"Halo, guys ...! Kembali lagi dengan gue, Imel .... Get ready with me! Nah, kali ini gue mau bahas soal pacar. Pacar yang baik menurut kalian gimana, sih?"
Tanganku masih sibuk mengoleskan warna di bibir, sedangkan runguku tetap fokus mendengar seorang konten kreator di media sosial. Hari ini adalah kencan pertamaku dengan Aka setelah kami resmi menjadi sepasang kekasih. Aku tidak ingin mengacaukan hari ini sehingga semua hal perlu kupersiapkan secara matang.
"Gue ada cerita, nih, Gais. Punya pacar, tapi enggak perhatian sama sekali. Kayak, hal-hal kecil gitu aja enggak tahu. Padahal udah sering gue bilang enggak suka pedes, tapi tetep aja dibeliin. Itu cuma contoh kecil aja, ya. Jadi, menurut gue ... buat jadi pacar yang baik, tuh, kita mesti tau hal-hal kecil soal pasangan kita."
Perkataan Imel kucerna baik-baik. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, sebentar lagi Aka sampai. Tidak sampai dua menit, notifikasi muncul di ponselku. Aka sudah tiba di depan indekos. Aku buru-buru mengambil tas dan sebuah kotak makan di dapur.
"Kak Aka!" Tanpa direncanakan, kakiku melangkah sedikit lebih cepat untuk mendekat ke arah Aka. Senyum mengembang lebar begitu mata kami saling bertemu. "Kak, aku buatin pisang goreng. Aku inget, kemarin Kak Aka bilang kangen pisang goreng rumah, 'kan? Ya ... ini mungkin enggak seenak buatan Mama Kak Aka."
Aka membuka kotak makan dan menghidu aroma yang langsung menyeruak seketika. "Enak pasti. Makasih, Cantik. Kita makan di pantai, 'kan?"
Aku hanya mengangguk sedikit, masih salah tingkah. Meskipun 'Cantik' memang bagian dari namaku "Cantika", tetapi dipanggil begitu membuat jantungku merasa tidak aman. Aku berdeham sebelum menaiki motor dan melesat ke tujuan pertama kami.
"Gimana skripsi, Dek?" tanya Aka ketika motor sudah melaju cukup jauh. Seperti biasa, kami bisa mengobrol dengan nyaman meski di motor sekalipun. Terkadang kami harus sama-sama mengulangi perkataan karena suara yang kalah oleh angin dan hiruk-pikuk kendaraan. Ketika berhenti di lampu merah, baru suara kami bisa terdengar lebih jelas.
"Ya, gitu aja, Kak. Abis sempro, baru mulai nyiapin penelitian. Kalo Kak Aka gimana kerjanya? Senior-senior Kakak enggak ada yang seenaknya lagi, 'kan?"
Aka tertawa mendengar pertanyaanku tersebut. Belum menjawab, ia justru menarik tanganku agar bisa berpegangan di pinggangnya. "Itu bukan seenaknya, Dek. Itu namanya menghormati, yang pangkatnya di bawah perlu menghomati pangkat lebih tinggi. Enggak seenaknya, kok, masih sesuai prosedur."
Aku mendecak. Menghormati katanya, padahal jelas sekali bagiku tindakan senioritas itu sama sekali enggak bisa dibenarkan. Iya, sih, mendidik dan membimbing, tapi memang segitunya, ya? Aku menyayangkan memar di lengan dan pipi Aka. Terlebih luka keunguan itu berada tepat di wajah Aka yang tampan. Namun, kalau Aka sudah berpendapat demikian, aku tidak bisa lagi membantah.
Perjalanan ke pantai membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Sesampainya di sana, aku berlari hingga kakiku mengenai air laut. Tawaku mengembang sempurna, sudah lama tidak menyentuh air laut.
"Dek, ayo makan pisangnya dulu!" Aka sedikit berteriak. Aku segera berbalik sambil menenteng sandal yang sengaja dilepas. Ketika badanku menghadap ke arahnya, tiba-tiba terdengar suara jepretan kamera ponsel. Pria itu tertawa. "Yah, ketahuan."
Kemarin enggak begitu, sungguh. Aka bukan orang yang seromantis ini, tiba-tiba memotret dan tersenyum manis begitu. Ternyata begini rasanya, pacaran dengan seorang Aka yang lembutnya luar biasa--bagiku. Ia menggelar koran di pantai--dengan jarak aman dari laut--dan memesan kelapa muda di warung terdekat. Aku hanya tinggal duduk dan menikmati semua perhatiannya barusan.
"Enak, Dek." Aka sudah mulai menyuap pisang goreng buatanku. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku mengambil ponsel dan mulai mengabadikan momen hari ini.
"Halo, Kak Aka!" Dengan kamera depan ponsel, aku membuat video ala-ala vlogger. Untung saja Aka mau meladeniku. Ia menatap ke arah kamera dan tersenyum. Aku yang sedikit salah tingkah lagi mendekatkan kamera ke wajah sendiri dan berbisik, "Aka pacarku!"
**
"Dek, lihat sini!" Video kami masih berlanjut. Seolah menyeimbangkan diri denganku, Aka turut membuat video dengan aku di dalamnya. Rasanya senang diperhatikan seperti ini. Aka mendekatkan diri dengan kameranya, kemudian satu tangannya merapikan rambutku.
Ketika pipi mulai memerah, aku menyadari ada yang berbeda dari tangan Aka. Aku segera mengambil tangannya dengan wajah kentara panik. "Loh, tangan Kak Aka kenapa?"
"Kemarin masak bareng temen, tapi gini, deh. Kena pisau, lagian udah dipakein plester, kok." Pria di hadapanku ini justru tertawa dengan enteng, sedangkan aku masih menatap jengkel. "Kakak enggak pinter masak, jadinya gini. Adek Cantik hati-hati kalau masak."
Belum sempat salah tingkah, Aka justru menggenggam tanganku dan membawaku berputar-putar. Ponselnya diangkat tinggi-tinggi untuk mengambil video kami berdua. Aku menatap ke arah Aka. Pria itu tersenyum lebar, terlihat bahagia. Melihatnya seperti itu membuatku juga turut mengembangkan senyum. Angin yang berembus kencang membuat suasana yang sebentar lagi sore terasa menenangkan.
Kami sama-sama berhenti untuk melihat hasil video kami. Aku sesekali memukul pelan lengan Aka karena tidak bisa mengambil video dengan baik. "Kak Aka harusnya megangnya lurus, jangan miring, Kak ...." Namun, melihat Aka yang tetap tertawa membuatku tidak bisa marah. Aku kalah dan turut tertawa bersamanya. Diam-diam sepasang mataku jadi fokus ke wajah Aka ketika pria itu masih fokus dengan video di ponsel.
Kak, kayaknya aku mulai yakin sama Kak Aka. Kak Aka gini terus, ya ....
**
Heheh😭
Bingung mau nulis apa sksksksk semoga bisa tamat😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
(No) Life After Breakup
RomanceSeorang wanita muda yang baru merasakan jatuh cinta berusaha mewujudkan cinta yang selama ini diimpi-impikannya. Ia pikir memiliki pacar tampan, mapan, perhatian sudah berhasil diwujudkannya. Namun, tiba-tiba saja dunia terasa berputar. Kenyataan ti...