8. Pertemuan luka

736 160 388
                                        

Allahumma shali ala sayyidina Muhammad.

***

Kaheen, aku habis keluar main bersama teman. Dan sekarang sudah pulang. Dan baru aja ada yang mengetuk pintu, kuintip ternyata seorang wanita, sepertinya mau menjumpaimu. Dia berdiri di depan pintu sejak tadi. Perlu kubuka?

Zaheen termenung sebentar, mengamati sebuah pesan dari Elnara yang dikirim padanya. Awalnya Zaheen terlihat bingung siapa wanita itu, tapi setelah ia dalami lagi pesan Elnara, ia telah menemukan jawabannya.

Jangan.

Itulah balasan Zaheen pada Elnara. Setelah mematikan layar ponsel, ia memakai helmnya kembali, lalu menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

***

"Kenapa Mama tidak mengangkat telepon dari Nezza? Dia menangis sejak tadi malam, Ma." Terdengar Barra di kamar sedang berbicara lewat teleponnya.

"Ah, iya, sampaikan maaf, Nak. Kemarin baterai Hp Mama mati, dan charger Mama kesiram sesuatu jadi gak bisa berfungsi lagi, ini Mama telepon kamu sambil mengisi daya. Mama juga udah telepon Nez balik, tapi dia gak angkat. Dia marah, Nak?"

Barra menggeleng pelan, "Mama pasti tahu Nezza gimana. Seperti biasa, dia gak selera makan, tentu mungkin ada dua kemungkinan. Dia rindu masakan Mama, atau memang masakan Rikki gak ada rasa. Dia juga irit bicara, bahkan pagi-pagi dia pergi membuka tokonya tanpa izin ke kita."

"Kalau lagi sedih, biasanya dia gak memikirkan masakan itu enak atau enggak, pasti kemungkinan... dia rindu masakan Mama."

Barra terkekeh kecil, diikuti oleh Mamanya di balik telepon sana. "Bagaimana jika Mama mengirimkan masakan Mama untuk kami ke sini? Barra juga rindu."

"Hm... keburu dingin, dong? Haha. Oh ya, Mama akan pulang pekan ini, rahasiakan dari adik perempuanmu."

***

Zaheen melepaskan helmnya, sehingga bunyi motor Zaheen membuat si wanita yang berdiri di depan itu menoleh ke hadapan Zaheen. Wanita itu, dengan penampilan serba hitam bak orang berada, ia tersenyum penuh rasa sendu saat bisa melihat wajah Zaheen.

"Zaheen...."

Lirihan itu pelan sekali. Penuh dengan rasa rindu yang berat. Bahkan penyelesannya semakin berkali-kali lipat. Tak bisa dipungkiri, ia sudah meneteskan air mata ketika Zaheen telah berdiri menghadapnya.

Wanita itu semakin mendekatkan langkahnya pada Zaheen. "Mama... rindu."

"Jika rindu, datanglah ke kuburanku."

Deg.

"Bukankah... aku telah mati bagimu. Kau tak pernah menemuiku, bagai aku telah terkubur. Bahkan, seorang Ibu... ketika melihat anaknya di kubur, dia masih sering menjenguknya. Menangisinya. Atau bahkan tidak ingin meninggalkan kuburannya, karena merindukan kebersamaan mereka. Sedangkan kau... pergi... meninggalkan manusia yang lahir dari rahimmu, dengan keadaan dia masih bernyawa. Meninggalkannya, tanpa pernah menemuinya. Seolah... kau merasa... kau tak pernah memiliki anak yang sedang hidup di bumi."

"Lupakan rindu itu. Kuburan anak yang kau rindukan itu, sudah tak dikenali."

Zaheen dengan rasa sesaknya, mulai melangkah melewati wanita yang sudah menangis terisak itu. Sebelum Zaheen membuka pintu, wanita itu menghadapkan dirinya ke arah Zaheen.

Detak-DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang