"Gabriel, biarin saya masuk..." Marco menghela napas berat, berdiri tak sabar di depan pintu apartemen Gabriel. Dari dalam, dia mendengar Gabriel juga menghela nafas panjang, seolah berusaha meredam emosi yang sudah lama tertahan. "Kenapa bapak ngelakuin itu?" suaranya terdengar tenang, namun penuh tanda tanya.
Marco tahu persis apa yang dimaksud Gabriel. Ini bukan tentang masalah sepele, Marco tahu bahwa yang ditanyakan adalah soal lukisan itu. Soal keputusannya yang tak terduga untuk membeli lukisan dengan harga yang fantastis. Jujur saja, dia sendiri juga tak sepenuhnya tahu kenapa. Satu hal yang terus menghantui pikirannya saat itu hanyalah, dia tak bisa membiarkan lukisan itu di beli orang lain.
"Saya...." Marco menarik nafas dalam-dalam, mencoba merangkai kata. Tangannya menyapu rambutnya. "Saya sendiri sebenarnya nggak tahu," ucap si mantan bos, suaranya terdengar lelah. "Saya cuma ngerasa aneh kalau lukisan itu dibeli sama orang asing... kayak saya gak suka aja." Ucapannya diakhiri dengan helaan nafas panjang.
Tiba-tiba, Marco mendengar suara pelan dari balik pintu—suara pin yang di tekan. Dia sedikit lega, dan tanpa sadar melangkah mundur menjauhi pintu, mengira Gabriel akan membukanya. Tapi kemudian suara itu berhenti, pintu tetap tertutup rapat.
"Kenapa saya harus biarin bapak masuk?" tanya Gabriel dengan suara tenang dan dingin, penuh keraguan. "Lagipula, selama ini kita nggak begitu akrab kan?" Tambahnya, suaranya merendah seolah ucapan itu keluar dari tempat yang jauh di dalam hatinya.
"Saya mau memperbaiki semuanya..." ucap Marco dengan nada putus asa ketika mendengar langkah Gabriel menjauh mulai dari pintu. "Sebentar Gab!" serunya, namun tak ada balasan dari balik pintu.
Marco merasa semakin frustasi. Dengan perlahan, dia mengetukkan tinjunya ke pintu dan menundukkan kepalanya, merasa bodoh dan menyesal.
Apa yang sedang saya lakukan? pikirnya, hampir menyerah dan bersiap untuk pergi.
Tapi tepat ketika dia hendak berbalik, suara pin kembali terdengar. Pintu itu perlahan terbuka, dan di ambang pintu, Gabriel berdiri dengan senyum kecil di wajahnya. "Saya biarin bapak masuk karena saya laper," ujarnya dengan nada bercanda, sebelum berbalik dan masuk lebih jauh ke dalam apartemen.
Marco ragu namun tapi mengikuti Gabriel, menutup pintu perlahan. Ketika dia melangkah masuk, perasaannya campur aduk. Seketika dadanya terasa sesak saat melihat berantakannya apartemen tersebut dengan pecahan kamera.
Gabriel berjalan ke area dapur dan menyilangkan tangan, menatap Marco dengan alis sedikit terangkat. "Cuma butuh 2 piring sama 2 gelas" ujar Marco sambil membuka kantong plastik yang dibawanya, memperlihatkan makanan dan sebotol anggur.
"Okay" Jawab Gabriel dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya.
Gabriel mengeluarkan dua gelas serta dua piring, lalu membawanya ke meja makan. "Biar saya aja," kata Marco sambil mengambil piring dari tangan si mantan karyawan. Gabriel mengangguk kecil, mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.
Mereka bekerja sama menata meja dengan tenang, tanpa banyak bicara. Marco kemudian membuka kotak makanan yang dibawanya, memperlihatkan dua steak yang terlihat sempurna bersama sayuran segar. Dengan cekatan, dia memindahkan makanan tersebut ke piring, menatanya dengan rapi sebelum mengambil botol anggur dan menuangkan ke gelas.
"Saya dengar kamu cukup selektif soal anggur, jadi saya harap kamu suka sama yang satu ini," ucapnya sambil mengangkat botol anggur yang baru saja dikeluarkannya. Matanya menatap Gabriel dengan penuh harap. "Anggur yang enak selalu bisa dihargai kok pak," jawab Gabriel dengan nada santai namun tersirat rasa antusias, senyumnya merekah lebih lebar dari sebelumnya.
Dengan tawa kecil, Marco segera membuka botol itu, memberikan sedikit dalam gelas agar Gabriel bisa mencicipinya lebih dulu. Setelah melihat anggukan persetujuan dari si mantan bawahan, Marco pun menuangkan segelas penuh untuk mereka berdua.
"Jujur apa pak, saya gak nyangka bapak bisa masak," Gabriel berkomentar sambil memperhatikan hidangan di depannya yang dibawa dengan tempat makan rumahan, matanya penuh rasa penasaran.
Marco tertawa, "jangan salah paham. Saya gak bisa masak! Paling-paling bikin teror untuk sarapan. Makanan ini? mba yang masak." Dengan senyum menggoda, Marco memberi isyarat halus agar Gabriel mulai mencicipi hidangannya. "Selamat menikmati."
Mereka berdua menikmati makanan dalam diam selama beberapa waktu, membiarkan suasana tenang menyelimuti sekeliling mereka. Tak ada suara lain selain gemerisik lembut alat makan yang sesekali terdengar. Ketenangan itu memberikan rasa nyaman yang tak terbantahkan bagi keduanya.Setelah beberapa saat, Marco akhirnya memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan, seolah sedang berbincang dengan seorang teman lama yang baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah. "Jadi, gaimana pekerjaan barumu? betah?" tanyanya dengan nada ringan, namun penuh rasa ingin tahu.
Gabriel mengangkat pandangannya, sedikit terkejut oleh keakraban dari nada bicara Marco. "yup, cukup baik," jawabnya dengan pelan, merasa sedikit canggung saat berbicara tentang dirinya sendiri. Perasaan aneh itu menyusup, seolah-olah dia baru saja menyadari bahwa mereka sedang berbagi lebih dari sekadar makan malam.
Marco tersenyum sambil menyesap anggurnya dengan perlahan, menikmati setiap tetesnya sebelum melanjutkan, "Saya denger sekarang kamu modeler untuk alat berlian. Jujur aja, saya gak pernah bayangin kamu jadi teknisi," ucapnya, sedikit kagum dalam suaranya. "Saya kira kamu jadi aspri lagi atau sekretaris di perusahaannya Noval."
"Ya.. waktu kuliah saya emang belajar soal mesin," jawabnya dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya, menatap Marco sejenak. Ada sedikit kehangatan dalam tatapan si mantan bos, seperti menjelaskan bahwa meski percakapan ini terasa aneh, dia tetap menikmatinya.
Rasanya luar biasa janggal duduk bersama seperti ini. Padahal beberapa minggu yang lalu, mereka terlibat dalam konflik sengit yang mungkin tak berakhir baik. Namun, entah bagaimana, mereka sekarang duduk tenang di meja makan, menikmati hidangan layaknya teman lama yang tak pernah memiliki masalah apa pun di antara mereka. Keheningan yang biasanya akan terasa menyesakkan, sekarang malah menawarkan rasa damai dan ketenangan yang sulit didapatkan di percakapan lain.
Gabriel akhirnya memecah keheningan. "Terima kasih..." katanya pelan, suaranya terdengar tulus tapi penuh keraguan, seolah-olah dia ragu apakah harus mengatakannya.
Marco, yang tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri, mendongak dengan cepat mendengar ucapannya. Ekspresi bingung tergambar di wajahnya. "Untuk apa?" tanyanya, benar-benar tak mengerti.
"Untuk yang tadi," jawab Gabriel sambil menghela nafas panjang. Ada kelegaan dalam suaranya, seolah-olah apa yang ia rasakan akhirnya bisa keluar. "Udah hubungin Pak Ddedi," tambahnya, menatap Marco dengan pandangan yang menunjukkan rasa syukur yang mendalam, meski mungkin sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Marco menghela napas panjang, pandangannya terfokus pada Gabriel dengan sorot mata penuh penyesalan. "Saya minta maaf," katanya dengan suara pelan, "kalau saja saya gak beli lukisan itu, mungkin semua kekacauan ini gak akan terjadi.
Gabriel tertawa kecil, meskipun sedikit canggung, mencoba meredakan suasana yang tiba-tiba terasa berat. "Saya akuin pak," katanya, senyum malu-malu mulai menghiasi wajahnya, "agak geli, tapi juga menyenangkan, melihat potretku dipajang di atas perapian seperti itu."
Marco tersenyum tipis, tatapannya tidak pernah lepas dari mata Gabriel. "Tempat yang sempurna untuk sebuah mahakarya," kata Marco dengan nada lembut, tetapi penuh ketegasan. Ada sesuatu dalam cara dia mengatakannya—mungkin kekaguman, atau mungkin perasaan yang lebih dalam—yang membuat Gabriel merasa dadanya berdegup lebih cepat.
Gabriel segera merasakan pipinya memerah, dan dengan cepat dia berdeham, mencoba menenangkan perasaannya yang bergejolak. "Hmm, yah," katanya, mencari-cari cara untuk mengalihkan pembicaraan, "Makanan yang bapak bawa enak." Dia dengan sengaja memalingkan pandangannya dari Marco, tidak sanggup menahan tatapannya yang begitu intens.
"Nanti saya sampaikan ke mba," kata Marco sambil menyesap anggurnya.
.
.
.
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA AYANG-AYANGKU....
KAMU SEDANG MEMBACA
about me - MEWGULF
ChickLit"James Avery, CEO Avery Crop, meninggal tadi malam setelah berjuang melawan kanker dalam waktu yang lama. James Avery, berusia 63 tahun, adalah salah satu-" Gabriel mematikan TV, tak sanggup mendengar berita tentang kematian atasannya... Dia sendiri...