Fünf

223 25 1
                                    

Mingyu terus-menerus mengawasi Seungcheol sepanjang malam, membangunkan pemuda manis itu setiap kurang lebih satu jam, memeriksa bola matanya. Meskipun jengkel karena tidurnya terganggu, Seungcheol merasa senang. Mingyu baru saja memeriksanya satu jam yang lalu. Dia telah meyakinkan pria itu bahwa dirinya baik-baik saja dan akhirnya berhasil memaksa Mingyu untuk tidur.

Saat ini Seungcheol tengah mengamati Mingyu yang terbaring di tempat tidur dengan kasur berukuran sempit. Hanya dengan menatap pria itu membuat jantungnya berdebar aneh. Mingyu lah yang telah memberikannya ciuman pertama, telah menjadi orang pertama yang membuatnya benar-benar jatuh cinta. Seandainya jika bukan karena kehormatan dan kesopanan Mingyu, dia mungkin telah kehilangan kepolosannya bertahun-tahun lalu.

Seungcheol merona, dia mengingat bagaimana mereka berdua nyaris lepas kendali, meski saat itu dia merasa menyesal, namun untuk saat ini dia justru bersyukur karena mereka masih memiliki akal sehat untuk tidak melakukannya. Dan perkataan Mingyu masih terngiang hingga saat ini, 'Aku mencintaimu. Dan aku ingin memilikimu saat kita telah sah dan terikat di hadapan Tuhan.' meski kenyatannya Tuhan mungkin tidak menakdirkan mereka untuk bersama.

Bersama Mingyu, Seungcheol tidak pernah takut pada apa pun, bahkan pada ayahnya. Saat ayahnya melarangnya bertemu Mingyu, untuk pertama kali dalam hidupnya dia berani menentangnya. Orangtuanya cukup bijaksana untuk menyadari bahwa menghukumnya hanya akan membuatnya menentang lebih keras lagi, jadi mereka setuju membiarkannya berkencan dengan Mingyu, selama pria itu menjemputnya di depan pintu dan mengantarnya pulang pada waktu yang pantas.

Lambat laun, ibunya entah bagaimana mulai menyukai Mingyu, dan meskipun Seungcheol ragu ibunya akan sepenuhnya setuju jika putranya berkencan dengan pria sederhana seperti Mingyu, namun ibunya -Sooyoung- telah melakukan yang terbaik untuk membuat Mingyu merasa diterima. Ibunya lah yang berusaha menghibur dirinya saat dia putus dengan Mingyu, meyakinkannya jika dia akan menemukan pria yang tepat dan jauh lebih baik dari Mingyu bila saatnya tiba nanti.

Seungcheol pernah beranggapan jika Minhyun adalah pria yang 'tepat' itu, sampai dia berdiri di samping pria itu di altar dan menyadari segala kebodohannya. Seraya mendesah Seungcheol mengumpulkan pakaiannya dari depan perapian. Dengan punggung menghadap tempat tidur, dia melepas kaus milik Mingyu dan mengenakan celana jins dan kausnya sendiri.

Dengan mengendap-ngendap, Seungcheol melintasi ruangan, lalu menuangkan secangkir teh madu dari termos. Berkat perawatan Mingyu, bengkak di pergelangan kakinya telah hilang dan nyaris tidak terasa sakit lagi. Dia merogoh kantung pelana, mencari sesuatu untuk dimakan. Dia mengeluarkan roti bulat manis, lalu duduk di kursi dan memakannya, namun tatapannya tertuju ke wajah Mingyu. Lama Seungcheol duduk di situ sambil menatap Mingyu, mengalihkan tatapannya sejenak ke arah jendela, di luar masih hujan meski tidak sederas tadi, lalu kembali menatap wajah tertidur Mingyu.

Dia bertanya-tanya apakah ada seseorang yang mencari mereka. Mungkin tidak, putusnya. Siapa pun yang mengenal Mingyu pasti tahu jika pria itu mampu untuk menjaga dirinya sendiri.

__________

Hari sudah pagi ketika Mingyu terbangun dan mendapati Seungcheol tengah duduk menatapnya. Dia mengangkat sebelah alis dengan ekspresi geli.

Seungcheol mengendikkan bahu acuh. "Tidak ada lagi yang bisa dilihat di sini."

Seraya duduk, Mingyu melirik termos yang berada di atas meja. "Masih ada teh?"

"Aku rasa masih, tapi tidak banyak."

Ketika Seungcheol mulai berdiri, Mingyu memberi isyarat agar pemuda manis itu tetap ditempatnya. "Biar aku sendiri yang mengambilnya. Aku tidak ingin kau terlalu banyak bergerak dengan keadaan kaki yang seperti itu."

Dude Ranch Bride (GyuCheol) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang