"Anasha, bikinin teh buat bunda, cepat!" perintah Rani suara tinggi. Anasha berdecak kecil, baru saja dua menit lalu Rani meminta dibuatkan mie, sekarang meminta teh.
Sejak tiga hari lalu, Rani dan Reza telah resmi menikah. Dan mereka akan hidup dalam satu atap. Yap! Rumah yang ditinggali Anasha dan Asza juga. Rani hanya menumpang dan di-ogoh oleh Reza. Selebihnya, Anasha yang mengurus rumah.
Anasha mengaduk-adukkan teh untuk Rani, ia memperhatikan adukkan teh yang begitu tenang, sesekali ricuh karena gerakan berputar dari sendok. Seperti hidupku, tiga bulan lalu aku sempat bahagia dan tenang, kini ada badai.
"Bunda, nih tehnya." ujar Anasha dengan suara merendah. Ia selalu berusaha menyamakan antara Rani dan Shafa, anggap saja Rani adalah bunda kandungku.
Rani menerima secangkir teh hangat yang dibuat oleh Anasha. Ia melanjutkan kegiatannya, yaitu menonton. Anasha bergedik heran. Ia baru mengetahui bahwa ada seorang wanita dewasa yang seperti Rani, dewasanya hanya pada umur.
Anasha melangkahkan kakinya kedalam kamar. Ia ingin mencari hiburan di handphone-nya.
CEKLEK.
"Belajar! Jangan main handphone terus. Mau jadi apa kamu? Minimalnya ngejemur, kek!" Rani muncul dari balik sana. Anasha menuruti perintah Rani. Mematikan handphone-nya dan berjalan keluar.
Anasha mulai mengaitkan baju pada hanger yang tersedia di ruangan menjemur. Sesekali, ia melihat kearah ruang tengah yang berada di seberangnya.
"Kok, kangen mama, ya? Aduhh, udah deh. Jangan gamon muluu." matanya berlinang, benar! Bayang-bayang Shafa yang sedang membersekan rumah, masih terlihat jelas.
Anasha segera menyelesaikan tugas menjemurnya. Ia memiliki janji kepada Naila bahwa mereka akan belajar untuk ujian pertengahan semester bersama.
"Bunda, Aca mau izin belajar di rumah Naila, ya?" tanya Anasha kepada Rani yang sibuk dengan camilannya. Jujur saja, ia malas meminta izin kepada Rani.
"Yaudah, emang siapa yang peduli." jawab Rani dengan sarkas.
"Oke, makasih, bundaa." balas Anasha sembari berjalan menjauh dari ruang tengah. Kalau dibolehkan, ia sekalian saja tidak usah pulang ke rumah aneh ini.
Ia bersiap-siap dengan cepat. Anasha mengenakan celana panjang berwarna cokelat muda dan baju putih serta dilengkapi oleh tas cokelat tua. "Gue cakep banget, ya,"
Anasha keluar dari kamarnya dan menuju lantai satu rumah itu. Langkahnya sangat bersemangat karena akan bertemu dengan sahabatnya.
"Nailaaa!" sapa Anasha kepada sang sahabat. Mereka saling berlari untuk berpelukan. Anasha dan Naila sangatlah dekat, tapi untuk bermain di rumah Naila, ini adalah kali pertama bagi Anasha.
"Yuk masuk, Ca." ajak Naila sembari menggandengan lengan milik Anasha. Anasha mengiyakan ajakan dari Naila dan memasuki rumah sederhana milik Naila.
Rumah Naila lebih sederhana dibanding rumah milik Anasha yang besar dan megah. Tapi, rumah sederhana itulah yang membuat Naila lebih suka menghabiskan waktu di dalam rumah. Alasannya sederhana, Naila memiliki keluarga yang harmonis.
Naila mengarahkan Anasha untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sementara Naila akan pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman dingin.
Anasha melihat-lihat sekitar kamar milik sahabatnya. Perabotan sederhana, atap yang tidak semegah rumahnya, dinding yang kusam, sangat sederhana. Namun, rumah Naila jauh lebih nyaman dari pada rumahnya.
"Acaa, nih minuman buat lo." ucap Naila kepada Anasha disertai beberapa kentlengan botol-botol kaleng yang berada di dekapan gadis itu.
Anasha tersenyum gembira. Kedatangannya disambut hangat oleh Naila. "Makasih, Naii..." ujar Anasha dengan senyuman khasnya.
Naila menganggukkan kepalanya dan mengambil buku yang sedari tadi ia siapkan untuk belajar bersama Anasha. "By the way, lo udah izin ke bunda baru lo, kan?" tanya Naila dan disusul oleh anggukan pelan dari Anasha.
"Gue tuh kesel sama bunda gue, tauu. Semua pekerjaan rumah, gue yang ngerjain. Terus dia ngapain coba? Nonton drakor, woilahh." seru Anasha sembari mempraktikkan cara Rani menonton drama korea di tabletnya.
Naila tertawa kecil, Anasha sangatlah antusias jika sudah membahas bunda barunya. "Buka suara, dong... Emang lo mau kalo setiap hari tuh kayak gitu terus?" usul Naila.
"Ga mikirin, gue. Yang penting dia ga berulah yang lebih-lebih aja. Dah yuk, belajar aja." ajak Anasha sembari membuka tas ransel pink yang ia bawa dari rumah dan mengeluarkan buku paket.
Naila setuju dengan usulan Anasha barusan. Ia juga mengambil buku yang berada di meja belajarnya dan mulai membuka halaman yang ditugaskan oleh guru mereka.
__________
Langit sudah menampakkan senjanya. Awan-awan putih juga semakin samar terlihat. Kelipan bintang yang awalnya tidak terlihat, sekarang mulai terlihat tipis-tipis. Pukul lima sore, rupanya.
"Bunda, Aca pulang..." sapa Anasha seraya membuka pelan pintu besar berwarna putih bercorak tanaman yang berada di depannya.
Anasha melihat sekitar pojokan rumah megah itu. Semuanya kosong. Mungkin mereka sudah dalam ringkup kesunyian di dalam kamar masing-masing.
Anasha berjalan di tangga untuk mencapai kamarnya yang tepat berada di sebelah kanan tangga. Wajahnya belum pupus dari senyuman bahagia karena canda tawanya bersama Naila.
"Baguss. Pulang sore kayak wanita malam." ejek Rani yang baru saja keluar dari kamarnya menuu ke tangga. Anasha menoleh kearah sumber suara. Apa katanya? Wanita malam? Ini baru jam lima sore, padahal.
Anasha menghampiri Rani berniat mencium tangan Rani dalam rangka menghargai orang tua. "Ga sudi. Ngapain kamu cium tangan saya, heh?" tukas Rani seraya menarik kasar telapak tangannya dari genggaman Anasha.
Anasha hanya mengangguk dan segera pergi dari hadapan Rani. ia tidak ingin berpikir macam-macam, mungkin saja, Rani sedang menghadapi pra menstruasi, karena itulah ia selalu beremosi.
Gadis itu berjalan kearah kamar mandi dan mengambil piyama berwarna putih yang berada di dalam lemarinya. Hari yang menyenangkan namun melelahkan.
"Naila punya rumah yang sederhana, tapi keluarganya seru banget, ternyataa." ucapnya sembari menyiapkan peralatan mandi yang ia simpan di lemari.
Bagaimana tidak. Selama Anasha berada di rumah Naila, Anasha diperlakukan bak anak dari kedua orang tua Naila. Kehangatan yang meliputi keluarga itu, membuat Anasha semakin nyaman saat di rumah Naila.
KRASAK KRUSUK.
"Eh, apa itu?" gumam Anasha sembari memperjelas pendengarannya. Suara yang berasal dari kamarnya sendiri, seperti ada yang sedang mencari sesuatu di sana.
"Bunda? Ngapain di sini?" tanya Anasha. Rani yang sedang asyik mencari sesuatu pun terkejut melihat sang pemilik kamar itu muncul dari kamar mandi yang berada di dalam kamar.
Rani mencoba menutupi apa yang sedang ia lakukan di kamar Anasha. "Apaan? Saya ga ngapa-ngapain. Saya Cuma nyari-ehh itu apa, ya... Oh, airphone. Mana airphone kamu? Saya mau pinjam!" elak Rani.
Anasha sudah menggelarkan kecurigaan kepada Rani. perilakunya yang aneh seperti orang kegagapan membuat Anasha semakin yakin bahwa Rani menginginkan sesuatu milik Anasha.
"Airphone Aca ada di dalem nakas, Bun. Coba cari aja di bagian kedua." jelas Anasha dengan singkat. Rani mencoba arahan dari Anasha dan menemukan Airphone milik Anasha.
"Yasudah, kamu lanjut mandi, sana! Badan kamu bau, kayak tai sapi." ejek Rani lagi. Ansha hanya memutar bola matanya, malas. Terserah, lah. Nggak jelas banget janda yang satu itu. Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA UNTUK NASHA
Non-FictionLelah, itu bukan kata yang jarang bagi Anasha. Seorang gadis SMA yang harus menerjang pedihnya hidup diusianya yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua. "Kamu nggak berguna banget, sih!" Adalah kalimat yang seringkali Anasha dengar dari lisan s...