Bagian 1 || Tuhan, bahagiaku hilang.

75 40 28
                                    

PLAK

"Kamu berguna sedikit dong, Nasha!" Bentak Rani-bundanya. Ia menampar Anasha hingga wajahnya melebam luka. Anasha hanya merintih dan memojok ke sudut ruangan.

Rani menendang tubuh malang Anasha yang sedang lemah dan pucat. "Bunda, maaf tadi Aca sedikit lelah." bela Anasha seraya menatap vas yang baru saja tak sengaja ia pecahkan.

Wanita yang berdiri dihadapannya, lagi-lagi menghantam Anasha dengan tanpa rasa iba kepada gadis lugu itu. "Berani nyolot, ya? Dasar nggak berguna!"

Kini, tubuh lemah Anasha terduduk di tepi tempat tidurnya, tubuhnya diselimuti oleh kain tebal berwarna putih. Anasha terus menatap kearah jendela kamarnya, andai aku bisa bahagia.

Jendela kamarnya mulai terkena goresan-goresan air. Anasha belum luput dari lamunannya dengan tatapan kosong, pikirannya berkecamuk.

Kepalanya seperti dihantam oleh batu ghaib yang besarnya dua kali lipat dari tubuhnya, ia sangat lelah. Air mata Anasha sudah tak terbendung dalam kelopaknya, matanya mulai mengeluarkan titisan demi titisan air.

Ia memutuskan untuk mengumpat dalam bantal kesayangannya. Ia hanya memiliki bantal tersebut untuk bercerita tentang keluh kesahnya, memberitahukan lelahnya menjadi manusia, bahkan hingga kisahnya yang tak seberuntung kakak laki-lakinya. Asza.

Anasha mencoba membuka tangkupan bantalnya, melihat ke-arah dinding di depannya untuk melihat jam. Pukul sebelas malam? Anasha sudah menangis dalam tangkup benda empuk itu selama dua jam?

Ia memutuskan untuk mengganti sarung bantalnya yang telah basah oleh air matanya. Anasha melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya dan mencoba menghindar dari ruangan papanya.

"Aca? Kok belum tidur?" tanya Reza-papanya. Sial, kenapa malah muncul disaat matanya sembab?

"Nggak, pa. Ini mata Aca tadi kelilipan masker mata..." alibinya yang terdengar aneh, begitupun Reza yang mendengarnya, orang aneh mana yang memakai masker mata sampai kelilipan?

Reza memutuskan untuk tidak mempermasalahkan itu, hal kecil yang tidak penting, menurutnya. Anasha kembali dengan pencarian sarung bantalnya.

Namun, Anasha merasakan sakit pada kepalanya, semakin meremang penglihatannya. "Duh, kok jadi gini, ya?" gumamnya. Ia terus mencoba meneruskan langkahnya yang mulai terombang-ambing.

BRUK

_______________

21. November. 2017

Langit malam meliputi kota Bandung yang teduh, diiringi oleh kelipan bintang yang bersinar di langit berwarna biru tua. Anasha duduk di balkon kamarnya dan menatap pengendara yang berlalu-lalang. Malam di kota Bandung, sangatlah indah.

"Acaa, kebawah dulu, yuk. Papa mau ajak Aca bicara." bujuk Reza dengan lembut. Anasha hanya mengangguk paham, mungkin ingin membahas liburan akhir tahun. Pikirnya.

Anasha duduk di samping Asza-abangnya. Anasha tampak heran dengan situasinya, mengapa sangat menegangkan? Bukankah membahas liburan itu menyenangkan?

"Za, Ca... papa minta maaf, karena sudah menjadi papa yang belum baik untuk kalian. Papa juga minta maaf belum menjadi suami yang baik buat mama." ucap Reza seraya menatap anggota keluarganya satu-persatu.

"Loh, papa? Kenapa minta maaf?" sela Anasha diiringi tawanya yang menggema di antero ruangan itu. Anasha menganggap bahwa perkataan papanya adalah candaan konyol yang biasa dilontarkan di meja makan.

"Aca, dengerin papa dulu." suruh Asza sembari menarik pergelangan tangan Anasha yang masih dalam tawanya. Anasha terdiam dan duduk di tempatnya, bersiap mendengarkan 'candaan' papanya.

LUKA UNTUK NASHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang