4.

25 12 0
                                    

"Apa sudah kamu hubungi lagi nak?" Seorang wanita tua yang duduk di kursi roda memandang pemandangan taman rumahnya. Sorot mata teduhnya menyiratkan kerinduan dan rasa penyesalan yang sangat besar.

Di masa lalu, ia dan suaminya telah menaruh luka yang menyakitkan untuk anaknya. Seharusnya sebuah keluarga harus saling mempercayai. Tapi, ia dan suaminya justru menuduh anaknya berbuat kejahatan.

"Udah ma, tapi gak ada respon." Seorang wanita berusia kisaran 35 tahun juga samanya dengan wanita tua tadi. Mereka sama-sama menahan rindu yang sangat berat.

"Harusnya waktu itu mama gak-"

"Sudah ma, cukup."Pria tua berjalan dengan bantuan tongkat, mendekati istrinya yang terus membahas masa lalu yang menyakitkan.

"Mereka baik-baik saja di sana, anak dan cucu kita baik-baik saja." Ujarnya dengan suara parau akibat faktor umur.

"Dira, apa orang tuamu tidak menginginkan cucu?" Pria tua tadi mencoba mengganti topik.

"Mami dan papi sudah menuntut itu pa, mereka mendesak ku untuk segera menikah, tapi aku masih mencintai anak kalian, tidak ada pria manapun yang mampu mengetuk pintu hati ku pa. Andai saja waktu itu aku mem-"

"Sudah, sudah, sudah." Kakek tua tersebut terduduk lemas di samping istrinya. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia mengingat kejadian-kejadian masa lalu, ketika ia tidak bisa menjadi orang tua yang baik.

...

"Bolos lagi! Bolos lagi!" Pria dewasa menampar pipi anaknya dengan penuh emosi. Dalam satu bulan ini, sudah tiga kali ia di panggil ke sekolah karena anaknya yang berandal ini sering bolos di saat jam pelajaran.

"Tidak bisa kamu menjadi seperti adik mu hah!? Dia begitu disiplin dan rajin! Tidak seperti kamu yang terus membuat masalah!"

Remaja yang sedang dimarahi itu hanya bisa tertunduk diam. Ia menyadari karena ini memanglah kesalahannya. Pipi sebelah kirinya telah memerah sehabis ditampar oleh sang ayah. Sedangkan di ujung tangga, ada adiknya dan ibunya yang menyaksikan dirinya sedang dimarahi.

Padahal kalau soal nilai, nilainya lah yang paling tinggi dibandingkan dengan adiknya. Tapi soal kerajinan, memang adiknya yang menang, adiknya tidak pernah membuat masalah.

"Papa peringatkan sekali lagi Kara! Jika kamu tidak bisa menjadi Tara! Jangan pernah membuat masalah. Sekali lagi kamu mempermalukan nama keluarga kita, papa tidak segan-segan mengusir kamu dari rumah ini!" Setelah melemparkan kalimat yang penuh ancaman tersebut, sang ayah berjalan meninggalkannya.

Ia berjanji tidak akan mempermalukan ayahnya. Ia berjanji akan menjadi anak yang lebih baik.

"Abang." Wanita dewasa yang sedari tadi menyaksikan kemarahan suaminya segera menghampiri sang anak. tangan lembutnya menyapu bekas tamparan yang ada di pipi putranya.

"Kamu jangan dendam sama papa ya, papa begini demi kebaikan kamu." Ibunya mencoba memberi pengertian.

"Tara gak marah ma, Tara justru senang karena diperhatikan oleh mama dan papa." Jawabnya dengan tersenyum, ia mencoba terlihat baik-baik saja di depan sang ibu.

"Bro diem aja!" Panggilnya kepada sang adik yang masih diam, ia juga merasakan rasa sesak saat melihat abangnya ditampar dan dimarahi oleh sang ayah.

"Gak usah sok kuat, makanya jangan bolos terus kalau gak mau kena tampar lagi!" Marah sang adik lalu menampar pelan pipi abangnya.

"Kok ditambah sih? Sakit tau!"

"Sudah-sudah, biar mama obati!"

Keesokan harinya,

"Tara duduk dulu ya sayang, sarapan sebentar lagi selesai." Ujar sang mama ketika melihat putranya berjalan menuju dapur.

"Serius mama gak ngenalin aku?"

Wanita dewasa tersebut kebingungan dengan apa yang di maksud putranya?

"Maksud kamu?"

"Selamat pagi ma!" Wanita dewasa itu semakin bingung, detik kemudian ia menutup mulutnya dan air mata haru keluar begitu saja dari matanya.

"Kamu habis ganti gaya rambut nak?" Tanyanya dengan bahagia.

"Gimana ganteng kan?"

...

"Ayah curang!" Altian mengatur nafasnya sehabis berlari. Ia dan ayahnya baru saja pulang dari lari pagi. Mereka melakukan lomba dadakan, siapa yang sampai di rumah terlebih dahulu, akan terbebas dari pekerjaan rumah, dan yang terakhir sampai akan mengerjakan semua pekerjaan rumah.

"Kamu saja yang lambat, gini-gini ayah masih sehat dan bugar!" Baskara memperlihatkan otot-otot tubuhnya, kebetulan ia sedang mengenakan baju tanpa lengan.

"Ayah curang lah, ngapain narik krah baju Al!" Protesnya dengan kesal, detik-detik ia akan sampai di rumah, Baskara menarik krah bajunya dan mendorong Altian hingga pemuda itu menjadi oleng, sementara baskara membiarkan putranya dan ia berlari memasuki pekarangan rumah.

"Hahah iya maaf, ayah yang kalah. Tapi kamu baik-baik saja kan?"

"Gak baik-baik aja ayah, saku Al sobek isinya pada hilang semua."

"Alah, kalau mau minta duit mah bilang aja, gak usah sok ngode-ngode gitu!" Ejek Baskara lalu ia berjalan memasuki rumah.

"Ayah minta duit dong, gak banyak-banyak cuma dua puluh ribu aja hehe." Cengirnya.

"Kamu mau duit?"

Altian mengangguk antusias.

"Kalau gitu sapu halaman rumah lalu jemur pakaian yang ada di mesin cuci dulu." Setelah mengatakan itu, baskara bersiul berjalan melewati Altian yang terduduk lemas.

"Semangat! Demi duit jajan!" Ujarnya membara setelah menghela nafas berat.

***

Satu minggu setelah satu angkot dengan Lara, Altian jarang sekali melihat keberadaan gadis tersebut. Entah kenapa ada rasa nyaman saat ia berdekatan dengan gadis manis tersebut. Padahal mereka belum sedekat itu untuk Altian katakan nyaman. Mungkin karena Lara adalah salah satu fans nya?

Lara sendiri memang sedang sibuk-sibuknya mengurusi untuk acara pentas seni yang akan diadakan tiga hari lagai. Lara adalah salah satu anggota osis.

Setelah mengantar alat-alat yang sempat digunakan kembali ke dalam gudang, Lara berjalan meninggalkan gudang melewati lorong sekolah yang sepi. Hari sudah sore, seluruh murid sudah pulang, hanya tinggal anak-anak osis.

"Lara!" Lara menghentikan langkah kakinya saat ada yang memanggil.

"Pak Dante? Kenapa Pak?" Tanya Lara dengan sopan saat ia melihat Dante keluar dari kelas kosong yang berada di samping gudang.

"Kelas ini mau di pakai untuk kegiatan eskul melukis, tapi kamu tau kan? Kelas ini sudah lama tidak terpakai, kamu bisa sapu kelasnya? Eskul melukis itu juga eskul kamu kan?" Jelas Dante, ia merupakan guru yang membina untuk eskul-eskul yang ada di sekolah.

"Oh baik pak." Lara berjalan memasuki kelas, Dante mengikuti langkah Lara ia juga ikut membersihkan kelas tersebut.

Disaat Lara sibuk menyapu lantai, Dante terus memperhatikan pergerakan Lara dengan intens. Jakunya naik turun melihat muridnya tersebut. Ia berjalan mendekati pintu untuk menjalankan niat buruknya. Tapi sebelum itu terjadi, seorang murid laki-laki menerobos masuk ke kelas begitu saja.

"Hani!"

Not meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang