Prolog

9 4 0
                                    

Malam itu, suasana di kota Hikaru begitu meriah. Festival musim gugur yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setiap sudut jalan dipenuhi dengan lampion berwarna-warni yang berkilau, menambah pesona malam yang sudah indah. Aroma makanan khas menggoda dari berbagai stand, sementara tawa anak-anak dan suara musik menggema di udara, menciptakan suasana yang hangat dan ceria. Semua orang tampak bahagia, terjebak dalam euforia festival yang tak terlupakan.

Hana, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, berjalan pelan menyusuri keramaian. Dia mengenakan kimono berwarna pastel yang cantik, dikelilingi oleh ramai pengunjung yang menikmati festival. Namun, meski suasana di sekitarnya meriah, hati Hana terasa kosong. Ia sering merasa terasing di tengah keramaian. Sejak kehilangan orang tuanya beberapa tahun lalu, dia berusaha untuk tetap tegar, tapi terkadang kesepian itu menyengat.

Hana memutuskan untuk datang ke festival itu sendirian, berharap bisa menikmati momen tanpa terlalu banyak interaksi. Dia ingin merasakan kehangatan festival dan membiarkan dirinya terhanyut dalam suasana. Dia berhenti sejenak di depan sebuah stand yang menjual pernak-pernik. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk lampion kecil menarik perhatiannya. Kerlipnya mengingatkannya pada harapan-harapan yang ingin dia capai.

"Ini cantik sekali," pikirnya.

Ketika dia berusaha mendekat untuk melihat lebih jelas, langkahnya tiba-tiba terhenti saat merasakan sebuah dorongan dari belakang. Tanpa disangka, seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut gelap menabraknya, membuat kalung itu terjatuh dari tangannya.

"Oh, maaf! Saya tidak sengaja!" kata pria itu, wajahnya tampak panik.

Hana mendongak, dan saat matanya bertemu dengan mata pria itu, dia merasakan sesuatu yang tak biasa. Wajahnya terlihat penuh penyesalan, dan senyum kecil muncul di bibirnya.

"Saya benar-benar minta maaf. Apakah kalungnya rusak?" tanyanya lagi, tampak cemas.

"Tidak apa-apa," jawab Hana, berusaha tersenyum meski hatinya masih bergetar. "Hanya kalung kecil."

Pria itu bernama Riku, seorang fotografer yang sedang mencari momen-momen indah untuk diabadikan. Dia menawarkan untuk mengganti kalung itu sebagai permintaan maaf. Awalnya, Hana ragu, tetapi melihat senyumnya yang tulus membuatnya merasa lebih nyaman. Riku mengajak Hana untuk berjalan-jalan di festival sebagai cara untuk memperbaiki suasana hati.

Hana mulai merasa larut dalam obrolan ringan yang mengalir antara mereka. Riku memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan; dia bisa membuatnya tertawa dan merasa lebih hidup. Mereka mencoba berbagai makanan, bermain di berbagai permainan, dan Hana merasakan tawa yang sudah lama tidak dia rasakan. Momen-momen sederhana itu menjadi berharga, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Hana merasakan kebahagiaan.

Ketika malam semakin larut, orang-orang berkumpul di tengah lapangan untuk menerbangkan lampion. Riku mengajak Hana menulis harapan mereka di lampion masing-masing. Hana menulis harapan untuk menemukan kebahagiaan sejati, sementara Riku menulis harapan agar seseorang yang baru ditemuinya bisa menjadi lebih dari sekadar teman. Saat lampion-lampion itu diterbangkan ke langit, Hana melihat lampionnya terbang berdampingan dengan milik Riku.

Malam itu terasa magis, seolah-olah mereka berdua ditakdirkan untuk bertemu. Namun, saat lampion-lampion itu melayang tinggi, Hana merasakan sebuah ketakutan menggelayuti hatinya. Dia sudah terlalu sering mengalami kehilangan, dan kini rasa takut itu mengganggu kebahagiaannya. Ketika mereka berpisah, dia tahu bahwa dia harus lebih menjaga jarak.

Minggu-minggu berlalu, dan meskipun Hana berusaha menghindar, Riku terus menghubunginya. Dia tidak menyerah untuk mendekati Hana, mengajak berjalan-jalan, dan berbagi cerita. Meskipun Hana berusaha menjaga jarak, Riku tetap bersikeras, dan seiring berjalannya waktu, dia mulai membuka hatinya sedikit demi sedikit. Riku membuatnya merasa nyaman, dan dengan setiap pertemuan, perasaannya terhadap Riku semakin dalam.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Hana masih menyimpan rasa takut. Riku mencuri perhatian dan kebaikannya menembus tembok yang telah ia bangun. Dia merasa bersalah, seolah-olah dia sedang menyakiti diri sendiri dengan membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupnya.

Suatu hari, saat mereka duduk di tepi sungai, Riku memandang Hana dengan serius. "Kenapa kamu selalu menjaga jarak, Hana? Aku bisa merasakannya."

Hana terdiam, hatinya bergetar mendengar pertanyaan itu. Dia tahu dia harus jujur, tetapi mengungkapkan rasa sakitnya terasa terlalu sulit. Setelah beberapa saat, Hana akhirnya membuka suara, "Aku... aku takut, Riku. Aku takut untuk merasakan cinta lagi setelah kehilangan."

Riku terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Hana. "Kehilangan memang menyakitkan, tapi bukan berarti kita harus menutup diri dari kebahagiaan. Cinta bisa datang kembali dalam bentuk yang berbeda, dan aku ingin menjadi bagian dari kebahagiaanmu."

Hana merasakan kehangatan dari genggaman tangan Riku. Kata-katanya menyentuh hatinya, tapi rasa takut itu tetap menghalangi langkahnya. Dia tidak ingin kembali terluka.

Hari-hari berlalu, dan Hana masih berjuang dengan perasaannya. Dia mencintai Riku, tetapi ketakutan itu terus mengganggu pikirannya. Apakah dia berani membuka hati lagi? Apakah dia berhak untuk bahagia setelah semua yang terjadi?

Satu malam, Riku mengajaknya ke tempat festival diadakan. Meski festival telah usai, Riku menyiapkan kejutan kecil untuk Hana. Dia menghidupkan lampion-lampion kecil yang membentuk pola hati di tengah lapangan yang sepi. Hana terkejut dan terharu melihat pemandangan itu.

"Hana," kata Riku dengan suara lembut. "Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa menciptakan kenangan baru yang lebih indah. Aku ingin menjadi bagian dari kebahagiaanmu."

Saat lampion terbang ke langit, Hana merasakan harapan baru muncul dalam hatinya. Dia tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir, dan dia ingin mencoba mengizinkan cinta tumbuh meski dengan segala risiko yang ada.

Cinta mereka mungkin tidak sempurna, tetapi Lampion Cinta akan selalu menjadi pengingat bahwa di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang bersinar. Dan dengan setiap lampion yang terbang, harapan dan cinta akan selalu hidup.

Di sinilah kisah ini dimulai, saat dua jiwa yang penuh harapan saling menemukan satu sama lain, menantang segala ketakutan untuk menciptakan cinta yang tak terduga. Momen-momen kecil yang penuh makna akan membentuk perjalanan mereka, mengingatkan kita semua akan kekuatan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Selamat datang di Lampion Cinta.

Lampion Cinta [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang