8. Atau Seolah Baik-baik Saja?

20 1 0
                                    

Setahun kemudian, Ushijima sudah kembali pada kebiasaan "buruk"-nya. Mungkin malah dikatakan lebih parah. Laki-laki itu sibuk menyelamatkan pasien, dan dia hanya di rumah sakit saja. Rekan-rekannya mulai prihatin, tapi bagaimanapun laki-laki itu dibujuk untuk rehat dan pulang ke rumah selama beberapa hari, dia bersikeras untuk tetap tinggal.

Jawabannya selalu sama, "Buat apa pulang? Toh, nggak ada yang nungguin."

Orang-orang yang tak tahu, mungkin menganggap ini bentuk pengabdiannya sebagai seorang dokter. Tapi bagi orang terdekatnya, mereka tahu bahwa ini adalah cara laki-laki itu menghukum dirinya sendiri. Dulu mereka memang kagum dengan etos kerjanya yang luar biasa demi pasien. Tapi, sekarang, Ushijima tampak sangat menyedihkan.

Malam ini pun dia hanya duduk di ruangannya. Sambil memandang ke luar jendela yang menampilkan pemandangan malam Kota Tokyo yang terlihat cerah hari ini. Persis seperti hari itu. Pikirannya pun tanpa bisa dicegah melemparnya kembali ke waktu itu.

Hari itu, hari di mana dia mendapati istrinya ingin merenggut nyawanya sendiri. Ushijima sudah tidak bisa membohongi dirinya lagi. Dia tidak bisa berpura-pura bahwa istrinya baik-baik saja. Ilusi bahwa semuanya akan kembali seperti semula adalah bayangan di kepalanya saja.

Hingga langit yang terang cerah kini berubah menjadi gelap, kondisi Seira tidak kunjung membaik. Dia terus saja menangis. Sambil memohon untuk membawa anaknya yang sudah mati kembali, atau membiarkan dia saja yang mati, lalu dia kelelahan sendiri karena tangisannya dan tertidur. Tetapi begitu dia bangun, dia akan kembali menangis dengan tersedu. Bertanya kenapa dia masih saja di sini, bertanya kenapa anaknya belum kembali.

Seira sungguh terlihat menderita. Melihat istrinya jatuh ke dalam kesedihan yang mendalam seperti ini, Ushijima merasa sesuatu tengah meremas hatinya. Dia terus berupaya menenangkan istrinya, tetapi perempuan itu terlihat begitu kesakitan, membuatnya hampir habis kehilangan akal.

"Aku harus gimana, Seira?" Ushijima menggenggam tangan Seira erat, "Aku harus gimana supaya kamu nggak menderita lagi kayak gini?" Tanyanya terdengar hampir putus asa.

"Ceraiin aku," Pintanya. Seira tidak berkedip, "Aku-aku nggak bisa ngelihat kamu tanpa nginget gimana kamu ngabaiin aku di hari aku kehilangan anakku."

"Aku nggak bisa tinggal lagi sama kamu di rumah itu. Di rumah itu, aku terus-terusan inget anakku yang udah nggak ada."

Ushijima terdiam seribu bahasa setelah mendengar permohonan itu. Inilah. Inilah ketakutan terbesarnya. Inilah yang membuatnya menciptakan ilusi bahwa istrinya baik-baik saja. Inilah yang membuatnya berpura-pura bahwa semua yang terjadi bukan masalah besar. Inilah yang membuatnya untuk mengindahkan permintaan istrinya untuk kembali bekerja padahal dia sendiri tahu istrinya hanya berpura-pura sehat di depan mukanya.

Dia tahu, kesalahannya hari itu, amatlah fatal. Hari di mana Seira keguguran, itu adalah hari di mana pernikahan mereka sudah diambang kehancuran.

Ushijima tahu, tentang mimpi istrinya yang ingin menciptakan keluarga kecilnya sendiri. Dia ingin menjadi istri yang baik, dia juga ingin menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Maka dari itu, Ushijima pun berupaya untuk mewujudkannya. Dengan jadwal pekerjaannya yang padat, dia berusaha sebisa mungkin untuk menyempatkan pulang dan ikut serta dalam usaha Seira menciptakan keluarga yang diimpikannya.

Memang tidak mudah, karena mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sampai di tahun ketiga pernikahan mereka, akhirnya Seira memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan fokus mengurus rumah tangganya. Di tahun yang sama, tanpa sempat mereka sadari, sang buah hati yang sudah dinanti-nantikan untuk menyempurnakan impiannya datang. Tapi sayangnya, dia hanya bersemayam sebentar saja di rahim Seira.

Hari itu, meskipun tanpa sengaja dia mengabaikan panggilan dari Seira, Ushijima sudah gagal. Gagal untuk menjadi suami yang baik bagi Seira, juga gagal untuk menjadi ayah yang baik untuk bakal anaknya.

Dia menyadari hal ini dengan benar kala itu.

Jadi, Ushijima tidak lagi terkejut dengan permintaan ini. Tapi bagaimanapun juga, mendengarnya secara langsung membuatnya merasa seperti dihantam oleh batu besar. Dadanya sesak dan hatinya pun hancur berkeping-keping.

"Okay," Dengan air mata yang entah sejak kapan keluar dari pelupuk matanya, Ushijima menyanggupi permintaan Seira, "Tapi kamu harus janji, kamu bakalan berhenti nyakitin diri sendiri, dan janji pergi berobat, ya? Kamu harus bener-bener sembuh, ya?" Katanya sebagai syarat.

Dengan gerakan yang ragu, Seira mengangguk. Ushijima tersenyum getir, lalu dia membawa perempuan itu masuk ke pelukannya. Dia memeluknya seerat, sekuat, dan sehangat yang bisa dia lakukan. Karena dia tahu, ini mungkin kesempatan terakhirnya bisa meraih tubuh istrinya dalam jarak sedekat ini.

Perceraian mereka pun akhirnya terjadi. Setelahnya, Seira bak hilang ditelan bumi. Ushijima tak melihatnya di mana pun, tak pernah mendengar kabar apapun tentangnya. Dia terkadang melihat Yui ketika dia pulang untuk membersihkan rumahnya, karena tempat kerja sahabat mantan istrinya itu memang dekat dengan kediamannya. Tetapi dia sadar diri, dia tak berani menyapa perempuan itu, apalagi menanyakan keadaan Seira.

Biarlah. Biarlah Seira dengan kehidupan barunya. Semoga dia bahagia dengan apapun yang dilakukannya. Semoga segala kebaikan selalu melimpahi kehidupannya. Walaupun di sini, Ushijima rindu setengah mati pada perempuan itu. Walaupun dirinya sendiri lambat laun hancur karena perasaan itu, tidak masalah. Ini hukumannya. Ini penebusan dosanya. Pada Seira. Juga pada anak mereka yang sudah di surga sana.

···

Selesai.

···

11.59 WIB,
Jumat,
29 November 2024,
Ruang: Berkumpul dan Bergumul telah selesai dipublikasikan.

Terima kasih banyak sudah membaca cerita ini!

Ruang: Berkumpul & BergumulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang