9. Semuanya Enggak Benar, 'Kan?

28 18 13
                                    

Bangun di pagi hari rasanya semakin sulit. Entah mengapa, pertama kali membuka mata air mataku sudah turun saja. Aku mencoba mengabaikan pesan terakhir Aka selama dua hari ini dan selama itu juga aku merasa menderita.

Ketika bertemu teman-teman, aku seakan bisa tersenyum dan melupakan semua hal tentang Aka. Namun, nyatanya pikiranku sering mengingatkanku pada Aka dan akhirnya tumpah ketika aku sudah sampai indekos. Saat sedang memasak, aku ingat perasaan ketika dulu membuat bekal untuk Aka. Setiap jalan yang kulalui di Jogja juga mengingatkanku pada Aka. Hal terkecil seperti saat ingin menyisir atau merapikan rambut, aku mengingat Aka.

Rasanya sangat sulit. Aku sudah berusaha untuk bahagia dan mengabaikan Aka, tetapi ternyata tidak semudah itu. Ingatan dan perasaan dulu selalu saja kembali. Pagi ini, aku berusaha bangkit dan segera mengusap kasar pipiku. Aku beranjak untuk segera mengambil baju dan handuk, sepertinya mandi pagi bisa menyegarkan. Namun, baru dua langkah mendekati lemari, tubuhku menabrak meja hingga membuat foto polaroid yang belum ditempel di tembok terjatuh. Saat itu juga, badanku gemetar hebat lagi.

Foto di dalam polaroid itu adalah aku dan Aka. Aku jadi terduduk lagi dan membiarkan air mata turun tanpa henti. Padahal Kak Aka keliatan bahagia ... tapi kenapa? Apa maksudnya ... enggak bisa bersama ... enggak ada harapan ...? Sebenernya apa, Kak ...? Apa yang Kak Aka sembunyiin dari Cantika ....

**

B

aguslah aku dapat melalui satu hari lagi tanpa Aka. Namun, di malam hari ketika rasanya sulit kali terpejam, aku mengirim beberapa pesan ke Aka.

Cantika: Kak Aka sibuk? Kak Aka bilang, Cantika bisa ngehubungi Kakak kapan aja, 'kan?

Aku sudah menurunkan rasa gengsiku hingga ke paling dasar. Sekitar lima menit kemudian, muncul balasan. Ia bertanya untuk apa menghubungi. Tentu, air mataku menitik setelah mendapat balasannya yang terasa dingin seperti ini.

Cantika: Kak Aka apa kabar?

Aku melanjutkan pesan ketika Aka terlihat masih mengetik balasannya.

Cantika: Aku enggak baik-baik aja, Kak.

Kak Aka mengetik lebih lama dari bayanganku. Sepertinya ia menghapus balasan sebelumnya dan memilih menanggapi pesan terakhirku. Memang itu yang aku ingin. Aku hanya ingin ia tahu kalau dirinya sudah menyakitiku sebegininya.

Kak Aka: Adek harusnya jangan gini. Adek bisa lupain Kakak, pasti. Justru dengan ngechat kayak gini malah bikin Adek makin susah buat lupain Kakak. Kakak emang mau temenan kayak dulu, tapi bukan berarti kita jadi bisa saling ngasih kabar kayak gini, Dek.

Aka mungkin benar. Namun, lagi-lagi aku memilih untuk membuka lebar lukaku daripada menutupnya.

Cantika: Kak Aka bilang masih ada perasaan ke Cantika, tapi balesan Kakak enggak ada empati sama sekali.

Cantika: Aku tau, kok, ini sakit dan makin sakit karena aku ngechat Kakak gini. Tapi tahu enggak, sih, Kak? Ini salah satu usahaku juga biar bisa nerima perpisahan ini. Bisa enggak, sih, Kakak bales pake empati sampai aku bener-bener baik-baik aja.

Cantika: Tiap hari, tiap saat, aku masih aja nanyain sebenernya kenapa Kak Aka tiba-tiba mutusin gini dan bilang hubungan kita enggak bisa diterusin? Kalau Kak Aka ada perasaan, harusnya diperjuangin, bukan malah gini, Kak.

Aku tidak berniat untuk berdebat, tetapi emosiku meluap setelah mendapat balasannya. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. Mungkin kesal, sedih, kecewa, atau justru putus asa.

Kak Aka: Keluarga Kakak enggak setuju, Dek.

Aku tersenyum sinis, dengan air mata jadi mengalir tanpa terasa. Alasan apalagi yang sekarang Aka bawa. Keluarga? Padahal kami saja belum pernah bertemu, bagaimana bisa keluarganya sudah tidak setuju?

Cantika: Memang keluarga Kakak tahu aku? Kakak enggak dijodohin, 'kan? Dipaksa nikah sama keluarga Kakak?

Kak Aka: Dek, jangan buat asumsi tentang keluarga Kakak. Kalo keluarga udah enggak setuju, kita bisa apa, Dek? Meskipun belum ketemu, tapi kita sedaerah, jadi mungkin banget ada banyak koneksi. Dek, maaf Kakak enggak bisa jelasin detailnya.

Bibirku jadi gemetar dengan air mata mengalir. Jawabannya hanya membuat isi kepalaku semakin penuh. Gara-gara balasannya yang tidak jelas jadi membuatku mengingat-ingat kekurangan atau rumor tentang keluargaku di desa. Tanganku jadi menggenggam ponsel erat-erat--masih dengan tangan gemetar.

Maksudnya karena keluargaku kurang setara sama keluargamu, Kak? Aku juga tahu rumor tentang keluarga Aka. Ia lahir dari keluarga berkecukupan, ayah sebagai TNI AL, dan ibu seorang perawat. Keluarganya memang cukup terpandang di daerah kami. Tapi kalau benar alasannya karena mereka merasa berada di atas orang lain ... aku tidak tahu lagi. Aku merasa diremehkan, padahal keluarganya belum pernah bertemu denganku.

Saat masih berperang dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba saja pesan dari Aka sudah hilang. Ia menghapus pesan sebelumnya yang sudah kubaca dan menggantinya dengan satu kalimat: Maaf Kakak enggak bisa nyeritain detailnya.

Aku berdecih. Sepertinya dugaanku sebelumnya benar hingga ia merasa bersalah dan menghapus pesan tersebut. Sayangnya aku terlalu bodoh dan menganggap hal kecil tersebut sebagai bentuk perhatiannya padaku. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengetik pesan selanjutnya. Aku luluh dan kembali meletakkan gengsi ke tempat paling dasar.

Cantika: Kak, kalo cuma gitu alasannya harusnya masih bisa diperjuangin, 'kan? Lagian orang tua Kakak juga belum tau aku. Kalo Kakak masih sayang sama aku, harusnya Kakak enggak nyerah gitu aja. Kakak juga bisa bilang apa aja yang perlu aku perbaiki biar kita bisa bareng lagi.

Cantika: Kak, semuanya enggak bener, 'kan? Kita enggak beneran putus, 'kan? Lagian aku belum bilang 'iya' soal putus itu. Artinya kita masih sepasang, belum putus.

Aku tahu semua jawabannya. Aku tahu perasaanku semakin tidak baik-baik saja. Namun, tetap saja pesan tersebut aku kirimkan dan kembali membuka luka hingga aku senditi tidak yakin bisa menyembuhkan nanti.

**
Maaf kalau kebanyakan chat😭🙏🙏
Semoga jelas alurnya skskskks

(No) Life After BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang