Bab 4

4 0 0
                                    

2 YEARS AGO

Jam ditangan kiri dikerling sekilas sebelum jemarinya kembali menari di atas reception desk perlahan.

"Here is your key card and enjoy your stay."

Key card yang disua dicapai jemarinya. "Thanks." Tanpa lengah, kaki diatur laju menuju ke arah letak lift.




Pintu lift yang terbuka dibolosi tubuhnya laju. Angka 11 ditekan dan tubuh disandar ke dinding lift. iPhone ditangan yang menyala hanya dipaku pandang sebelum kembali gelap. Bunyi denting menerobos gegendang telinga, kepala spontan diangkat dari skrin gelap iphone ditangan memandang tepat ke pintu lift yang terbuka .

Key card ditekup ke panel pintu dan bunyi lock terbuka. Tangan spontan menolak pintu bilik yang agak sedikit berat itu.

Tali handbag dibahu ditarik dan diletak ke katil. Langsir putih yang menutupi sliding door diselak dan pintu lungsur itu dibuka luas. Rahang bawah ditongkat tangan kiri di balkoni kaca dan disitu dia terpaku diam, bagaikan hilang didunianya sendiri.




Hampir dua jam merenung paku langit ciptaan Tuhan yang menenangkan segala gelora rasa yang bergolak didada, lenguh dikaki mula terasa memaksa dia melangkah masuk.

Lilitan shawl dikepala dilepaskan dan tubuh dibaring ke tilam yang bercadar rapi. Kelopak mata cuba dipejam dan buat kesekian kalinya air mata jatuh menodai pipinya.

Telah dia tegah, telah dia sedaya usir rasa sedih itu namun air jernih itu tetap jatuh walau hampir dua tahun telah berlalu namun terasa masih bagaikan semalam mimpi ngeri yang membuatkan dia lumpuh bertemankan air mata hingga ke saat ini.




Oversized coat ditubuh dibetul letak buat terakhir kalinya. Jam dipergelangan tangan kiri yang terselindung diselak, 'setengah jam lagi.'

"Welcome, could I help to seats you at your table?"

"Sure." Kertas kecil disua.

"Please."

Kaki diatur perlahan membontoti langkah serve man ke mejanya.




"Do you want me to stay or?"

Aisha yang sedang memandangnya dipaku pandang. "No, you can go back." Jeda. "And I will not be in office until next two days."

"Okay miss El. Do you want me to help you check out or?"

"Yes, please and thanks Aisha."

"Sure."




Pintu kereta sebelah kanan ditarik buka, getaran iPhone dikerling sekilas sebelum dicapai dan dilekap ke telinga. "Yes?"

"Where are you?"

"Was about to start my car. Why?"

"Are you coming home or?"

"I'll stay at your condo. Can I?"

"Sure. I'll ask Lisa to help you."

"You sure tak susahkan dia?"

"Yup."

"Thanks Fadza."

"Sure, baby girl."

Skrin iPhone yang kembali gelap dipaku pandang. Lima minit berlalu, keluhan terlepas dari bibirnya. Kelopak mata dipejam rapat, berharap rasa ini berlalu pergi walau sukarnya seakan menyenakkan dada acapkalinya. Dia juga lelah menanti hari untuk bibirnya tersenyum tanpa rasa yang memalu hatinya sedih. Namun, tiada siapalah yang tahu bila waktu itu kan tiba untuknya lalu pilihan apa yang dia ada? Melainkan bangun dan terus berharap. Bukankah Allah itu Ar Rahman, mana mungkin dia dibiar sepi tak dipeduli.




Elena yang sedang berjalan menuju ke dapur bersama bag groceries dihantar pandang. Punggung dilabuh ke sofa curve putih yang terletak diruang tamu. "How's Kuantan?"

Pintu fridge ditolak tutup. Mug yang tergantung ditable top dicapai dan botol orange juice dibuka lalu dituang ke dalam mug. "Great and peaceful I guess?" Senyum. Mug putih ditangan kanannya dihulur kepada Lisa yang sedang tergelak kecil.

"It's exactly great compared to here right? I miss you."

Angguk. "Miss you too sis! Sorry menyusahkan you and Fadza." Suaranya rendah.

Geleng. "Never." Mug diletak ke atas coffee table. "You know you're always have our back. You're not bad just because you choose yourself over others." Tangan kanan Elena digenggam erat. "I tahu you struggle a lot within yourself. Yeah, it's not an easy decision but you have the right to make that choice."

Bibir bagai terpaku, hanya air mata yang membasahi pipinya.

"Stop blaming yourself, sayang." Tubuh Elena ditarik ke dalam pelukan. "Tak semua orang mampu untuk tetap tegak dan hadap your journey. Thank you for being strong, thank you for not give up, thank you for being you."

Walau hujan dipipinya lebat, namun tiada esakan yang kedengaran memecah hening ruang kondo itu kerana pelukan erat itu cukup untuknya tumbuh dan terus kuat.


Kau

takkan pernah tahu

air mata adalah teman

yang bisa menenangkan rapuhnya jiwa

saat dilewati ributnya ujian kehidupan

dialah yang akan membangunkan mu dalam harap

membawa mu pulang bersimpuh dihadapan Tuhan mu

lalu kau tenang, bertemu damai

pada jalanan takdir yang ditulis Tuhan.

Hening RinduWhere stories live. Discover now