(jika kedua bahuku menjadi tempat bersandar mereka, lantas aku harus bersandar pada siapa?)
Sesampainya di rumah, Jenan dibuat kebingungan saat melihat kamar Luna yang sangat berantakan. Kaca jendela telah pecah, membuat serpihan-serpihan kaca berserakan. Kursi kayu yang sering diduduki oleh Luna saat melukis kini sudah patah, dan lemari yang digunakan untuk menutup jendela tersebut kini berpindah.
"Gak mungkin Luna pergi," gumam Jenan.
Netra Jenan menelisik penjuru kamar Luna, satu per satu barang ia lihat dengan teliti. Mulai dari lukisan, tumpukan buku, dan jajaran boneka besar terdapat di beberapa sudut kamar Luna.
Saat meneliti mata boneka tersebut, Jenan seperti melihat sesuatu yang janggal. Ia pun menghampiri boneka yang terpajang dibeberapa sisi kamar luna. Karena rasa penasarannya yang besar, Jenan pun menarik mata bonekanya sampai lepas. Betapa terkejutnya Jenan saat melihat mata boneka itu terdapat kamera yang tersembunyi.
Jenan yang merasa janggal pun beralih melihat semua boneka yang berada di kamar Luna, dan benar saja, semua boneka tersebut terdapat kamera tersembunyi.
"BANGSAT!" Jenan merasa marah saat semua tindakan Luna selama ini diawasi.
Jenan meremas kamera kecil tersebut karena kemarahannya yang sudah meluap. Ia pun kini memastikan lebih lanjut, kembali mengecek semua barang-barang yang berada di kamar Luna.
Dengan teliti, Jenan mengambil satu per satu barang, membuat kamar Luna kini sangat berantakan. Barang-barang yang diambil oleh Jenan tak dikembalikan ke tempatnya semula.
"Apa ini?" Jenan mengambil bulpen yang sering Luna gunakan untuk belajar.
"Ini perekaman suara," Jenan menyadari jika pulpen tersebut bukan pulpen biasa, melainkan perekaman suara yang sudah didesain sedemikian rupa.
"Jadi selama ini guru yang datang untuk mengajar Luna juga diawasi?... Sebegitu waspadanya papa dengan keadaan," Jenan sungguh tak habis pikir dengan Arven yang berbuat sejauh ini hingga mengawasi kegiatan belajar sang anak.
Setiap guru yang datang untuk mengajar Luna harus dicek terlebih dahulu. Semua alat elektronik tak boleh dibawa, hingga buku untuk mengajar harus dilihat oleh Arven secara langsung.
"Jenan, mama sudah mencari Luna di sekitar rumah. Mama juga tanya ke tetangga, tapi kata mereka tak ada satu pun yang melihat Luna," Devi terisak. Tangisannya begitu pilu, mata sembab tersirat kekhawatiran.
Seorang ibu yang kehilangan anak perempuannya, membuat Devi merasakan kehancuran yang berkeping-keping. Tangisan pilu yang menyakitkan untuk didengar, suara yang tercekat seakan sudah tak bisa berkata-kata lagi, dan raut wajah yang menggambarkan kesedihan, Sungguh hancur perasaan Devi.
"Mama tenang dulu, Luna tak akan kabur ke mana-mana," Jenan menenangkan Devi, walau sebenarnya dirinya diliputi rasa panik yang begitu besar.
"Kamu tahu dari mana?" Tanya Devi, pasalnya ia sudah mencari di sekitar rumah, tapi tak menemukan keberadaan Luna.
"Mama tenang dulu, mama di sini aja biar Jenan yang mencari Luna," Jenan menuntun Devi untuk duduk di ranjang milik Luna agar Devi bisa menenangkan diri terlebih dahulu.
Jenan pun bergegas mencari Luna di seluruh ruangan yang berada di rumah tersebut. Satu per satu ruangan ia lihat, mulai dari kamar tamu, ruang kerja milik Devi, hingga kini tinggal dua ruangan yang belum ia lihat. Ruangan itu adalah ruang kerja milik Arven dan kamar tidur Arven.
"Gue harus cek ruangan ini," Jenan berada di depan ruang kerja milik Arven, ia tak pernah sama sekali masuk ke dalam ruangan tersebut atas larangan Arven.
KAMU SEDANG MEMBACA
wingless butterfly
Teen FictionJenan dan Luna adalah sudara, kehidupan mereka sangat berbanding jauh. Jenan yang selalu dituntut dan Luna yang selalu dikekang. Mereka saling menyayangi walau kasih sayang diberikan oleh orang tua mereka berbeda.