Setidaknya luka badan, jiwa, takkan lagi melepuh

2 0 0
                                    


Sakhira menolakku empat kali.

Dua kata lucu, ditolak Sakhira. Sakit, tapi aku bisa apa. Pernah nggak, kalian saling suka tapi ternyata semesta nggak mendukung kalian untuk bersatu. Begitulah kami. Sebenarnya Sakhira menyukaiku, tapi dia tidak bisa untuk menjadi pasanganku.

Tebak karena apa, nggak akan ada yang bisa menyangka, Sakhira tidak berharap berumur panjang. Dia tidak mau melukaiku kalau-kalau dia tiada. Dia sakit, bukan badannya, tapi jiwanya. Aku tahu Sakhira butuh bantuan. Shakira pun tahu dia butuh bantuan. Akan tetapi, dia tidak memperbolehkan aku untuk menemaninya sembuh waktu itu. Dia butuh waktu sendiri untuk memutuskan bagaimana hidupnya akan berjalan.

Sakhira menolak untuk ditemani, tetapi aku tak bisa berhenti memikirkan dia. Selama sebulan itu, aku merindukan setiap pesan yang tidak kunjung datang, setiap detik yang berlalu tanpa kabar darinya seperti jarum jam yang terus berputar tanpa henti. Meskipun aku tahu dia butuh ruang, rasa cemas dan rasa ingin tahuku terus menggeliat dalam dada. Aku khawatir, tak hanya akan kehilangan perasaanku, tetapi juga kehilangan sosok yang berharga bagiku.

Setelah sebulan penuh penantian yang melelahkan, kami mulai berbincang, mengisi kekosongan yang terjadi selama sebulan itu. Momen-momen kecil yang selama ini kami abaikan tiba-tiba terasa sangat berharga. Hari-hari berlalu, dan kami semakin dekat. Sakhira mulai berbagi lebih banyak tentang keinginannya, tentang mimpi-mimpinya yang terpendam. Kami berbicara tentang hal-hal yang lucu, membuat lelucon, dan tertawa meski ada sedikit kesedihan yang menyelimuti cerita kami. Aku merasakan sebuah keajaiban, bahwa meskipun ada banyak rintangan, kami tetap saling terhubung.

Saat itu, aku hendak menjemputnya untuk periksa kembali. Kali ini aku sudah dibolehkan untuk menemaninya. Saat tiba di depan rumahnya, senyumnya menyapa hatiku. Kami berbincang, tertawa, dan berbagi pendapat tentang satu dan lain hal. Rasanya seperti bertemu kembali dengan bagian diriku yang hilang. Tapi di balik senyumnya, aku masih bisa melihat bayang-bayang kesedihan. Sakhira masih berjuang, dan aku tahu perjalanan kami belum berakhir.

Aku berusaha mengingatkan diriku untuk tidak terburu-buru, untuk tidak menganggap remeh setiap langkah yang kami ambil. Setiap pertemuan, setiap pesan, bahkan setiap diam, adalah bagian dari perjalanan kami. Kami berdua belajar bahwa cinta tidak selalu berarti bersatu, tetapi terkadang berarti saling memahami dan mendukung, apapun yang terjadi di masa depan.

Setelah pertemuan itu, kami mulai menjadwalkan lebih banyak waktu bersama. Setiap kali kami bertemu, aku merasa ada kemajuan, meskipun perlahan. Namun, kadang-kadang, di tengah tawa dan cerita, aku merasakan momen-momen ketika Sakhira kembali terjebak dalam pikirannya sendiri. Dia menghela napas, tampak berat. Dia merasa seperti tidak berharga, seolah semua usaha yang dia kukan sia-sia, katanya. Hatiku teriris mendengar ungkapan itu. Aku ingin sekali menghapus semua rasa sakitnya, tetapi aku tahu aku tidak bisa.

Keesokan harinya, kami melanjutkan rutinitas kami, tetapi suasana hatinya tampak lebih suram. Mungkin aku sudah terlalu berharap. Sakhira masih dalam proses penyembuhan, dan itu bukanlah perjalanan yang linier. Dia mengalami pasang surut, dan aku harus bersiap menghadapi momen-momen ketika dia merasa terpuruk lagi.

Dia merasa ada beberapa kemajuan, tapi tidak selalu mudah. Ada hari-hari ketika dia merasa sangat baik, dan ada juga hari-hari ketika semua terasa sangat berat. Hari-hari berlalu, dan meskipun ada kemajuan, aku mulai menyadari bahwa Sakhira masih berjuang dengan rasa tidak berharga dan ketidakpastian.

Hatiku terasa berat. Meskipun aku berusaha memberinya semangat, aku juga merasa tak berdaya. Aku tidak bisa berada di dalam kepalanya, tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan. Tetapi aku tahu, aku harus tetap berada di sisinya. Hari-hari berubah menjadi minggu, dan aku melihat gelombang emosinya naik turun. Ada momen ketika dia tampak ceria dan penuh energi, tetapi kemudian bisa tiba-tiba tenggelam dalam kesedihan.

Namun, di dalam perjalanan itu, aku menyadari bahwa aku harus berhati-hati. Aku tidak ingin menjadi penyelamatnya, tetapi hanya seorang teman yang mendukung. Aku tahu bahwa perjalanan Sakhira adalah miliknya sendiri, dan aku hanya bisa berada di sampingnya, siap untuk mendengarkan dan berbagi saat dia membutuhkanku. Kami melanjutkan perjalanan ini, berusaha saling memahami dan mendukung satu sama lain. Di tengah perjalanan yang penuh liku ini, kami belajar bahwa cinta tidak selalu berarti menyelesaikan semua masalah, tetapi lebih pada kehadiran satu sama lain dalam setiap langkah yang diambil. Dan di sanalah, di antara tawa dan air mata, kami menemukan kekuatan untuk terus melangkah maju.

Sampai akhirnya, Sakhira dirawat inap di rumah sakit.

Semoga Sembuh✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang