BAB 15 - PERMINTAAN MAAF

148 48 17
                                    

JANGAN LUPA DI VOTE DAN KOMEN YA AYANG-AYANGKU



Sebenernya Marco hampir saja mengatakan apa yang dia pikirkan, namun sayang ponsel Gabriel berdering. Dalam sekejap, matanya melirik ke arah smartphone tersebut, melihat nama Natalie yang berkedip di layar, disertai dengan foto dengan Jack yang terpampang jelas.

"Angkat aja," ucap Marco, sambil memamerkan senyum yang terlukis di wajahnya. "Sepertinya sudah saatnya saya pergi."

Ketika Marco berdiri dari kursi, Gabriel berusaha menahan, "Nggak pak, agak kurang sopan kalo saya angkat telponnya." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Gabriel, tanpa sempat dipikirkan.

Terkejut oleh respon Gabriel yang tiba-tiba, Marco berhenti sejenak, merenung. Di tengah keheningan itu, suara dering telepon terus berlanjut, menyita perhatian dari kedua pria dewasa.

"Sebenarnya, saya juga gak sopan maksa kamu buat biarin saya masuk dan berbagi makan malam bersama," tambah Marco sambil terkekeh, berusaha mengubah suasana menjadi lebih ringan.

"Ya ampun pak...." Gabriel mulai berbicara, namun suara getaran ponsel yang kembali terdengar menghentikannya. Marco, yang tampak ingin menyudahi situasi canggung itu, meraih kantong-kantong makanan kosong di meja sambil berkata lembut, "Angkat aja. Beneran gak apa apa."

Dengan sedikit ragu, Gabriel akhirnya mengangguk, tangannya bergerak meraih ponsel. Ia menggeser layarnya dan mengangkat telepon itu.

"Halo," ucapnya singkat, namun suaranya segera tenggelam oleh nada cemas Natalie yang langsung menyergap dari sisi lain percakapan.

Meskipun Marco tak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang disampaikan Natalie, dia bisa merasakan kekhawatiran yang tergambar jelas dari nada panik di balik suara sekertarisnya. Marco tak butuh mendengar kata-katanya untuk tahu bahwa sesuatu yang mendesak sedang terjadi dalam obrolan mereka.

Dia mengamati dengan seksama saat Gabriel berdiri, mulai berjalan bolak-balik di ruangan sambil terus menganggukkan kepala, seolah-olah sepenuhnya tenggelam dalam percakapan telepon dengan Natalie. Gerakannya gelisah, dan Marco bisa melihat bahwa apa pun yang sedang dibicarakan sangat mengganggu pikiran pria di depannya ini.

Memanfaatkan momen itu, Marco dengan tenang membereskan meja. Dia mengumpulkan piring-piring kotor dan dengan cepat memasukkannya ke dalam mesin pencuci piring. Setelah itu, dia merapikan semua kantong kertas dan plastik yang berserakan, melipatnya dengan rapi menjadi satu tumpukan kecil. Sesekali, dia juga melirik Gabriel.

Ketika Marco kembali mengarahkan pandangannya pada si mantan karyawan, dia melihat ekspresi rumit yang sulit dijelaskan di wajah Gabriel, campuran antara kecemasan dan fokus. Gabriel terus mondar-mandir, hingga akhirnya dia berbicara, memecah keheningan.

"Lu tenang ya Nat. Semuanya bisa di selesaiin. Yang perlu lu lakuin sekarang, hubungin bagian gudang, tanya Justin, dan bilang juga kalo gua yang nyuruh. Habis itu, kirim bunga ke Pak Sinaga dan istri. Mungkin bisa menyelesaikan sebagian besar masalah." Gabriel berhenti sejenak, menarik napas lega, sebelum melanjutkan, "Oh iya... syukur kalo si Jack gak kenapa-kenapa."

Gabriel terdiam sejenak, fokus pada suara di ujung telepon yang jelas mengharuskannya berpikir cepat. Ia mengangguk sekali lagi, meski lawan bicaranya tak bisa melihat.

Marco, yang tadinya berniat menyelinap keluar tanpa mengganggu Gabriel, mendadak berubah pikiran. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik, menyaksikan Gabriel kembali ke peran lamanya seolah-olah waktu tak pernah berlalu. Dalam beberapa detik itu, ia bisa merasakan keakraban Gabriel dengan tugas-tugas yang pernah menjadi bagian dari kesehariannya. Marco tahu persis apa yang sedang dibicarakan Natalie dan alasan di balik panggilan itu.

Setelah Gabriel berhenti bekerja dengannya, Marco telah merekrut tiga asisten baru dalam rentang waktu yang sangat singkat. Pada awalnya, hal itu terasa tidak wajar—seolah ada sesuatu yang kurang—tetapi tak satu pun dari mereka yang bisa menyaingi keahlian Gabriel. Setiap hari, ketidakhadiran Gabriel semakin terasa. Marco menyadari bahwa Natalie, yang kini memikul sebagian besar tanggung jawab asisten pribadi, sering kali merasa kewalahan. Ketika dia tidak tahu harus berbuat apa, panggilan telepon ke Gabriel selalu menjadi jalan keluar.

Dengan suara lembut yang hampir berbisik, Gabriel akhirnya berkata, "Gua gak bisa bicarain hal itu sekarang..." suaranya tenang.

"Saya... saya pulang dulu ya. Makan malam sama kamu beneran menyenangkan," ujar Marco, tersenyum lembut dari dekat pintu.

Gabriel menatapnya dan membalas dengan nada penuh terima kasih, "Terima kasih, Pak. Terima kasih udah bawain saya makan malam."

Sambil meraih pegangan pintu, Marco menoleh sekali lagi dan berkata, "Kita harus makan bareng lagi dalam waktu dekat," lalu tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Saat Marco meninggalkan apartemen, dia bisa merasakan bahwa percakapan telepon Gabriel mulai mengarah pada sesuatu yang lebih sensitif. Marco yakin, pasti Natalie bertanya tentang peristiwa yang terjadi semalam—sesuatu yang Natalie sangat ingin tahu jawabannya.

Sambil menuruni lift dan berjalan kembali ke gedungnya, Marco menghela napas panjang. Banyak hal yang tersimpan di pikirannya saat itu, tapi ia memilih untuk memendamnya, melanjutkan langkah menuju malam yang semakin sunyi.

"Iya, Nat, Tadi bos lu lagi di apart gua," kata Gabriel sambil terus berjalan bolak-balik, nadanya terdengar tegas namun tetap tenang.

"Gua gak bercanda. Dia beneran ada di apart gua," lanjutnya, suaranya semakin mantap seiring percakapan berlanjut.

Selama beberapa menit berikutnya, Gabriel dan Natalie berbicara panjang lebar tentang segala hal yang telah terjadi, mencoba merangkai detail demi detail. Setelah percakapan mereka berakhir, Gabriel bilang pada Natalie bahwa dia akan segera menjenguk Jack.

Setelah menutup telepon, Gabriel menghela napas panjang. Matanya tanpa sadar melayang ke arah apartemen di seberang jalan, di mana sebuah lukisan besar masih tergantung anggun di atas perapian. Lukisan itu diterangi dengan sempurna oleh dua lampu yang memancarkan cahaya hangat, membuatnya tampak seolah-olah menjadi pusat perhatian dalam ruangan yang tenang.

.

.

.

BERSAMBUNG...

about me - MEWGULFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang