BUGH
Sebuah hantaman mengenai pipi seorang gadis yang sedang menggenggam kertas hasil ujian. "Apa-apaan nilai kamu Cuma delapan puluh dua, heh? Bodoh sekali!" Caci Rani dengan kasar.
Anasha menatap kertas ulangan harian IPA miliknya. Bodoh, memang aku bodoh! Anasha juga mencaci dirinya, selalu. Ia justru tidak peduli seberapa kejam kepada dirinya sendiri.
"Kenapa diam saja, bodoh?! Kamu terlalu bodoh untuk menjadi manusia, ya?!" Cacinya lagi, kini tangan Rani berada di pinggang.
"Bunda, Aca udah berusaha keras sampai begadang, loh!" ringis Anasha dengan nada yang sedikit meninggi. Lagi-lagi, wajahnya dihantam oleh tamparan keras yang membuat rahangnya bergetar.
"PERGI, KAMU! KAMU CUMA BISA MALU-MALUIN SAYA!" Hina Reza, menggantikan Rani. Anasha menatap tajam lisan laki-laki yang mengeluarkan hinaan itu.
Anasha tersenyum kecil, "Pah, bukannya papah dulu ngelidungin Aca dari penyiksaan? Kenapa sekarang malah papah yang nyiksa Aca?" tanya Anasha seraya menyeret kakinya yang terasa kaku.
Reza terdiam sejenak, apakah dirinya terlalu berlebihan? Reza hanya mengikuti apa kata Rani selama ini. "Pah? Papah lupa kalo Aca anak papah, yaa?" tanya Anasha lagi.
Anasha tidak mengharapkan jawaban apapun dari laki-laki yang dulu ia sebut sebagai 'superhero' itu. Yang jelas, kini Reza—papahnya telah berubah menjadi monster menakutkan bagi Anasha.
Dengan kaki yang lemas, Anasha terus berusaha menjauh dari pandangan Reza dan Rani. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan menghina dirinya habis-habisan.
Baru saja dirinya masuk kedalam kamar, Anasha sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. "Gue... Gue gak mau hidup." ucapnya dengan air mata yang terus keluar dari kelopak matanya.
"Mah, mamah dimana? Aca mau pulang ke mamah... Hidup Aca berhenti sejak malam itu, mah. Seandainya mamah tau keadaan Aca sekarang, mamah ga akan nyangka kalau ini putri kecil mamah yang dulu mamah peluk..." bisiknya kepada benda empuk berwarna putih, yap! Bantal.
Anasha terus memeluk bantal yang basah dengan air matanya sendiri. Dengan hati yang sedang pilu, Anasha terus berusaha untuk menghapus air matanya. "Mama ga mau lihat Aca nangis, mama ga suka kalau Aca nangis." Anasha terus mengingat kalimat yang dulu Shafa keluarkan.
Anasha mengahadapkan raganya kearah cermin di depannya. Mengeluarkan senyum manis bak gadis yang bahagia sepanjang waktu.
Anasha seperti melihat sesuatu dalam cermin di depannya. Ia menegaskan pandangannya yang samar akibat tangisan.
"I-Itu, a-aku?" ia melihat gadis kecil yang samar ia lihat dalam pantulan cermin. Mungkin itu hanya fatamorgana, namun itu terlihat seperti sungguhan.
Anasha tersenyum manis melihat penampilan gadis itu. Itu benar-benar Anasha yang dulu dengan pakaian ala-ala princess. Anasha yang berumur enam belas tahun, melihat Anasha yang berumur lima tahun.
Memorinya terputar dalam pantulan kaca. Dimana dirinya sedang asyik memainkan tongkat peri yang ia dapatkan dari Shafa. Ia melihat betapa manisnya senyuman sang Anasha kecil. Peri kecil yang manis.
Ia melihat pantulan Shafa yang menggunakan daster berwarna biru favoritnya. "Mamahh!" Sekeras apapun Anasha berseru, 'Shafa' tidak akan mendengarnya. Tangisnya kembali pecah saat melihat Shafa memeluk raga sang gadis kecil yang berkostum princess Disney.
Anasha bahkan dapat merasakan kehangatan pelukan sang Ibu saat Shafa memeluk gadis lima tahun itu. Anasha tak dapat meminta dipeluk juga, karena Anasha hanya melihat putaran memori.
Kembali pada pantulan kaca, "Aca cantik banget, sihh." puji Shafa seraya menyibakkan rambut gadis yang berada di dekapannya. Anasha tersenyum dengan pujian yang dilontarkan Shafa pada dirinya.
"Kalo Aca udah besar, Aca mau terus sama mama! Pas nanti Aca besar, beliin Aca kostum Elsa, ya, mah?!" tekad gadis itu dibalas anggukan kecil dari Shafa.
Tangis Anasha semakin deras ketika mendengar tekad dirinya saat berumur lima tahun. "Mah, katanya mau beliin Aca kostum Elsa? Kok mamah malah tinggalin Aca? Mah, Aca capek..." hembus Anasha dengan mata yang tak luput dari kedua anak-ibu yang berada di kaca.
Di dalam pantulan kaca, Anasha juga memperhatikan seorang laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Itu Reza, "Wihh, princess papah dan mamah cantik banget." sapa Reza disertai senyum.
Anasha menangkup wajahnya yang semakin hangat karena terlalu lama menangis. Ia menatap kaca yang tak lagi ada keluarga kecil itu. Asza tidak ada dalam pantulan itu, karena Asza selalu berada di ruang tengah untuk menonton serial kartun favoritnya.
"Dek?" tegur Asza sembari mengintip dan membuka pintu kamar Anasha yang tidak dikunci sama sekali. Ia menyaksikan wajah Anasha yang dipenuhi dengan air mata. "Lo kenapa, Acaa?!" Asza sangat khawatir akan keadaan Anasha.
"Bang, mamah di mana, ya? Aca kangen..." Anasha menatap kaca yang kini hanya terlihat seorang laki-laki, Asza. Asza tersenyum dan memeluk raga kecil Anasha yang lemah.
"Aca, walaupun Aca ga ngerasain kasih sayang mamah dan papah lagi, masih ada abang yang sayang sama Acaa. Bertahan, yuk." ujar Asza sembari mengelus pundak Anasha yang bergetar.
"Bang, gue mau mati aja!"
"Gue ga mau lo tinggalin gue sendirian, Ca."
"Abang masih dapet kasih sayang papah, kan?"
"Gue runtuh kalo lo pergi, Ca."
Anasha terdiam setelah Asza mengeluarkan kalimat yang benar-benar membuatnya terketuk untuk tidak lagi meminta kematian kepada tuhan.
"Makasih, bro. Gue jadi ngerasa berharga." utasnya disertai senyuman. Asza mengangguk pelan dan melepaskan pelukannya.
"Bang, kalo lo pulang dari London, tapi gue udah ga ada, gimana, bang?" tanya Anasha dengan wajah yang penasaran.
"Kayaknya gue bakal netap di London sampai lo balik."
"Kalo gue nggak balik?"
"Gue juga ga akan balik."
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA UNTUK NASHA
No FicciónLelah, itu bukan kata yang jarang bagi Anasha. Seorang gadis SMA yang harus menerjang pedihnya hidup diusianya yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua. "Kamu nggak berguna banget, sih!" Adalah kalimat yang seringkali Anasha dengar dari lisan s...