Kadang ada manusia yang kita lihat paling mudah untuk bahagia.Dan terkadang kita lihat ada manusia yang diberi banyak kesedihan dihidupnya.
Dan ada juga, manusia yang kita lihat bahagia, tapi ternyata menyimpan banyak kesedihan.
***
"Suka?"
Elnara mengangguk cepat. Ia melahap es krimnya dengan amat senang. Tanpa memikirkan Zaheen yang kini kedua tangannya hanya dipenuhi oleh tas belanja milik Elnara. Mereka berjalan pulang, menuju rumah.
"El, sudah pikirkan apa kesibukanmu selama di sini?"
Zaheen bertanya pada Elnara yang kini sudah terduduk di sofa, diikuti oleh Zaheen juga. "Belum terpikirkan, sih. Karena aku merasa kehadiranku di sini sangat mengganggu kefokusan Kak Zaheen. Jadi lebih baiknya...." Elnara mengeluarkan ponselnya. "Aku mencari kontrakan di dekat sini."
"El, jangan lakukan itu."
"Tenang aja. Kaheen gak perlu cemas soal Papa. Papa gak akan marahin Kaheen karena ini." Elnara paham apa maksud Zaheen. "Aku juga bawa teman-teman, jadi aku gak sendiri di kontrakan. Mereka bentar lagi dateng. Aku mau beresin barang-barang."
Elnara bergerak bangkit menuju kamar yang telah disiapkan Zaheen. Sedangkan Zaheen hanya menatap kepergian Elnara lalu termenung sejenak. "Kak Heen! Terima kasih dekorasi kamarnya! Maaf tidak menghargaimu!" terdengar suara teriakan Elnara dari dalam kamar, membuat Zaheen langsung tersenyum dengan menghela napas lega.
"Kaheen. Aku sukaaa banget. Lukisan-lukisan ini. Aku izin bawa semua lukisannya untuk dinding kontrakanku, ya?" Elnara keluar, dengan membawa beberapa bingkai lukisan buatan Zaheen. Dan Zaheen yang habis memasak sembari menyiapkan makanan di meja pun, ia mengangguk saja.
"Terima kasih sudah suka. Maaf kalau ada yang kurang dariku sebagai Kakak yang baik." Zaheen berujar, membuat Elnara yang duduk di meja makan sana sembari menatap indah lukisan Zaheen, ia mendatarkan senyumannya.
"Kaheen, apa yang kurang? Kaheen gak pernah kurang apa pun selama jadi Kakak. Jangan berpikir negatif terus menerus. Apalagi terus berbuat sesuatu untuk buat aku senang. Kaheen sama sekali gak ada berhutang sama aku. Jangan terlalu mengikuti kemauan Papa untuk buat aku selalu bahagia. Dari dulu... dari dulu. Kaheen selalu menguras tenaga buat banyak cara untuk aku merasa senang. Kaheen gak capek? Aku aja yang lihat capek. Lihat, semua ini Kaheen siapkan untuk buat aku merasa puas. Padahal, aku gak butuh semua ini. Aku mau, Kaheen bersikap dan berbuat sesuatu kayak biasa aja. Jangan pernah dengarkan omongan Papa yang ngancem Kaheen buat aku bahagia sampai lupa bahwa Kaheen juga punya dunia sendiri. Kaheen punya kesibukan Kaheen sendiri. Intinya, apa pun yang Kaheen buat, aku bahagia. Jangan mikirin aku terus."
Zaheen terdiam, ia melepas celemeknya lalu terduduk di meja makan. Ia menatap hidangan yang telah dibuatnya di meja. "Apa masakan ini kau suka?" Zaheen berlirih pelan, sedangkan Elnara, ia menghapus air mata yang turun membasahi wajah saat menjelaskan panjang lebar kepada Zaheen.
"Semua masakan yang dibuat Kak Zaheen. Adalah masakan favoriteku. Rasanya pasti dibuat seenak-enaknya supaya aku suka. Seperti seorang pelayan yang selalu memberikan hasil terbaik untuk tuannya." Elnara berbicara dengan menahan tangis.
Zaheen menunduk. Dia merasa telah melakukan kesalahan kembali. "Maaf."
"AKU GAK PERLU MINTA MAAF KAHEEN. DI SINI AKU YANG HARUS MINTA MAAF, KAK!" Elnara bangkit dari duduknya dengan rasa sesak di dada. Ia begitu heran pada Zaheen yang selalu menjadikannya tuan terhormat. "KAHEEN BUKAN PEMBANTU. KAHEEN JUGA BUKAN ANAK BUAH PAPA. KITA KELUARGA. KAHEEN GAK USAH TERLALU MENGHORMATI AKU."
"Elnara... tenanglah," lirih Zaheen, membuat Elnara mengusap wajahnya, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di meja. Menatap Zaheen dengan rasa kecewanya.
"Kaheen anggap aku apa, sih? Adikmu... atau tuanmu?"
Zaheen menggeleng. "Bukankah seorang Kakak harus memberikan yang terbaik untuk adiknya?"
"TAPI INI BERLEBIHAN. KAHEEN SEPERTI NGANGGAP AKU SEBAGAI TUAN!" Elnara menjerit, membuat Zaheen hanya menatap Elnara dengan pandangan kaburnya. "Dan... aku merasa... Kaheen nggak pernah menganggap aku sebagai adik kandung Kaheen... Kaheen selalu berbuat layaknya memang kita bukan saudara kandung! Kaheen selalu berbuat hal-hal yang sepatutnya bukan seorang Kakak lakukan pada adiknya!"
"Aku tahu kita bukan saudara kandung, aku tahu! Tapi bisakah memperlakukanku sebagai adikmu? Bukan tuanmu....?" Elnara berlirih pelan di akhir kalimat. Dia merasa puas telah melampiaskan apa yang dirasa selama ini. Elnara mengatur napasnya yang berderu tak beraturan, memilih masuk ke dalam kamar meninggalkan Zaheen yang hanya tertunduk diam.
"Em, tadi... di telepon, dia bilang... Zaheen, Papa mengirim adikmu ke sana. Tolong jaga dia. Jangan terlalu menikmati duniamu sendiri. Ingat itu. Jangan kau berulah. Begitu."
Zaheen terkekeh hambar, ia semakin menundukkan kepala dengan rasa gagalnya. "Aku berulah lagi. Aku berulah disaat aku belum menikmati duniaku."
***
Zaheen kini keluar dari kamar mandi. Tapi kakinya tertahan saat ia melihat Elnara memasukkan semua masakan buatannya yang disediakan di meja, ke dalam kotak makan lalu dimasukkan ke dalam tasnya. Elnara juga meninggalkan kertas di meja, lalu dengan pelan kaki Elnara membawa koper keluar dari pintu rumah Zaheen.
Setelah pintu tertutup, Zaheen mengambil kertas yang ada di meja. Zaheen tersenyum membacanya.
Maaf Kaheen. Lagi-lagi gak menghargai usaha yang dibuat olehmu. Tadi, kulihat ada kucing yang memakan semua masakanmu. Ah, aku benar-benar merasa bersalah. Jadi aku izin kabur, ya. Jangan marahi aku! Atau kuadukan pada Papa! Bahagialah kaheen. Bahagianya harus panjang.
***
Kadang senang, kadang juga menangis.
"Mama beneran, mau pergi secepat ini?" Aku berhenti melangkah saat mendengar suara Mama dan Bang Barra mengobrol diam-diam di kamar Mama.
Tak bisa kutahan untuk tak penasaran, aku mengintip percakapan lewat pintu yang sedikit terbuka. Terlihat Mama mengangguk dengan tersenyum. Mereka saling menyentuh kedua punggung tangan. "Kamu harus istirahat di rumah. Mama akan bekerja di sana. Jangan pikirkan Mama, kamu harus pikirkan adik-adikmu. Jaga adik-adikmu. Jaga kesembuhanmu. Mama akan kirim uang, supaya bisa dikumpulkan untuk biaya pengobatanmu."
Aku langsung menyandarkan punggung di dinding. Mengamati perbincangan mereka, seolah mamaku ingin pergi bekerja jauh, sedangkan Bang Barra akan menjaga rumah merawatku dan Rikki, sedang Bang Barra tak bisa bekerja lagj sebab memiliki penyakit. Aku tidak tahan jika menahan tangis di sana, segera aku lari ke dalam kamar, menutup pintu, dan melampiaskan tangisan dalam waktu yang lama.
Kenapa menjadi dewasa harus serumit ini?
Kenapa harus melewati banyak rintangan seperti ini?
Kenapa dewasa harus sebekerja keras ini?
Kenapa harus memiliki masa sulit bahkan ditinggal dan meninggalkan adalah jalan yang selalu datang untuk dilalui dari masa lampau bahkan mendatang.
Aku tak ingin menjadi dewasa lebih lagi.
Inezza Hindirahayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak-Detik
أدب المراهقينPerjumpaan kami di malam itu, rupanya bukan hanya sebuah kebetulan. Melainkan Tuhan telah merencanakan. Kupikir hanya sekilas bertemu. Ternyata aku diperkenankan masuk ke dalam dunia lelaki itu. Setelah sekian lama dipertemukan, baru kusadari, deti...