Gabriel mencuri pandang pada bayangannya di cermin saat ia mengenakan dasi dengan rapi. Sambil memasang jam tangan dari merek ternama, tiba-tiba bel pintu berbunyi, memecah konsentrasinya.
"Ya sebentar!" teriaknya dengan semangat, sambil melangkah keluar dari kamar tidurnya. Di depan pintu, terdapat seorang pemuda yang tampaknya masih berusia 17 tahun, mengenakan pakaian dan topi sopir yang rapi. Dengan senyuman, ia berkata, "Selamat malam, Pak. Saya di sini untuk mengantar Anda ke Four Seasons," sembari melepas topi dengan hormat.
"Malam mas," balas Gabriel dengan senyum lebar sambil meraih ponselnya yang terletak di atas meja. Bersama pemuda itu, ia turun ke lantai bawah, dan mereka keluar menuju mobil yang menunggu di depan lobi apartemen.
Begitu mereka melaju, hotel yang megah itu seperti cahaya di ujung jalan. Senyum Gabriel seketika memudar saat melihat sekelompok paparazzi berkumpul di luar.
"Antar saya ke belakang, ya mas?" katanya kepada sopir dengan nada tegas. "Tapi, Pak—" sopir itu mencoba menjelaskan. "Antar saja," Gabriel memotong dengan mantap. Sopir itu mengangguk patuh dan segera membawanya berputar ke sisi belakang hotel. Setelah tiba, dia segera keluar dari mobil, mengucapkan terima kasih, dan melangkah masuk melalui pintu belakang.
Saat melangkah melewati staf hotel yang sibuk, dia tak lupa untuk memberikan senyuman dan sapaan kepada mereka. Akhirnya, Gabriel memasuki ballroom yang luas dan megah, di mana dia langsung disambut oleh suara gaduh dan pemandangan ratusan pria dan wanita kaya dari seluruh penjuru negara, semuanya berpakaian glamor, membuat suasana semakin berkilau dan hidup.
Gabriel menangkap sosok Marco Avery dari sudut matanya. Ia berdiri tegak, tampak gagah dalam setelan yang dirancang khusus, membuatnya terlihat begitu mempesona. Gabriel tahu bahwa Marco tidak melihatnya karena pria itu mulai melangkah menjauh darinya. Tepat di belakang Marco, tampak seorang wanita muda berambut pirang mengenakan gaun merah muda—pasangan Marco untuk malam ini.
Wanita itu adalah Laura Adriani, seorang aktris muda yang sedang berusaha meniti karier di gemerlapnya kota Jakarta. Cantik dan menarik perhatian, Laura sudah muncul di beberapa acara televisi. Gabriel tahu bahwa Laura pasti akan langsung menyetujui kesempatan untuk tampil bersama Marco di gala malam ini. Jadi, Gabriel menghubungi Laura dan mengatur agar aktris muda itu menjadi pendamping Marco.
"Tidak mengecewakan, selalu tampil menawan!" Suara Pak Moreno menyapa dari belakang. Gabriel berbalik dan mendapati pria itu berdiri di dekatnya, tersenyum penuh kebanggaan. "Terima kasih pak," jawab Gabriel, senyum kecil muncul di wajahnya.
Mereka berdua berjalan berkeliling ballroom, bertukar sapa dengan para tamu lainnya, bercanda, dan tertawa bersama. Suasana malam itu penuh kemewahan dan keramahan, semua orang tampak menikmati malam yang diadakan untuk tujuan mulia. Tak lama kemudian, mereka dipersilakan duduk di meja yang telah disiapkan, menunggu dimulainya acara lelang.
Acara gala ini adalah gagasan dari mendiang James Avery. Ia memiliki visi untuk membuat acara ini sempurna, dengan tujuan menggalang dana bagi panti asuhan yang dulunya menjadi tempat asal istrinya. Lelang menjadi salah satu inti dari acara ini, dimana berbagai karya seni dan furnitur antik miliknya akan dijual. Sangat jelas bahwa Mendiang James memahami waktu hidupnya yang sudah tak lama lagi, dan ia ingin memastikan bahwa koleksi berharganya digunakan untuk tujuan yang baik.
Gabriel merasa hatinya berat ketika menyaksikan lukisan dan patung-patung yang begitu dikenalnya satu per satu dilelang kepada penawar tertinggi. Barang-barang itu adalah bagian dari kenangan masa lalu yang penuh arti, dan kini mereka beralih tangan. Menjelang tengah malam, setelah acara mulai mereda, Gabriel memutuskan untuk pulang. Dia telah menunaikan tugasnya sebagai pasangan Pak Moreno malam itu. Bukan menjurus ke hal romantis, Gabriel hanya menggantikan anaknya Pak Moreno yang berhalangan hadir. Yup itulah syarat satu-satunya agar Pak Moreno mau datang ke acara tersebut.
Gabriel berpamitan dengan beberapa tamu, meninggalkan meja tempatnya. Saat dia hendak meninggalkan ballroom, si pembawa acara menyebut sesuatu yang langsung menarik perhatian Gabriel.
"Sebuah lukisan dari koleksi pribadi, potret asisten sempurnanya, Gabriel Lee." Dia berhenti, berbalik, dan melihat lukisan dirinya terpampang di atas panggung.
Dengan raut bingung, Gabriel berdiri terpaku, menyaksikan penawaran terus melonjak. Lukisan itu menampilkan dirinya duduk di balik meja kerjanya menggunakan kemeja putih dan celana hitam. Senyum kecil terulas di wajahnya saat mengenang hari itu.
Pada waktu itu, Gabriel baru setahun bekerja sebagai asisten mendiang James. Dia masih menggunakan pakaian seperti anak magang pada umumnya, sedang menyiapkan materi pertemuan dengan seseorang. Meski sekarang Gabriel tidak begitu ingat detailnya, dia tahu saat itu pertemuan tersebut sangat krusial.
Di tengah kesibukannya, Mendiang James menatap asistennya sambil tertawa. Mengomentari betapa Gabriel terlihat gugup dan canggung.
Pada momen itulah, James memotret Gabriel, foto yang ikut terpajang di meja kerja James Avery, diantara foto-foto keluarga dan teman-teman si bos besar.
Gabriel pernah bertanya apakah bosnya ini menganggapnya sebagai teman, dan mendiang James menjawab, "Kamu bukan teman nak. Kamu adalah keluarga."
Namun, lamunan Gabriel terhenti, ketika suara pembawa acara memulai proses lelang. Pada awalnya, suasana tampak tenang, dengan penawaran yang berjalan perlahan. Namun, tiba-tiba penawaran mulai naik tajam. Angka dengan cepat melonjak hingga mencapai 90 juta rupiah, membuat para tamu mulai memperhatikan. Lalu, dari sisi lain ruangan, sebuah suara terdengar, "200 juta rupiah."
Gabriel spontan menoleh ke arah suara itu dan melihat Marco berdiri di sana. Namun, tatapannya tidak tertuju pada panggung di mana lukisan itu dipajang. Sebaliknya, Marco menatap langsung ke arah Gabriel. Perasaan campur aduk melanda Gabriel, namun sebelum dia sempat memikirkan lebih jauh, tiba-tiba Pak Moreno ikut berseru lantang, "400 juta rupiah."
Kerumunan yang tadinya tenang sontak bergemuruh kaget. Marco tak mau kalah. Dalam sekejap, dia menaikkan tawarannya menjadi 500 juta rupiah. Penawaran berlangsung semakin panas, dan sebelum Gabriel menyadari apa yang terjadi, lukisan dirinya sudah terjual dengan harga fantastis 550 juta rupiah.
Rasa tak percaya menyelimuti Gabriel. Dia melihat Marco, lalu memandang wajah-wajah di sekelilingnya yang semuanya kini menatap padanya. Sorot mata mereka penuh tanda tanya, membuat Gabriel merasa semakin tidak nyaman.
Memang gila jalan pikiran orang yang uangnya sudah tidak berseri. Bagaimana bisa, lukisan laki-laki canggung dengan wajah yang tidak terlihat jelas dihargai sebegitu mahalnya.
Tanpa berpikir panjang, Gabriel berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan semua yang terjadi di dalam ballroom.
.
.
.
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
about me - MEWGULF
ChickLit"James Avery, CEO Avery Crop, meninggal tadi malam setelah berjuang melawan kanker dalam waktu yang lama. James Avery, berusia 63 tahun, adalah salah satu-" Gabriel mematikan TV, tak sanggup mendengar berita tentang kematian atasannya... Dia sendiri...