julian memang tidak mengatakan apapun, namun Pia tahu maksud dari ucapan Julian. Tiba-tiba saja, ia merasa kalau semua aliran darahnya meninggalkan wajah. Wajahnya terasa sangat dingin, seolah ia baru saja ketahuan melakukan kesalahan terbesar di dalam kehidupannya.

"Tiga orang tadi, mereka semua tahu tentang hal itu. Salah satu dari mereka punya saudara cowok, dan kakak dia pernah pacaran dengan kakak. Mereka menghina Kakak dan bilang kalau Kakak adalah perempuan matre. Padahal mereka gak tahu kalau kakak adalah perempuan paling terhormat yang aku tahu," kata Julian lagi.

Kali ini, ia sudah tidak menggunakan nada emosi, Julian justru terlihat menahan tangisannya, seolah dirinya baru mengucapkan pengakuan yang sangat menyakitkannya. "Aku cuma mau ngebelain kakak dengan tanding boxing sama geng dia."

Satu hal yang tidak pernah ia ceritakan pada kakaknya adalah, dirinya melakukan pertandingan liar itu karena ancaman teman-temannya. Mereka mengancam akan menyebarkan berita buruk tentang kakaknya. Maka, setiap kali mereka memiliki kenakan yang hebat dalam dunia tinju, mereka akan menyuruh Julian untuk bertanding.

Julian tersiksa, tentu saja. Namun ia tidak memiliki pilihan. Ia tidak ingin siapapun menghina kakaknya. Ia juga tersiksa setiap kali melihat kakaknya berlari mengkhawatirkan dirinya. Ia lebih tersiksa lagi ketika tidak bisa berkata jujur pada kakaknya.

Sementara Pia benar-benar kehilangan kata-katanya. Ia tidak tahu kalau selama ini, adiknya ternyata membela dirinya. Adiknya mendapatkan semua ini karena ulahnya. Ia juga merasa sangat malu karena teryata Julian mengetahui tentang masa lalunya yang seperti itu.

"Aku gak terima kakak dibilang cewek matre, kak!" kata Julian yang kini kembali berteriak. Ia merasa sangat marah setiap kali mendengar hinaan tentang kakaknya dari mulut teman-temannya.

Selama ini, ia sangat menghormati Pia. Mereka tidak tahu bagaimana Pia dan apa yang mereka katakan tentang Pia adalah tidak benar.

"Aku masih marah, Kak. Aku masih benar-benar marah dengan siapapun yang nabrak Mama dan Papa. Mereka gak cuma mengambil orang tua kita. Orang itu juga ngambil kehidupan kakak."

Pia masih diam dan hanya menundukkan kepalanya. Kenyataan yang baru ia ketahui ini, ia sama sekali tidak bisa menguasai dirinya karena kenyataan ini. Ia tidak peduli jika semua orang tahu tentang apa yang ia lakukan demi mendapatkan uang.

Asalkan Julian tidak mengetahuinya.

"Aku gak akan memaafkan orang yang sudah ngambil kebahagiaan kita," kata Julian lagi.

Setelah itu, ia berjalan keluar dan Pia masih diam bahkan setelah suara pintu rumah yang kembali tertutup, tanda Julian sudah benar-benar keluar dari rumah.

"Pia," kata Gabriela sambil memeluk Pia.

Tangisan Pia pecah ketika ia merasakan pelukan Gabriela. Ia menangis sejadi-jadinya. Selama ini, ia ingin menjadi contoh yang baik dan menjadi kakak yang membanggakan bagi Julian.

Namun sekarang, apakah ia masih terlihat membanggakan di mata adiknya itu?

Bersambung

Finally Here, I Found You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang