6. Hari Pertama Memang Selalu Menyakitkan, 'Kan?

23 18 0
                                    

Di depan pintu kamar indekos, tanganku ragu-ragu untuk memutar knop pintu. Mataku sudah panas karena semenjak tadi menahan air mata agar tidak jatuh. Setelah satu tarikan napas panjang, tanganku perlahan memutar gagang pintu. Tepat setelah pintu terbuka, badanku melorot terduduk, sedangkan air mataku turun juga. Cepat-cepat pintu kamar kututup dan biarkan air mataku jatuh saat ini.

Ruangan berukuran 4x4 meter ini terasa sesak meskipun jendelanya terbuka lebar. Di sisi sebelah kiriku, tembok dipenuhi foto-fotoku dengan Aka. Foto yang diambil di photobox dan foto yang sengaja aku cetak masih terpasang rapi di dinding sebelah kiri. Sementara itu, di hadapanku tergantung sebuah jaket berwarna cokelat muda yang pernah dipinjamkan Aka dan tidak perlu dikembalikan katanya. Ketika menatap ke lantai, aku menyadari bau pewangi ruangan yang semenjak tadi menguar di kamar adalah harum yang paling disukai Aka--aroma kopi.

Semua hal dalam ruangan tersebut berhasil membawa memoriku terlempar ke hari-hari bersama Aka.

"Dek, hujan. Ini pake jaket Kakak biar enggak dingin."

"Pasti tiap ke mall minta ke photobox."

"Tau enggak, sih, Dek? Wangi kopi, tuh, enak banget. Apalagi kalo buat pengharum ruangan. Cobain, deh. Kamar Kakak juga pake aroma itu."

Aku semakin terisak, tidak peduli lagi dengan suaranya yang mungkin saja terdengar sampai luar kamar. Tangisku tidak bisa dihentikan begitu saja hingga tangan ikut-ikut memukul dada karena sesak yang aku rasakan. Dengan sedikit merangkak, badanku mendekat ke arah kasur untuk mengambil bantal. Sebisa mungkin bantal tersebut aku gunakan untuk meredam suara tangis.

Notifikasi pesan muncul di layar ponsel, menampilkan pesan dari Aka.

Kak Aka: Kakak serius, Dek. Kakak mau udahan aja soalnya hubungan kita emang enggak bisa dilanjutin lagi. Kakak juga enggak mau Adek terus-terusan berharap sama Kakak. Kakak mau, Adek bisa bahagia dan ketemu sama cowok yang baik buat Adek. Kakak bener-bener minta maaf, ya? Adek jangan jauhi Kakak. Kita jadi Kakak-Adek kayak dulu lagi, ya? Enggak lebih. Adek bisa nerima, 'kan? Kakak harap, Adek baik-baik aja.

Mau sebertele-tele apa pun, inti dari ucapan Aka adalah putus. Mau selembut apa pun tuturnya, intinya hatiku tetap nyeri. Aku semakin menguatkan bantal untuk menutup wajahku. Isakku semakin keras, tetapi aku sendiri tidak bisa mengendalikannya. Tanganku sampai terasa bergetar, tetapi tangisku tetap tidak ingin berhenti. Mengalah dengan keadaan, aku membiarkan diriku meringkuk dan menangis. Aku hanya ingin membiarkan air mataku kering dan berhenti dengan sendirinya. Namun, kenangan-kenangan sialan yang terus teringat itu rupanya membuat tangisku tidak kunjung reda.

**

Empat belas jam berlalu sejak Aka memutus hubungan kami. Aku tidak membalas pesan terakhir Aka karena rasanya masih sulit. Ketika melihat ke cermin, terlihat mataku bengkak dan merah. Dengan obat tetes mata dan make-up, mataku tetap terlihat sembab. Karena jam sudah menunjukkan pukul 7.55, aku tidak memiliki waktu lagi. Semoga saja temanku tidak ada yang sadar kalau aku habis menangis semalaman. Hari ini aku ada janji untuk membantu temanku penelitian di lab pangan.

"Can, udah berangkat! Makasih, ya, Can. Eh, bentar ...." Aira menarik lenganku dan melihat lekat-lekat. "Kamu baik-baik aja, Can?"

Aku jadi gugup sendiri dan segera menyisir rambut agar bisa sedikit menutup wajahku. Aku tersenyum lebar dan tertawa hambar. "Aku baik aja, Ai. Aku mau nyimpen tas dulu di rak, ya."

Aira memang paling cepat sadar tiap kali ada perubahan sehingga aku harus lebih berhati-hati saat berbicara dengannya nanti. Tidak ingin membuat curiga, aku segera menghampiri Aira yang saat ini dikelilingi Sani, Angel, dan Hari.

"Oke, guys. Kita cuma berempat soalnya enggak susah-susah amat, kok. Aku udah buat ramuannya ini di indekos, tinggal packing aja. Nanti minta tolong ditempeli stiker labelnya, terus nanti ...."

Rasanya masih berat. Apa saja yang terlihat di mataku menjadi terlihat menyedihkan, bahkan sebuah kertas label yang semenjak tadi aku pegang. Kertas ini mengingatkanku ketika Aka memilihkan stiker untuk ditempel di laptopku. Aku jadi ingat, beberapa stiker yang dipilih Aka itu masih melekat kuat di laptopku.

"Can? Cantika ...."

Terdengar beberapa kali ketukan di meja yang langsung membuatku sadar. Dengan raut wajah bingung, aku menghadap ke arah Aira. Gadis itu menunjuk kertas label di tanganku, sedangkan aku jadi linglung.

"Minta tolong ditempeli labelnya di botol, Can ...," ucap Aira dengan wajah menahan kekesalan.

"Can, kamu baik-baik aja?" bisik Angel mendekat ke arahku. Tanpa menatap mata Angel--takut ketahuan--aku hanya mengangguk dan mengatakan semuanya aman terkendali.

Proses packing dan labeling produk Aira selesai juga. Kukira benar-benar selesai, tetapi ternyata kami harus mengantar ke beberapa responden juga. Kali ini aku harus berkeliling berdua dengan Aira mengantarkan botol-botol berisi minuman racikan Aira untuk menurunkan gula darah. Situasi sedikit gawat karena Aira tampak terus saja berusaha melihat wajahku.

Aku menghela napas kasar, tidak tahan lagi dengan Aira yang terus menatap curiga. "Iya, Ai, iya. Aku abis nangis."

"Kan bener!" Gadis dengan rambut digelung rapi ini justru bersorak karena tebakannya benar. Namun, melihatku tidak menanggapi membuatnya merasa bersalah juga. "Eh, iya, gimana, Can? Ada sesuatu, ya, Can?"

Melihat kekhawatiran tulus dari Aira membuat air mataku nyaris saja jatuh kalau aku tidak cepat mengganti topik pembicaraan. "Ini masih ada dua botol, nih. Kalo aku cerita, ini enggak sempet dianter gimana?"

Aira jadi tertawa kecil. "Eh, jangan gitu, dong. Ya, udah, temenin aku anter ini dulu, ya. Terus nanti kita pulang, kamu cerita."

Aira tersenyum, kemudian menepuk pelan punggungku. Aku hanya berdecih. "Iya ..., ayo anter dulu obat diabetnya ini."

Mungkin karena hari pertama, ya, makanya kerasa banget sakitnya? Cuma gara-gara Aira nanyain gitu aja, aku udah mau nangis.

***

Hehe, terima kasih sudah membaca sampai bab ini
Semoga ceritanya masih jelas alurnya😞
Kalo kalian, hari pertama putus rasanya gimana? Huhuh

(No) Life After BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang