Mata yang semula melihat kegelapan tanpa cahaya, kini mulai melihat cahaya kemerah-merahan. Matanya sudah bisa terbuka dan melihat, namun Anasha memilih untuk memejamkan matanya agar tidak terlalu sakit untuk melihat.
CEKLEK
Suara pintu ruangan terbuka terdengar oleh Anasha yang tubuhnya sangat lemas. Anasha ingin sekali melihat sekitarnya, namun kepalanya masih dalam denyitan hebat.
"Jadi, seharusnya Anasha sudah bangun dari komanya, kak. Tapi mungkin tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya." ucap orang yang suaranya asing bagi Anasha. Disisi lain, Anasha juga terkejut dengan ucapan yang dikeluarkan oleh orang tersebut. Koma? Apakah aku benar koma?
"Oh iya, dok? Kemarin saat kejadian, mungkin tubuh adik saya lagi lemas makanya sampai drop begini ya, dok?" tanya seorang laki-laki yang Anasha yakin ia adalah abangnya sendiri—Asza.
"Enggak, tubuhnya fit saja, cuman mungkin luka di keningnya saja yang terlalu besar. Sekitar tujuh kantung darah keluar dari kepalanya. Jadi terkuras kesadarannya." jawab orang asing yang dipanggil dengan 'dokter' itu.
Anasha perlahan membuka matanya. Jarinya tak lagi kaku sebagaimana sebelumnya. Ia dapat merasakan hawa dingin dari ruangan yang ia tempati.
"A-aku dimana?" tanya Anasha dengan suara yang terdengar lirih. Asza menoleh kearah gadis tersebut dan berjalan pelan. Ia tersenyum menyaksikan sang adik sudah sadar dari komanya.
Asza tersenyum dan menjawab pertanyaan Anasha, "kita di rumah sakit, dek." Anasha mengerinyitkan dahinya, sedikit mengusap matanya yang terasa sakit.
"Abang, Aca koma? Tadi Aca dengar dokternya bilang kalo Aca koma." Tanyanya untuk memperjelas keadaannya sekarang. Asza membalas pertanyaan Anasha dengan anggukan yang disusul oleh air mata yang menetes dari mata sang kakak. "Abang, kenapa abang nangiss?" khawatirnya.
"Aca, tolong bertahan, ya? Tolong jangan hilang dari hidup abang..." ujar Asza dengan mata yang berlinang. "Dek, abang udah kehilangan mamah, abang ga mau kehilangan adiknya abang jugaa..." tambah Asza.
Anasha mengangguk pelan, ia tak menyangka bahwa kakak laki-lakinya yang terkenal dingin, ternyata begitu mempedulikan keadaannya. Ternyata, Anasha hanya tinggal memiliki Asza.
"Abang, Aca rindu mamah... Kan biasanya, mamah yang obatin Aca..." papar Anasha dengan wajah yang pilu.
"Untuk sekarang dan kedepannya, abang yang obatin Aca, ya?" bisik Asza sembari menyuapkan sesendok bubur yang telah disediakan rumah sakit.
Anasha menatap dinding rumah sakit. Dulu, saat sakit, yang ia tatap adalah dinding kamar Shafa yang tak lain adalah mamanya. Mengingat hal itu, ingin rasanya Anasha terbang kearah Shafa dan memeluknya serta mengadukan seluruh kesalahan dunia yang didapatnya.
"Bang, abis ini, pulang yuk. Aca besok mau sekolah, ya. Ga mau tau." pinta Anasha dengan wajah memohon.
"Lu masih sakit, anjir." sela Asza dengan singkat
"Gua sembuhnya di sekolah, jadi biarin gua sekolah."
"Nanti kalo lu pingsan, gimana?"
"Ngapain pingsan? Ga sekalian gue mati aja?"
Asza terkejut ketika kalimat singkat yang baru saja keluar dari mulut adiknya yang sedang terkapar lemas di atas ranjang rumah sakit. Ingin rasanya ia meninju adiknya. Keras kepala sekali.
"Yaudah, besok lo sekolah." Asza memilih untuk mengiyakan permintaan keras adiknya. Sebenarnya, Asza sangat mengkhawatirkan keadaan adiknya ketika di sekolah nanti, apalagi jika di tambah dengan kejadian Anasha yang di perlakukan tidak baik oleh Winata nanti.
Anasha tersenyum lebar dengan bibirnya yang pucat. Ia juga tak lupa berterima kasih dengan Asza. Disisi lain, Anasha juga ingin sekali segera pulang kerumah dan belajar untuk lomba nanti.
__________
"ANJIR, APA-APAAN LO MASUK SEKOLAH? LO BARU SEMBUH, EGE!" geram Saka yang baru saja melihat Anasha sudah menempati tempat duduknya.
"Gue ga sakit, kalii. Lo sok tau, Saka." jawab Anasha dengan dingin. Pagi ini, Anasha sudah mendengar pertanyaan seperti itu sudah lebih dari sepuluh kali dari lisan teman-temannya.
"Ga sakit apanya, bodoh?! Lo koma udah sembilan hari, Anasha!" tegas Saka seraya menghampiri Anasha dengan kepalan tangan yang siap ia layangkan kepada gadis di hadapannya.
Sembilan hari? Aku ngerasa cuman koma dua hari, pikirnya. Anasha mengulum bibirnya kedalam, ia masih memasang-masangkan puzzle kejadiannya.
"Heh, Anasha. Kakak gue yang nyetir mobil buat nganterin lo sama Asza ke rumah sakit. Pake mobil abang lo, cuman yang nyetir kakak gue, soalnya pala lu udah kopong darah." jelas Saka.
Benar ucapan Saka, Gishelle lah yang membawa mobil pacarnya, alias Asza. Sementara Asza menahan darah yang keluar dari kening Anasha.
"Kata kakak gue, waktu hari ke enam lo koma, lo udah sempet dinyatakan meninggal tau, Ca." beber Saka disusul oleh pukulan dari Naila.
"Lah emang iya? Kenapa gue ga meninggal aja, coba."
"Ca, ga boleh gituuu. Pas kamu dinyatain meninggal, aku sama Saka dan yang lainnya nangis kejer, tauu. Gimana enggak, baru kemarin kita main bareng, lhoo. Terus pas mau dimandiin, kata dokternya kamu tiba-tiba nafas, Ca. kita hampir kabur semua, tapi dokternya yakinin kalo kemarin kamu cuman mati suri." Naila menyambung ucapan Saka yang sebelumnya dengan telaten.
"Loh, emang ga ada mesin pendeteksi detak jantung?" tanya Anasha, ia semakin kepo dengan kondisi dirinya yang kemarin. Dirinya tidak menyangka dengan hanya terbentur pintu, ia harus kehilangan banyak darah dan hampir dikubur.
"Ada, waktu itu juga udah berdenging kenceng banget, tandanya kamu udah ga ada detak jantung," tambah Naila dengan suara merendah.
Anasha mengangguk mendengar penjelasan dari kedua temannya. "Bunda sama papa gue, ada jenguk gue?"
Mendengar pertanyaan dari Anasha, seluruh yang berkumpul di sekitar meja Anasha terdiam. Selama delapan hari Anasha dinyatakan koma, dan satuhari dinyatakan meninggal, mereka tak menemukan keberadaan Reza maupun Rani. mereka hanya melihat keberadaan Asza yang selalu setia berada di sebelah Anasha.
"Ahahahah, ya jelas ga ada, lah. Kalian ini bodoh atau bagaimana? Gadis buruk kayak gue, emang pantes dikasih sayangin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA UNTUK NASHA
Non-FictionLelah, itu bukan kata yang jarang bagi Anasha. Seorang gadis SMA yang harus menerjang pedihnya hidup diusianya yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua. "Kamu nggak berguna banget, sih!" Adalah kalimat yang seringkali Anasha dengar dari lisan s...