7. Berbagi Rasa Sedih

17 16 0
                                    

"Kalo mutusin hubungan sepihak, artinya udah putus belum?" tanyaku berhati-hati setelah aku, Sani, Angel, dan Aira berada di kamar indekosku. Sementara itu, Hari yang ikut membantu penelitian Aira tadi harus pulang lebih dulu karena ada urusan lain. Setelah satu pertanyaan dariku, ketiga temanku langsung melebarkan bola mata terkejut.

"Bentar, bentar, kamu enggak diputusin Aka, 'kan?"

"Aka mutusin kamu, Can?" Aira dan Sani bereaksi heboh bersamaan. Aku hanya menyengir lebar untuk menjawab rasa penasaran keduanya.

Raut wajah Sani semakin terkejut dan menunjukkan rasa tidak percaya. "Boong, 'kan? Beneran, Can?"

Aira tidak kalah menunjukkan ketidakpercayaannya. "Aka yang sikapnya manis lucu gitu? Mutusin kamu, Can? Kapan?"

Sementara itu, Angel mengelus pundakku dan bertanya dengan lembut. "Kamu kemarin abis ketemu Aka, ya, Can?"

Sani dan Aira lebih terkejut lagi setelah Angel ikut bersuara. Aku menghela napas kasar, sepertinya cerita ini akan panjang untuk aku ceritakan. Mulai dari Aka yang hilang kabar, aku yang terus menghubunginya, dan aku yang menghampiri sampai Solo. Aku juga menceritakan perjalanan menyenangkan selama di Solo. Namun, hal mencurigakan dan perlakuan Aka yang berbeda dari biasanya sengaja tidak aku ceritakan. Aku hanya berharap semua hal janggal kemarin hanyalah perasaanku sehingga tidak perlu sampai menceritakannya. Terlebih aku belum siap teman-temanku menilai Aka buruk hanya dari satu kejadian kemarin, sedangkan selama ini Aka selalu bersikap baik.

Selama bercerita, aku menolak sedih, tidak ingin menangis kali ini. Namun, ketika sampai pada puncak cerita--Aka memutuskanku, Aira justru lebih dulu menitikkan air mata. Sani dan Angel menyusul meski berulangkali menahan agar air matanya tidak jatuh.

"Ah .... Bentar ...," sela Aira dengan air mata sudah mengalir cukup deras. Aku hanya tersenyum melihat Aira menangis serta Sani dan Angel yang mulai menitikkan air mata. Setelah ketiganya mengambil tisu, aku melanjutkan cerita.

"Ya, gitu. Aka bilang dia lelah, dia enggak mau lagi nahan aku terlalu lama. Terus di akhir dia bilang, 'Jangan ke sini lagi ....'" Belum menyempurnakan kalimat, air mata lebih dulu menuruni pipi. Aku tidak tahu di mana letak kesalahannya. Padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin agar tidak menangis. Namun, ternyata rasanya masih saja sakit meskipun tadi malam air mataku serasa sudah kering. Atau mungkin karena teman-temanku yang menangis, aku juga turut terbawa suasana? Anehnya, dadaku sesak lagi.

"Ah .... Cantika ...." Sani sudah mengelus lenganku berkali-kali. Angel memainkan ujung lengan bajuku, sedangkan Aira terlihat kesusahan menahan air matanya. Gadis itu terisak-isak melebihi aku saat ini.

"Udah ...," rengekku pada ketiga temanku. Namun, ucapan tersebut nyatanya tidak bisa menghentikan air mata. Kami justru semakin terisak dan berakhir menangis bersama.

Setidaknya sekitar lima belas menit kami sama-sama membiarkan isak tangis memenuhi kamar. Setelahnya, kami saling pandang. Saat itu, aku mencoba tertawa, tetapi tetap saja yang keluar air mata.

"Menurut kalian ...." Dengan terbata-bata, aku memulai percakapan kembali. "Aku harus gimana ...?"

Sani tampak menghadap ke langit-langit untuk menghentikan air matanya. Ia tersenyum padaku setelah air mata benar-benar hilang dari wajahnya. "Can .... Kamu maunya gimana?"

Pertanyaan Sani membuatku menunduk. Mataku memanas lagi. Sialnya, ingatan soal Aka tiba-tiba jadi terlintas.

"Aka masih belum jelasin alesannya, Can? Kok dia gitu, sih ...." Meskipun terdengar lembut, aku menangkap kekesalan dari ucapan Angel.

"Can ...." Kali ini Aira dengan mata yang sudah memerah menatapku dalam-dalam. "Kalo kamu ngerasa mau udahan aja, enggak mau berharap ke Aka lagi, enggak apa-apa ...."

Aku menggeleng dengan bibir gemetar menahan tangis. Rasanya sulit kalau harus mengiyakan perpisahan ini begitu saja. Memahami gelengan kepalaku, Aira berdeham.

"Kalau kamu masih mau nyoba berusaha, coba tanyain dulu baik-baik sama Aka. Mungkin aja ... mungkin aja ada yang bisa diperbaiki di antara kalian berdua." Aira pernah mengalaminya. Gadis yang pernah mengalami perpisahan itu pasti lebih tahu rasanya di posisiku saat ini sehingga mengatakan hal tersebut. Aku tahu, akhir dari usaha dan perjuangan itu pasti tetap sama. Kalau satu orang sudah ingin berpisah, maka mau ditolak bagaimanapun hasilnya akan tetap sama. Namun, hatiku menolak semua logika tersebut. Aku lebih memilih memperjelas semuanya, berharap, dan kemungkinan terburuk kecewa, daripada menyesal karena tidak melakukan apa pun.

Malam itu, ketiga temanku menginap. Setelah menangis bersama, malam hari kami membeli banyak jajanan dan mencoba bergembira. Seolah melupakan kejadian patah hati pertamaku, kami tertawa bersama dan menonton film. Namun, tentu saja jauh dalam hatiku masih ada perasaan sakit. Aku hanya tidak ingin menunjukkannya dan lagipula aku juga bersenang-senang malam ini.

Namun, perlakuan ketiga temanmu sedikit berbeda. Mereka sering tiba-tiba melihat ke arahku, kemudian tersenyum sendu. Kadang mereka juga tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang tanpa bersuara. Rupanya meskipun sudah berlagak baik-baik saja, mereka tetap mengkhawatirkanku. Ketika kami sudah sama-sama berbaring di kasur, aku diam-diam mengirimkan pesan kepada Aka.

Cantika: Kak, maaf Cantika baru bisa ngehubungi lagi. Kak, Cantika cuma mau Kakak jelasin alasannya boleh, Kak? Soalnya Cantika ngerasa kita baik-baik aja sampai kemarin. Cantika salah apa, ya, Kak?

"Can, pokoknya kalau Aka ternyata macam-macam ... awas aja. Bilang ke aku, biar aku marahin, Can." Aira menghadap ke arahku dan menyengir lebar. Posisi kami saat ini berjajar dengan urutan aku paling pinggir, Aira, Angel, kemudian Sani.

"Bener, sih. Aku pengin marahin rasanya." Sani ikut bersuara, sedangkan Angel mengangguk-angguk setuju.

Tadinya aku akan menangis lagi setelah mengetik pesan, tetapi mendengar ucapan teman-teman membuatku tersenyum. Aku mendecih, meremehkan ucapan mereka. Mereka yang lemah-lembut dan anggun begini, mana berani memarahi orang asing? Akhirnya malam sebelum tidur itu kami menghabiskan waktu sebelum tidur dengan berandai-andai dan membuat skenario menghukum pria-pria yang seenaknya menyakiti hati perempuan, Aka termasuk di dalamnya. Ketika semua sudah terlelap, aku turut memejamkan mata dan membiarkan satu air mata menitik.

Makasih, ya, Ai, Jel, San .... Aku beruntung punya kalian di tempat yang jauh dari rumah ini.

(No) Life After BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang