Setelah menikmati paginya, Gabriel memutuskan keluar dari gedung apartemen di hari ini, matanya langsung menangkap pandangan beberapa wartawan yang mendekatinya. Tanpa berpikir dua kali, dia bergegas menghindari awak media, lalu dengan cepat menuju ke taman terdekat. Di sana, dia menemukan sebuah bangku kosong dan duduk diam. Hanya ada satu keinginan dalam benaknya saat itu—untuk menikmati sedikit ketenangan dan menjauh dari semua hiruk pikuk.
Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama. Beberapa paparazzi yang sepertinya telah mencium keberadaannya mencoba mendekat, berharap bisa menangkap gambar atau mendapatkan sedikit cerita dari Gabriel. Setiap kali mereka mendekat, Gabriel selalu berhasil melarikan diri.
Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Rasanya tak ada tempat yang lebih aman daripada bersembunyi di dalam rumah. Hari itu, Gabriel memutuskan untuk tidak keluar lagi. Dia memilih mengurung diri di dalam, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan.
Sempat terlintas di pikirannya untuk menelepon Natalie, mungkin berbagi cerita atau hanya sekadar mendengar suara si mantan rekan kerja. Tapi, pada akhirnya, dia mengurungkan niat itu. Gabriel merasa tidak sanggup berbicara dengan siapapun. Dia hanya ingin sendiri, mencoba memahami kekacauan yang sedang melanda hidupnya.
Sekitar pukul enam sore, Gabriel merasa malas untuk memasak, jadi dia memutuskan untuk memesan makanan saja. Setelah mengambil menu dari restoran China yang biasa dia kunjungi di ujung jalan, dia memilih beberapa hidangan favoritnya dan menelepon untuk memesan.
Setelah menutup telepon, Gabriel berbalik menghadap jendela apartemennya. Saat itu, lampu di apartemen yang berada tepat di seberang tiba-tiba menyala. Matahari sudah hilang, dan kegelapan di luar membuatnya bisa melihat dengan jelas ke dalam apartemen tersebut. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang tidak mungkin salah—di sana, tergantung di atas perapian, lukisan yang sangat dikenalnya. Lukisan dirinya.
Dia mengerutkan kening, menyipitkan mata untuk memastikan penglihatannya. Apakah itu benar-benar lukisannya yang tadi malam terjual di acara gala? Pikirannya penuh tanda tanya.
Tepat saat dia mencoba mencari tahu, seorang pria masuk ke dalam ruangan. Sosoknya yang tinggi dan familiar itu langsung menarik perhatian Gabriel, membuatnya terpaku sejenak.
Gabriel langsung berjongkok di balik kitchen island dan buru-buru mematikan lampu.
Tunggu, apa Marco tinggal di apartemen sebrang? pikir Gabriel, jantungnya berdegup kencang.
Dengan hati-hati, dia mengintip dari balik meja, berusaha memastikan apakah pria yang dilihatnya tadi benar-benar Marco. Meskipun sosoknya terlihat familiar dengan ciri-ciri yang jelas ia kenali, jaraknya terlalu jauh untuk benar-benar bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah lamunannya.
Siapa yang datang malam-malam begini? pikirnya cemas. Gabriel menyalakan lampu dengan cepat dan melangkah ragu menuju pintu. Mengintip melalui lubang intip, dia melihat seorang pria Asia dengan tas makanan China di tangannya.
Secepat ini? gumamnya dalam hati, terkejut melihat pesanannya datang begitu cepat. Namun, tanpa berpikir panjang, Gabriel tetap membuka pintu.
Ada pria lain yang mendorong pintu semakin lebar, membuat Gabriel terhuyung mundur. Dua orang lainnya langsung menyusul masuk, salah satunya seorang wanita berpakaian formal dengan mikrofon di tangan, sementara yang lainnya seorang pria dengan kamera yang sudah siap merekam.
"Keluar!" Gabriel menahan amarahnya.
"Mas Gabriel, apa komentar mas mengenai kejadian tadi malam?" tanya wanita itu dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh amukan Gabriel.
"Keluar!" Gabriel kembali berteriak.
Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat suasana tegang semakin memuncak. Dari balik pintu, muncul Pak Dedi, tinggi, tegap, dan berwajah tegas. Pria yang biasanya begitu tenang dan lembut, yang selama ini dikenal Gabriel sebagai sosok yang penuh kesabaran dan kebaikan. Namun, malam ini, ada api kemarahan yang jarang terlihat di matanya.
"Semua orang yang gak tinggal di sini, keluar sekarang juga!" suaranya bergemuruh di dalam ruangan, seolah mengguncang dinding apartemen. Kru media, yang sebelumnya tidak terpengaruh oleh kemarahan Gabriel, tetap berdiri tanpa merasa gentar. Namun, dalam hitungan detik, Pak Dedi meraih kamera besar yang dipegang salah satu kru dan dengan gerakan cepat dan penuh kekuatan, dia menghantamkannya ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Suara benturan keras itu menggema, dan barulah saat itu kru media tersadar.
"Saya bilang keluar!" ancaman itu begitu jelas, membuat kru media dengan cepat berbalik, keluar dari apartemen tanpa banyak bicara. Pintu ditutup dengan keras di belakang mereka, dan suasana kembali sunyi.
Gabriel, yang baru saja tersadar, mendapati dirinya gemetar. Segala kejadian tadi terasa begitu cepat, terlalu cepat untuk diproses. Pak Dedi, mendekat dan mengusap pundak Gabriel.
"Maaf ya mas, saya lalai jaga di depan lobby," bisik Pak Dedi, suaranya berubah lembut, penuh penyesalan.
"Mereka datang satu per satu, jadi gak keliatan mencurigakan mas," Pak Dedi berkata.
"Jadi ada orang yang lapor kalo di tempat mas Gabi ada masalah, jadi saya dateng kesini," tambahnya, dengan nada syukur yang mendalam.
Setelah memastikan Gabriel tau bagaimana bisa orang-orang itu masuk ke gedung ini, Pak Dedi memutuskan untuk kembali ke bawah.
Gabriel, yang masih kaget, memutuskan untuk menelepon restoran China tempat ia memesan makanan dan membatalkan pesanannya. Dia sama sekali tidak ingin membuka pintu lagi setelah kejadian yang baru saja menimpanya. Ketakutan dan kelelahan bercampur aduk, membuatnya ingin menghindari segala interaksi lebih lanjut.
Setelah menutup telepon, dia duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya. Pikiran-pikiran liar berlarian di kepalanya, memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Namun, belum sempat dia merancang rencana, bel pintu berbunyi lagi. Suara itu langsung membuat hatinya berdegup kencang, membawa kembali rasa cemas yang baru saja berusaha ia lupakan.
Awalnya, Gabriel mencoba mengabaikan suara bel yang berbunyi terus-menerus. Namun, ketika pria di balik pintu itu memanggil namanya, Gabriel langsung tahu siapa yang berdiri di luar. Itu Marco—dia sangat mengenali suara mantan bosnya.
Dengan langkah malas, Gabriel mendekati pintu dan berdiri tepat di sebelahnya, tetap tidak membuka pintu. "Bapak mau apa?" teriaknya dari balik pintu, suaranya tegas namun masih ada sedikit rasa jengkel yang terdengar.
"Saya mau bicara sama kamu," balas Marco dengan nada lebih pelan dan tenang, hampir seperti sedang mencoba menenangkan suasana. Gabriel mendengus, merasakan frustasi muncul lagi. "Bicara soal apa?"
Setelah beberapa detik terdiam, Marco akhirnya berkata, "Saya ingin minta maaf atas apa yang saya katakan di hari terakhir kamu kerja." Suaranya terdengar lebih tulus sekarang. Setelah jeda yang cukup lama, Marco kembali bersuara dengan intonasi lebih rendah, "Dan... saya bawa makanan buat kamu."
.
.
.
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
about me - MEWGULF
ChickLit"James Avery, CEO Avery Crop, meninggal tadi malam setelah berjuang melawan kanker dalam waktu yang lama. James Avery, berusia 63 tahun, adalah salah satu-" Gabriel mematikan TV, tak sanggup mendengar berita tentang kematian atasannya... Dia sendiri...