BAB 9 - MULUT SAMPAH MARCO

131 46 17
                                    


"Maaf, bisa di ulangi?" kata Marco, tidak terlalu memahami apa yang dikatakan wanita di ujung telepon.

"Pak Noval ingin tahu apakah Mas Gabriel bisa mulai bekerja di hari Senin." Wanita di seberang telepon berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, "Atau saya kabari kembali nanti, ketika Mas Gabriel senggang untuk membicarakan hal tersebut?"

Saat Marco hendak membalas pembicaraan di telepon, dia melihat pintu lift terbuka memperlihatkan Gabriel. Kepalanya menunduk sebelum dia mendongak dan melihat Marco duduk di kursinya.

"Ya, lebih baik seperti itu," kata Marco sambil menutup telepon.

Gabriel berhenti di depan mejanya dan menatap Marco. Sang bos menyilangkan tangan, dan memutar kursinya untuk menghadap Gabriel. "Pak Noval tanya, kamu bisa mulai kerja di hari senin atau engga?," kata Marco dengan nada yang kurang enak di dengar.

Gabriel mengangkat satu alis dan ikut menyilangkan tangan. Marco lalu berdiri, membungkuk sedikit ke meja, dengan kedua tangan diletakkan di atasnya.

"Kenapa Pak Noval nanyain kamu begitu?" tanyanya dengan tatapan tajam.

"Maaf pak, itu urusan saya dengan Pak Noval," jawab Gabriel sambil menatap balik, menantang sang bos untuk berkomentar lebih jauh.

Marco tidak mengatakan apa-apa, hanya melemparkan tatapan tajam terakhir sebelum masuk ke ruangannya dengan kesal. Tidak lama setelah itu, telepon di meja Gabriel kembali berdering.

"Kantor Avery Crop, dengan saya Gabriel Lee, ada yang bisa saya bantu?" sapa Gabriel dengan nada lembut yang selalu ia pakai saat menjawab telepon.

"Gab, kita berhasil!" Gabriel langsung mengenali suara Huan, teman sekantornya yang baru saja di bantu Gabriel dalam menyelesaikan masalah.

"Apa?" tanya Gabriel bingung.

"Kita berhasil menutup kesepakatan Sanderson!" jawab Huan hampir berteriak. "Serius?" Gabriel membalas dengan penuh semangat. "Kalian hebat!"

Setelah menutup telepon, Gabriel tahu bahwa dia harus memberitahu bosnya tentang kabar gembira ini. Dengan berat hati, dia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu ruangan Marco. Dia ragu sebentar, namun akhirnya memutar gagang pintu dan membukanya.

Marco hanya melirik sebentar sebelum kembali menundukkan kepala. "Huan berhasil dapet kerja sama dengan Sanderson," kata Gabriel.

"Bagus," jawab Marco tanpa menatap sang aspro. Gabriel mengangguk dan berbalik untuk pergi. Dari sudut matanya, dia melihat jam digital di dinding yang menunjukkan pukul 17:50.

"Sekarang jelasin sama saya," kata Marco sambil melepas kacamata yang belum pernah dilihat Gabriel sebelumnya. "Ini karena uang, atau kamu emang tertarik sama laki-laki tua" ucap Marco gamblang.

Gabriel langsung berbalik, dan saat tatapan mereka bertemu, Marco langsung tahu dia baru saja melakukan kesalahan besar dengan mengatakan itu.

"Maksud bapak apa ya?" Gabriel hampir menggeram, matanya seakan menyala dengan amarah.

"Ayolah, apa lagi alasanmu bekerja di perusahaan pesaing," balas Marco, tahu bahwa dia tidak bisa mundur dari situasi ini.

"Asal pak marco tau ya, mendiang pak james yang memberi saya pekerjaan itu!" jawab Gabriel dengan suara yang meninggi.

"Dasar tua bangka! Udah mati pun masih ngatur hidup orang" teriak Marco membalas.

"Maaf ya pak, mendiang pak james lebih baik dari pada kinerja bapak" balas Gabriel dengan nada begitu mengancam, sampai membuat Marco terkejut. Dalam kemarahan, Gabriel meraih gelas air di meja Marco dan melemparkannya ke wajahnya.

"Jangan khawatir, Bapak gak akan pernah melihat saya lagi," kata Gabriel sambil berjalan pergi.

flashback off

"Gitu...," kata Natalie terkejut. "heem," Gabriel menghela napas di ujung telepon. "untung aja ini hari terakhir gua kerja."

"untung aja mas, tapi si bos nangis di ruangannya," kata Natalie, mereka melanjutkan pembicaraannya.

.

.

.

Sekitar tengah malam ketika Marco masuk ke apartemennya. Dia tidak benar-benar tahu jam berapa, dan sejujurnya, dia juga tidak peduli.

Dia menuju sofa dan menjatuhkan diri disana. Sambil duduk, dia menghela napas dan menatap tangannya.

Kenapa dia harus bilang begitu ke Gabriel?

Kenapa dia gak bisa menahan diri?

Dia sadar bahwa kesan pertamanya tentang Gabriel berbeda dari apa yang dia ketahui sekarang. Dia mulai mengerti kalau cerita-cerita tentang asisten yang luar biasa itu memang benar adanya. Dalam hati, Marco merasa sedikit sedih walaupun Gabriel hanya bekerja dengannya selama seminggu.

Dia melihat keluar jendela ke arah kota, pikirannya melayang sejenak. Lalu, dia melihat lampu di apartemen seberang menyala. Pria yang sering Marco panggil 'Si kurus' masuk dan menutup pintu.

pria itu menutupi wajah dengan tangannya dan bersandar ke pintu. Perlahan, dia duduk di balik pintu, dapat Marco lihat bahwa tubuh pria kurus itu bergetar.

.

.

.

BERSAMBUNG...

about me - MEWGULFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang