Sudah satu minggu semenjak aku mengirimkan pesan kepada Aka dan belum mendapat balasannya. Meskipun terasa sulit, aku berhasil juga melalui satu minggu ini tanpa mengungkit pesan itu kembali. Penelitian untuk tugas akhirku sudah selesai, bahkan skripsi. Aku hanya tinggal melakukan bimbingan beberapa kali lagi, kemudian mengajukan tanggal sidang. Karena masih terdapat cukup banyak waktu kosong, aku memilih membantu penelitian teman-temanku yang masih belum selesai. Aku juga selalu mengajak teman-teman untuk berkumpul. Seperti hari ini, aku, Angel, Aira, dan Sani bermain di pantai. Sani dan Aira sudah lari-larian di pantai dan bermain ombak laut, sedangkan aku dan Angel memilih duduk di pinggiran pantai karena belum lama sejak kami selesai makan bekal barusan.
"Can ... kamu gimana sekarang?" tanya Angel berhati-hati. Tanpa menyebutkan pertanyaan dengan rinci sekalipun, aku tahu arah pembicaraannya.
Aku meringis. "Ya, gini, Jel. Gimana, ya ... mau bilang baik-baik aja, nyatanya aku masih sering tiba-tiba keinget gitu. Proses, tuh, emang gini, 'kan?"
Gadis dengan senyum manis di samping kananku ini mengangguk antusias. "Bener, Can! Enggak apa-apa, 'kan lagi berproses. Percaya aja, nanti pasti bakal ketemu jodoh yang lebih baik dari Aka."
"Nah, makanya kenalin, dong. Temenmu ada enggak, Jel?" guyonku membuat kami berdua tertawa bersama. Gadis manis ini sampai tersenyum dan menggelengkan kepala tidak percaya dengan ucapanku.
"Jel! Can! Sini, loh!" teriak Aira dengan tangan melambai-lambai. Ketika ombak menerpa kakinya lagi, ia sedikit menjerit.
Aku dan Angel ikut mendekat untuk bermain air laut. Kami juga mengambil foto dan video untuk kenangan bersama, terlebih sebentar lagi kami akan berpisah. Namun, lagi-lagi aku teringat Aka. Padahal ini bukan pantai yang pernah kukunjungi dengan Aka. Lagipula sudah beberapa kali aku mengunjungi pantai dan bukan bersama Aka. Namun, ternyata tetap saja pria yang bagiku pertama itu selalu muncul dalam ingatanku di mana saja.
Aku merenggangkan badan dan diam-diam menghapus air mata. Aku tidak boleh menangis di saat kami sedang bahagia seperti ini. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, kami memilih makan siang di sekitar pantai. Mi kuah, telur, dan gorengan menjadi pilihan kami saat ini. Ditambah air kelapa muda yang terasa sangat menyegarkan. Aku bersyukur tidak pernah minum air enak ini selama bersama Aka. Sial, lagi-lagi aku bahas Aka.
"Can, kamu udah enggak apa-apa?" Kali ini Aira yang mengajukan pertanyaan.
"Ai, kamu ke mantanmu kemarin gimana? Aku tuh bingung, mending blokir aja atau gimana, ya? Soalnya aku sering banget cek akunnya itu loh." Aku menghela napas panjang melihat raut kekecewaan dari ketiga temanku. "Iya, aku tahu salah. Harusnya kalau mau move on, enggak usah liat-liat lagi. Tapi gimana? Penasaran soalnya ...."
"Aku blokir, Can," jawab Aira dengan enteng. Ia meminum air kelapa sebelum melanjutkan. "Dulu aku blokir, udah lama ... banget, aku buka lagi. Kayaknya ada sekitar tiga tahun, deh. Aku blokir semua sosmednya, bahkan whatsapp juga. Tapi karena kupikir aku udah baik-baik aja, akhirnya aku buka lagi. Aku udah ngikutin sosmednya lagi sekarang."
Sembari mengunyah gorengan, aku mendengar jawaban Aira dengan seksama. Ternyata butuh selama itu, ya, untuk baik-baik aja?
"Bener, Can. Kalau emang bikin kamu kepikiran dan malah overthink, mending diblokir aja enggak apa-apa. Menurutku itu bukan memutus silaturahmi sih, lebih ke membuat diri sendiri tenang." Sani tampak santai dengan pernyataannya tersebut. Mendengar kedua jawaban tersebut, aku menghela napas panjang lagi. Kali ini aku menghadap ke arah Angel yang tengah fokus menghabiskan mi kuah di piringnya. Gadis itu sampai menunjukkan kelima jarinya agar aku bisa menunggu sampai ia menelan makanan di mulut.
"Konsekuensinya hubungan kalian bisa bener-bener jadi orang asing, Can. Maksudku, kamu bilang kalo kalian mau kembali kayak dulu lagi, 'kan? Mau jadi kakak-adek tanpa bawa perasaan lagi ...." Melihat aku menghela napas kasar, Angel menjeda ucapannya. "Tapi, ya, enggak apa-apa. Blokir dulu aja."
Aku hanya mengangguk lemas dan melanjutkan makan. Sepertinya keputusanku memang seperti itu. Aku akan memblokir kontak Aka dan mencoba untuk tidak melihat kehidupannya lagi. Aku akan bahagia tanpa Aka dan membuktikan kalau ia tidak pantas memperlakukanku seperti ini.
Setidaknya begitulah tekadku kemarin. Hingga menyelesaikan dua minggu setelah berpisah dari Aka, aku mengetahui--atau tepatnya mencurigai--sesuatu tentang Aka. Hari--teman perempuanku--tiba-tiba menunjukkan sebuah video ketika ia dan kedua temannya sedang jalan-jalan di Solo.
"Jadi kemarin aku, Bang Fidan, sama Daarun lagi jalan-jalan ke Solo, terus aku buat video muter gitu, 'kan. Enggak sengaja lihat ada orang mirip sama cowokmu, Can. Makanya aku sengaja lama-lamain videonya. Eh, tapi aku enggak yakin, mungkin aja salah. Soalnya aku cuma liat dia dari Insta kamu aja, 'kan. Karena kamu sering posting juga, makanya aku sampe hafal," jelas Hari panjang lebar.
Aku mengamati betul-betul video yang dikirim Hari. Seorang pria mengenakan topi beserta jaket abu-abu sedang tertawa bersama seorang wanita. Dadaku jadi berdegup kencang. Namun, aku hanya tersenyum ke arah Hari dan mengatakan, "Makasih, ya, Ri. Aku emang udah putus dari dia. Enggak apa-apa, Ri. Makasih, ya ...."
Meskipun memang sudah putus dan mengatakan tidak apa-apa, dadaku tetap terasa nyeri. Perpisahan kami baru dua minggu dan aku masih sesulit ini untuk lepas dari semua kenangan kemarin. Namun, aku justru melihat Aka sudah tertawa bersama wanita lain. Aku yakin pria dalam video tersebut memang Aka. Selain postur tubuh dan wajahnya yang terlihat sedikit, topi berwarna cokelat yang pernah kuhadiahkan untuknya membuatku yakin kalau itu memang Aka. Tanganku sedikit gemetar dan meremas ponsel kuat-kuat.
Bisa enggak Kak Aka nunda buat sama orang lain dulu sampai aku baik-baik aja, Kak? Padahal aku udah usaha banget buat bisa nerima semuanya, tapi liat Kak Aka gini ... sakit banget, Kak ....
KAMU SEDANG MEMBACA
(No) Life After Breakup
Любовные романыSeorang wanita muda yang baru merasakan jatuh cinta berusaha mewujudkan cinta yang selama ini diimpi-impikannya. Ia pikir memiliki pacar tampan, mapan, perhatian sudah berhasil diwujudkannya. Namun, tiba-tiba saja dunia terasa berputar. Kenyataan ti...