Bab 2: Jingga dan Karya

41 18 16
                                    

Di pagi yang buta gerak embun mulai menyerap ke dalam kalbu. Beribu bayangan dari daun yang jatuh berusaha berdamai dengan semilir angin. Begitu pun dengan Rina yang sedang terbaring sakit di kamar pribadinya. Bunyi dinding tua semakin meyakinkan jika Rina sedang berjuang untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

"Ya Allah, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan yang Maha penyayang di antara semua penyayang."

Tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain berharap agar sang Maha pengasih memberikannya ruang kesembuhan. Terlebih pada sosok ayahnya yang juga sedang mengalami takdirnya sendiri.

Dalam keadaan berbaring nampak jempol tangan Rina sedang asyik membalas puluhan chat di WhatsApp, yang mengandung ucapan kasih sayang, semangat dan kalimat penyembuhan sehingga melahirkan benih-benih senyuman di wajahnya sebagai bahan bakar semangat untuk bangkit kembali.

"Semangat yah, Sist! Cepat sembuh, yah!"

"Halo, perempuan hebat. Lekas pulih, yah!"

"Semangat, semangat, semangat! Get well soon cantik." Pesan WhatsApp itu pun ia telah balas satu persatu beserta dengan yang lainnya.

Feny bersama Rangga juga sesekali datang menjenguknya dengan membawa dokter pribadi Feny agar Rina bisa cepat mendapatkan kesembuhan. Berkat kerjasama tim dan kepedulian satu sama lain membuahkan hasil, di mana Rina bisa mendapatkan kesembuhan sebelum berangkat ke Jakarta. Dan, tim cadangan yang sudah disiapkan batal untuk menggantikan posisi Rina.

"Dok, gimana keadaan teman saya?" tanya Feny dengan wajah yang masih khawatir dengan keadaan Rina.

"Insha Allah akan segera membaik. Namun, masih butuh istirahat yang cukup," jelasnya.

"Terima kasih, dok! Saya minta tolong agar teman saya cepat disembuhkan." Feny dengan wajah cemasnya.

"Akan saya lakukan yang terbaik."

***

Tim yang mereka bentuk kembali bersemangat dan dapat kembali melanjutkan perjuangan. Hingga tiba pada hari H, akhirnya mereka berangkat ke Jakarta bersama dengan mentor andalan mereka yaitu Prof. Hasanuddin. Selama dalam perjalanan mereka juga sangat menikmati waktu sebelum tiba di Jakarta.

Ketegangan demi ketegangan berhasil mereka lalui, namun di dalam hati kecil mereka masih terselip rasa cemas jika gagal memberikan yang terbaik untuk almamater tercinta.

"SELAMAT DATANG GENERASI EMAS INDONESIA." Sebuah spanduk dengan tulisan besar yang menyambut kedatangan mereka.

Yang menjadi tuang rumah dalam kompetisi ini adalah Universitas Indonesia bersama dengan Kompas Gramedia Group. Setibanya di UI, mereka langsung dijemput oleh panitia pelaksana, dan diarahkan menuju ke salah satu bangunan UI untuk menikmati makan siang. Kemudian, mereka diantar menuju hotel untuk beristirahat dan bermalam sebelum kegiatan berlangsung.

Waktu berlalu begitu sangat cepat. Pagi sudah menyambut dengan semangat di kala mata mereka mulai terbuka. Prof. Hasanuddin yang lebih duluan pasang kuda-kuda di restoran hotel sudah menunggu mereka untuk sarapan bareng sembari ingin memberikan wejangan singkat ala biksu Tong Sam Chong.

Memang sih karena Prof. Hasanuddin juga memiliki kepala yang tandus.

"Good morning, anak-anak!"

"Morning too, Prof."

"Ayo silahkan duduk. Gimana paginya, semua berjalan dengan lancar, kan?"

"Alhamdulillah, baik Prof Sejauh ini aman dan terkendali," jawab Rangga dengan maksud untuk mewakili.

Nampak mereka sedang konsentrasi sambil mengangguk-angguk mendengarkan pencerahan dari pak Prof. Dengan hati yang luas, mereka bertiga langsung mendapatkan kepercayaan diri yang tinggi, namun tetap tidak menganggap enteng pihak lawan.

Sebuah Novel: RINDU YANG PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang