6. Mari Duduk Bersama

22 1 0
                                    

TRIGGER WARNING:
This chapter includes depictions of a suicide attempt and self-harm (cutting). Please read with care, and prioritize your well-being.

···

Ushijima tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah. Awalnya, dia tidak berencana untuk memiliki ikatan seperti itu. Dia sudah sibuk dengan pekerjaannya. Lagipula dia juga tak yakin bisa membagi antara waktunya untuk mengurus hubungan percintaan dan pekerjaan. Dia sejauh ini hanya fokus pada mimpinya untuk menjadi dokter bedah saraf yang kompeten, jadi wajar saja dia tak pernah berpikir untuk mencari pacar atau istri hingga usianya yang sudah menginjak 36 tahun ini.

Tapi hari itu, ketika dia tengah berkunjung ke rumah ibunya dan membahas perkara dia yang masih melajang sebagai topik makan siang mereka, ibunya ternyata punya asumsi sendiri.

"Maafin ibu ya, nak," Kata ibunya dengan nada bersalah, "Maaf ibu nggak bisa mertahanin pernikahan ibu sama ayah."

"Maaf kalo ini jadi luka tersendiri buat kamu. Maafin ibu sama ayah ya, nak," Lalu ibunya memandanginya dengan nanar. Ushijima hampir kehilangan kata-katanya ketika mendengar itu.

"Enggak, Bu. Enggak kayak gitu," Ushijima dengan cepat bangkit dari duduknya lalu menghampiri ibunya di bangku yang berhadapan dengannya tadi. Dia berlutut, dan menggenggam kedua tangan ibunya yang ada di pangkuan perempuan yang sudah terlihat beberapa helai uban di rambutnya itu, "Aku cuman belum nemu perempuan yang cocok aja. Kalo emang udah ketemu jodohnya, pasti aku nikah, bu. Jangan mikir yang aneh-aneh," Jelasnya dengan nada tenang dan meyakinkan.

Memang benar, ada beberapa anak yang trauma akan pernikahan karena perceraian orang tuanya, ada rentetan sebab di balik trauma itu. Karena KDRT, pertengkaran orang tua, dan alasan lainnya. Tetapi Ushijima tidak melihat itu, kedua orang tuanya bercerai dengan baik-baik. Mereka yang sudah merasa tidak cocok, dan mereka pun menjelaskannya dengan baik mengenai ini pada Ushijima yang masih berusia belia saat itu. Ushijima tinggal bersama ibunya sampai dia pindah ke Tokyo untuk mengenyam pendidikan dokternya. Sedangkan ayahnya pindah ke luar negeri untuk kepentingan pekerjaan, sesekali ayahnya juga berkabar dan datang ke Jepang untuk mengunjunginya. Jadi, walaupun memang sudah berpisah, mereka tidak lantas meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai orang tua Ushijima.

Entah ibunya mendapat informasi dari mana soal trauma itu, yang pasti itu tidak benar, paling tidak untuk dirinya. Dan hatinya agak tak nyaman, ibunya yang berhati lembut itu punya pikiran semacam itu. Meskipun Ushijima sudah mengatakan bahwa dia sama sekali tidak punya kondisi mental seperti yang dipikirkan ibunya, tapi dia tahu ibunya yang sensitif itu pasti diam-diam masih menyimpan hal ini dalam benaknya. Mau tidak mau, Ushijima pun ikut memikirkannya. Dia harus mencoba mempertimbangkan untuk pergi kencan buta atau semacamnya.

Di tengah hatinya yang gundah karena kekhawatiran tak berdasar dari ibunya, Ushijima tetap harus fokus dalam pekerjaannya. Dia sedikit mengantuk karena harus pagi-pagi sekali tadi berangkat dari Miyagi ke Tokyo agar tepat waktu dengan jadwal praktiknya hari ini yang dimulai jam 9. Akhirnya, dia membelokkan mobilnya pada satu kafe yang dilewatinya dalam perjalanannya sebelum masuk ke rumah sakit.

Kafe bernuansa vintage yang memiliki atmosfer hangat, itulah yang dipikirkannya begitu masuk kafe itu. Suara lonceng terdengar ketika dia masuk, disambut dengan lagu jazz, dan kursi meja yang terbuat dari kayu dengan ukiran yang cantik, yang kurang Ushijima tahu motif apa itu. Dindingnya banyak tertempel poster-poster dari penyanyi di era 60-an, dia juga melihat ada radio antik di salah satu sudut kafe itu. Setelah beberapa saat mengagumi interior kafe, dia pun melangkah menuju counter, untungnya antreannya tidak panjang. Ada 2 orang di depannya.

"Selamat pagi, Pak Dokter. Mau pesan apa?" Sapaan penuh keramahan itu datang dari seorang pegawai di balik counter di hadapannya.

"Selamat pagi," Ushijima mengerutkan alisnya, dia meneliti pegawai yang di depannya itu, perempuan bersurai pendek hitam legam dikucir tinggi, dengan wajah bulat dan kulit yang putih itu, sama sekali bukan sosok yang familier untuknya. Ini juga kunjungan pertamanya di kafe ini, hal yang aneh jika perempuan itu bisa langsung tahu profesinya. Dia menengok pakaiannya, hanya kemeja dan celana bahan biasa. Sama sekali tidak ada atribut yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang dokter.

Ruang: Berkumpul & BergumulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang