The Wolves
Mora tidak berteriak saat cakar serigala itu berhasil melukainya. Rembesan cairan amis merah pekat jatuh bercucuran menghantam tanah. Salah satu serigala itu kembali menerjang, kali ini mengincar kakinya. Ia berhasil berkilat gesit berkat tubuh yang ramping. Saat ia sudah akan berlari menjauh, serigala itu malah menunjukkan gelagat aneh—mengendus jejak darahnya pada rumput untuk lantas dijilat pelan.
Sang gadis masih belum berani bergerak, takut aksinya hanya akan memprovokasi serigala-serigala itu lebih jauh lagi. Yang terjadi selanjutnya berhasil membuat Mora melongo. Serigala besar di hadapannya perlahan berubah menjadi wujud yang familier—seorang manusia. Pria bertelanjang dada dengan kulit sawo matang itu perlahan berdiri, menatap Mora lekat dengan mata sipitnya yang telah berganti warna.
"Jangan mendekat!" seru Mora terbata, mengacungkan rantingnya sebagai senjata pertahanan.
"Kau wanita Noir?" tanya pria bersuara bariton itu. Seluruh bagian tubuhnya menyerukan ancaman—otot besar yang terbentuk sempurna dan tinggi badan yang tak masuk akal.
Pria itu tetap bergerak maju, bersikap seolah ancaman Mora hanyalah angin lalu, lantas menariknya mendekat dan menyatukan ujung hidungnya pada ceruk leher sang gadis. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mencoba mencari sesuatu.
"Kau mengenal Noir?" Mora balas bertanya dengan suara yang diusahakan tidak menunjukkan getar, berusaha lepas dari cengkeraman pria itu sekalipun mustahil.
"Grensh, bukankah kau menyambutku dengan cara yang sangat menarik?" Noir tiba dengan kondisi utuh, hanya menyisakan beberapa jejak luka pada kulitnya. "Ah, aku meminta maaf sebelumnya karena baru saja membuat salah satu pasukanmu tak sadarkan diri."
"Kau ..." Ada emosi rumit dalam suara pria serigala bernama Grensh itu. "Aku sudah pernah bilang, kan? Tunjukkan dirimu sekali lagi di hadapanku, kau akan mati."
"Bukankah kau terlalu kejam sebagai seorang teman lama? Kau lupa terakhir kali kau nyaris membuatku tidak bisa berjalan selama beberapa hari?"
Mora ingat bagaimana Noir pernah kembali ke manor dengan kondisi mengenaskan. Apa itu ulah Grensh? Apa manusia serigala satu itu jauh lebih kuat dibanding Noir?
"Ah, benar. Aku lupa. Kau tidak bisa mati, Dewa Buangan." Ada nada mengejek dalam suara Grensh, berhasil memercik emosi dalam kedua mata Noir. "Namun aku bisa membuatmu merasakan kematian berkali-kali dan harus kukatakan, itu cukup menyenangkan."
Mora menatap dua sosok itu bergantian. Kedua kakinya masih terpaku di tanah.
"Marina, ke mari." Noir berujar datar tanpa mengalihkan matanya dari Grensh.
Saat Mora hendak melangkah mendekat, tiga ekor serigala yang masih setia menggeram penuh ancaman menghalangi jalannya. Ini ... mulai terasa tidak lucu. Lengannya masih berdenyut ngilu dan menyucurkan banyak darah, terasa seperti neraka. Perhatian Noir teralih ke sana seiring dengan jakun yang bergerak naik-turun secara lambat.
"Grensh, lepaskan dia," ujar Noir dengan suara rendah. "Kau tidak ingin malam ini berakhir dengan pertumpahan darah, kan? Kau benar, kau bisa membuatku merasakan kematian berkali-kali, tapi aku benar-benar bisa membunuh pasukan yang sangat kau sayangi itu."
"Ah, seperti yang kau lakukan kepada adikku?"
Noir terdiam. Untuk beberapa saat, Mora yakin ia dapat menangkap sepercik rasa bersalah di kedua iris violetnya. Ia mulai merasa kalau percakapan ini sudah masuk ke dalam ranah personal dan tidak seharusnya ia berada di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embrace of Endless Night
FantasyMorana Castello hanyalah gadis yang baru saja merayakan debutante saat keluarganya dinyatakan bangkrut. Demi bertahan hidup, mereka harus melipir ke desa terpencil bernama Avenell. Mora dipaksa untuk keluar dari zona nyamannya, melakukan segala cara...