5. Coba Mengabaikan

24 18 0
                                    

Hari Sabtu hampir berlalu ketika Aka menghubungi dan mengajakku keluar makan malam. Kami makan malam di salah satu kafe di Solo sambil berbincang ringan. Aku menceritakan hari-hariku berlalu selama Aka tidak menghubungi. Saat itulah aku mengungkapkan betapa khawatirnya aku.

"Kakak lagi ada kesibukan, Dek." Kak Aka tidak banyak menjelaskan, tidak juga memberitahu pekerjaan apa yang sebenarnya ia kerjakan hingga sama sekali tidak sempat membalas pesan. Namun, tanpa penjelasan lagi, Aka mengajak pulang. Pria itu seolah kabur dari pertanyaan yang masih terkumpul dalam benakku. "Udah malam, Dek. Kita pulang sekarang aja, ya? Besok Kakak jemput pagi, ya, kita ke CFD."

**

Sekitar pukul 5.30 pagi, ketika matahari masih malu-malu menampakkan diri, Aka justru sudah menungguku di depan penginapan. Ia menepati janji akan membawaku ke CFD--Car Free Day--hari ini. Dengan setelah kaos lengan panjang dan celana training, aku siap untuk olahraga bersama Aka hari ini. Benar, tujuan utamanya berangkat pagi adalah berolahraga, sedangkan tujuan utamaku tentu berburu kuliner.

Kejadian seminggu ini dan hari kemarin aku anggap tidak ada. Aku akan melupakan semuanya dan benar-benar menikmati hari ini dengan bahagia. Tujuanku ke Solo selain mengetahui kabar Aka adalah untuk berlibur di Solo. Karena itulah, aku akan bersenang-senang hari ini dan percaya pada Aka. Pikiran negatifku kemarin pasti terjadi karena aku terlalu khawatir pada Aka sehingga timbul rasa cemas dan curiga.'

"Pasti pink semua," kata Aka ketika menyadari pakaian hingga sepatuku paduan warna pink dan putih. Aku hanya tertawa menanggapi ucapannya. Ia segera membawaku ke Jalan Slamet Riyadi yang kini dipenuhi pejalan kaki, pesepeda, dan pedagang di sepanjang jalan.

"Kak, jalannya enggak usah jauh-jauh, ya? Nanti keburu jajanannya abis, Kak," tawarku ketika kami sudah mulai berjalan pelan menyusuri jalanan. Namun, pria itu justru mengendikkan bahu dan berjalan semakin cepat--hampir berlari. Ia sengaja sehingga mau-tidak-mau aku mencoba mengejarnya. "Kak!"

Entah sudah berapa kilometer kami berjalan dan napasku mulai terengah. "Belum ada dua kilo, Dek, masa udah lelah?" Aka berjalan di tempat sembari menertawakanku yang nyaris kehabisan napas. Karena aku tidak kunjung menyusul, akhirnya pria dengan pakaian biru-hitam itu menghampiri dan menyodorkanku sebotol minuman. "Ayo, istirahat kalau gitu. Mau beli makan apa?"

Setelah Aka mengatakan itu, rasanya sangat lega. Aku tersenyum lebar dan menariknya ke penjual cilok yang semenjak tadi menarik perhatianku. "Mau ini, Kak."

"Cilok? Masih pagi, loh, Dek."

Aku tetap memohon padanya hingga akhirnya ia mengangguk pasrah. "Pak, lima ribuan dua, ya." Tepat setelah membeli cilok, aku segera menariknya lagi ke penjual mochi. Tidak sampai di sana, aku menariknya lagi ke penjual es teh jumbo. Namun, ia justru menahan tanganku sehingga aku berhenti dan menatapnya penuh tanya.

"Makan nasi dulu, ya? Ayo!" Kali ini giliran Aka yang menarik dan membawaku ke penjual nasi rames. Aku jadi melihat tangannya yang memegang erat tanganku seolah takut kalau aku sampai terpisah darinya. Hal kecil ini seakan mampu meruntuhkan kecemasanku kemarin. Aka masih menyayangiku, aku yakin.

Kami menghabiskan waktu cukup lama di CFD, kemudian pulang untuk mandi. Sekitar siang pukul 12.30, Aka menjemputku lagi dan mengajakku berkeliling Solo. Kami mampir ke taman Balekambang, kemudian makan siang di Pasar Gede, dan mengakhiri perjalanan kami di Solo Square. Aku menikmati semua waktu yang dihabiskan bersama Aka hari ini. Ia tampak sama perhatiannya seperti biasanya.

Ketika sudah cukup sore, Aka mengantarkanku ke penginapan untuk melakukan check-out, kemudian mengantarku ke stasiun. Kami cukup buru-buru karena jam keberangkatan KRL sebentar lagi. Namun, untung saja kereta belum sampai setibanya kami di stasiun. Di pembatas area pengantar, aku menyempatkan diri mengucapkan terima kasih pada Aka.

"Kak, makasih, ya, Kak. Aku seneng banget hari ini. Kak Aka nanti pulangnya hati-hati, ya." Aku mengucapkannya setulus mungkin, tetapi aku menangkap lagi raut wajah Aka yang selalu coba aku abaikan selama seharian ini. "Kak, aku mau pulang ke Jogja, tapi aku pasti balik ke Solo lagi. Kak Aka jangan abaiin pesan Cantika lagi, ya, Kak. Aku khawatir kalo Kakak tiba-tiba hilang kayak kemarin lagi. Kakak ...."

"Dek ...." Aka memotong ucapanku dan entah kenapa cukup membuatku khawatir. "Maaf, Dek. Kayaknya Kakak udah enggak bisa nahan ini terlalu lama lagi, deh. Kakak juga enggak mau Adek jadi nungguin Kakak terus dan jadi bergantung sama Kakak. Kakak lelah. Maaf, Dek."

Ucapan Aka masih sama lembutnya, tetapi inti dari ucapannya berhasil membuatku nyeri. Aku mencoba menangkap maksudnya, tetapi ucapanku terbata. "Kak, maksud Kak ...."

"Kita udahan, ya, Dek? Kita putus. Maafin Kakak selama ini. Adek jangan ke sini lagi, ya."

Ucapannya yang pelan-pelan tepat mengenai perasaanku membuat air mata diam-diam sudah mengumpul. Suara lonceng kedatangan kereta nyaris tidak terdengar karena runguku lebih memilih mendengar suara halusnya yang sebenarnya menyakitkan. Namun, sentuhan petugas kereta pada pundakku menyadarkan kalau keretaku sudah tiba. Tanpa melihat Aka lagi, aku segera memindai kartu dan berjalan cepat memasuki kereta. Ketika baru baru mendudukkan diri, air mataku jatuh juga. Segera kuseka karena takut orang lain akan melihat. Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengirim pesan kepada Aka memintanya untuk memberiku waktu memahami ucapannya barusan.

Kereta melesat cepat, sedangkan hati dan perasaanku memilih diam menetap di Solo.

(No) Life After BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang