bagian 8 || "Banyak yang sepertimu."

16 12 1
                                    

     "Anasha, kamu udah siap ke Jakarta?"

"Siap banget, bu."

Mobil yang membawa raga gadis itu pun berjalan dengan lancar. Sejak tiga hari lalu, Anasha selalu menunggu hari yang membahagiakan, yaitu berangkat ke Jakarta. Alasannya singkat, "ingin menjauh dari rumah yang seperti neraka itu."

Anasha menatap penjual-penjual kaki lima yang berada di sebelah jalan. Memperhatikan lingkungan Bandung lebih dalam. Indah, apalagi jika ada mamah.

Iamemutuskan untuk melihat-lihat kembali lembaran soal yang semalam ia cetak. Dirinya benar-benar serius untuk mendapatkan nilai terbaik di perlombaan nanti.

"Benar semua, oke, deh." batinnya. Ia memejamkan matanya untuk mengistirahatkan diri. Tadi malam, ia hanya tidur selama tiga jam di pertengahan malam.

Waktu terus berjalan, mobil yang ditumpagi Anasha pun sudah sampai di depan hotel yang disediakan. "Anasha, kamu di Jakarta sama Sovia, ya?" bujuk bu Sarah. Anasha mengiyakan keputusan bu Sarah dengan bersemangat.

Sovia—kakak kelas Anasha. Ia juga kebetulan dipilih untuk mewakili lomba, namun ia dipilih lomba dalam bidang bahasa, sementara Anasha dalam bidang akademi.

"Yuk masuk, Nash!" ajak Sovia sembari menarik pelan lengan milik Anasha. Sovia betul-betul mengenal Jakarta. Ia berasal dari Jakarta, namun ia dipindahkan ke Bandung dengan alasan pendidikan.

Anasha mengikuti arahan-arahan dari Sovia dengan baik. Sovia akan mengonfirmasi penginapan, sementara Anasha menyiapkan barang-barang.

"Kamar VIP 03 ya, kak." ujar seorang perempuan yang mengurus pendaftaran di hotel itu. Sovia dan Anasha mengangguk dan berterima kasih kepada perempuan tersebut dan bersegera menempati kamar itu.

TIN

Pintu kamar itu terbuka. Terlihat kamar yang dilapisi cat berwarna broken white yang menambah kesan mewah pada kamar. Anasha tentu sudah terbiasa dengan suasana itu. Kamar hotel itu tidak sebanding dengan kamar Asza—abangnya.

Sovia dan Anasha bersiap untuk membereskan barang-barang mereka masing-masing agar terlihat rapi dan nyaman. "Kamu udah pernah ke Jakarta sebelumnya, Anasha?" tanya Sovia dengan sopan.

Anasha menoleh kearah gadis yang baru saja menanyakan hal itu kepada dirinya, "sudah, kakk. Cuman, aku ga pernah nginep di Jakarta. Gak di bolehinn..." Jawab Anasha sembari mengeluarkan senyumannya. Sovia terheran dengan jawaban yang dikeluarkan oleh Anasha.

"Gimana-gimana? Kamu ga boleh nginep di Jakarta? Kok ini boleh? Memangnya kenapa hanya sekedar menginap?" Sovia bertanya kepada Anasha dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Ini boleh karena abang yang bilang. Kalau papah yang putusin, pasti ga akan boleh... Soalnya aku punya strick parents, heheh." jawab Anasha dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Strick parents, ya? Itu bukan strick parents, tapi toxic parents. Toh kalau ada yang dampingin, masa ga bolehh. Kecuali kalau kamu nginap di Jkarta sama cowok, pantas ga bolehh..." tutur Sovia sembari melanjutkan kegiatannya yang sedang melipat baju-baju miliknya.

Anasha menggedikkan bahunya. Ia tahu jika responnya akan seperti itu. Orang tuanya memang aneh. Dulu, saat Reza masih bersama Shafa, Reza lah yang keras kepala. Namun semenjak Reza bersama Rani, keduanya keras kepala.

Anasha menata alat tulisnya dengan rapih di dekat meja televisi. "Kamu, bersungguh-sungguh banget, ya? Aku kagumm." puji Sovia sembari merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.

"Aku takut ga berhasil, kakk. Kalau kakak 'kan udah berpengalaman banget lomba, jadi kemungkinan berhas—" belum sempat Anasha meneruskan bicaranya, Sovia menyela.

"Aku udah terbiasa, tapi ga yakin akan berhasil." Tegas Sovia dengan tatapan jujur. Anasha tersenyum dengan pujian yang diarahkan padanya.

"Udah, yuk. Kita jalan-jalan di sekitar Jakarta aja, mau gak?" ajak Sovia.

Anasha mengangguk setuju, "mau bangetttt!" jawab Anasha dengan wajah yang bergembira. Sovia tersenyum lalu menyiapkan beberapa barang yang ingin ia bawa untuk menyusuri kota Jakarta.

Begitupun Anasha, ia membawa beberapa barang yang dirasa penting dan tidak terlalu merepotkan untuk dibawanya.

Kedua manusia itu melangkahkan kakinya menuju ambang pintu dan membukanya. Sovia yang berjalan lebih dulu dibanding Anasha.

Sovia menekan tombol lift yang kini mereka berada di dalamnya dan menunggu lift turun tanpa ada yang memulai topik pembicaraan singkat.

TING

Sejak sepuluh menit yang lalu, mereka sudah berada di area sekitar hotel. Langit Jakarta begitu menawan, hari ini. Anasha tak henti-hentinya mengoceh dan menunjuk makanan yang ia inginkan, tak lupa, ia juga membelinya.

Sovia terus mengiyakan permintaan Anasha. "Anasha mirip sekali dengan adekku..." batin Sovia. Shellia—adiknya Sovia. Ia meninggal sejak delapan tahun yang lalu, saat Sovia masih kelas lima SD. Ia begitu menyayangi Shellia, namun tuhan lebih menyayangi Shellia.

Itu sebabnya Sovia menuruti permintaan Anasha dan meminta dirinya yang membayar seluruh belanjaan Anasha. Anasha sudah bekali-kali mengatakan bahwa, "aku saja yang membayar, pun ini belanjaanku..." namun Sovia tetap menolaknya dan bersikukuh untuk membayar.

Anasha memutuskan untuk menuruti kemauan Sovia soal berbelanja itu. Mereka terus menyusuri Jakarta yang ramai oleh penduduknya.

"Huftt, capek nggak, Nashh?" tanya Sovia sembari melepas kaus kaki putih yang ia kenakan selama berjalan-jalan. Anasha mengangguk pelan dan segera mencari tempat dingin untuk menstabilkan suhu tubuhnya.

"Kak, makasih ya tadi aku ditraktir mulu sama kakakk. Maaf ya, kakk. Aku jadi ngerepotin kamuu." ujar Anasha sembari menatap wajah Sovia yang kemerahan akibat panas.

"Gapapa, kok... Aku malah seneng banget pas ngajak kamu jalan-jalan. Aku jadi keinget adek aku, kalau liat kamu, Nash..." jawab Sovia seraya menoleh kearah sumber suara.

Anasha tersenyum dengan jawaban ikhlas dari Sovia. Sovia seperti kakaknya sendiri.

__________

"Anasha, semangat ya, cantikk. Kamu pasti bisaa!" seru seorang gadis yang tengah duduk di atas kursi penonton. Anasha menoleh kearah Sovia sembari tersenyum lebar dan mengacungkan ibu jarinya.

Sovia mengangguk dan tersenyum bahagia melihat Anasha—adik kelasnya berada di antara seratus peserta dari berbagai penjuru Indonesia.

Suara mikrofon panitia mulai bersahut-sahutan. Beberapa ketukan mikrofon juga mulai terdengar. Sementara Sovia berusaha berdoa untuk Anasha.

"Waktu mengerjakan soal, dimulai dari... Sekarang!" seru panitia sekaligus MC yang berada di depan. Sovia terus memperhatikan setiap gerak Anasha.

"Tuhan, tolong berikan aku kesempatan..." ucap Anasha setelah berdoa untuk keberhasilan dirinya dalam mengerjakan soal-soal yang berada di hadapannya.

Enam puluh menit, telah berlalu. Seluruh peserta kini kembali pada tempat duduk khususnya masing-masing. Sekarang gilirannya Sovia yang menempati tempat duduk perlombaan.

"Kak Soviaaa! Semangat, kakkkk!" seru Anasha dan disusul oleh senyuman kecil dari Sovia. "Ya tuhan, tolong bantu kak Sovia juga..." doa Anasha sembari menatap punggung Sovia.  

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LUKA UNTUK NASHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang