O4

4 3 0
                                    

"Tidak hanya soal bakat, tapi bagaimana kita bertahan saat ada rintangan. Siap untuk menghadapi rintangannya?"

***

Hari itu, Karisa berangkat ke sekolah dengan perasaan yang lebih kuat dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya; mungkin ini pertama kalinya dia benar-benar ingin membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri dan semua orang. Helm di tangannya terasa lebih ringan, langkahnya lebih mantap, dan senyum kecil menyelinap di wajahnya. Mimpi dan percakapan dengan Raisa seolah jadi dorongan besar buatnya untuk benar-benar menekuni impiannya.

Sesampainya di sekolah, Karisa langsung menuju ruang seni. Dia datang lebih pagi dari biasanya, berharap bisa latihan lebih awal. Kelas seni masih kosong, hanya ada Pak Darman yang sedang menyiapkan peralatan lukis. Begitu melihat Karisa datang, Pak Darman tersenyum.

"Pagi, Karisa. Ternyata semangat ya sekarang?" ucap Pak Darman ramah.

Karisa hanya nyengir dan mengangguk. "Iya, Pak. Mau mulai latihan duluan. Siapa tahu besok-besok saya jadi kayak Van Gogh atau Frida Kahlo."

Pak Darman tertawa pelan. "Bisa saja kamu, Karisa. Tapi pelukis hebat itu lahir dari ketekunan. Tidak hanya soal bakat, tapi bagaimana kita bertahan saat ada rintangan. Siap untuk tantangan itu?"

Karisa mengangguk lagi, kali ini lebih yakin. Ia mengeluarkan sketchbook-nya dan mulai menggambar dengan penuh perhatian. Awalnya, dia mencoba menggambar potret sederhana, tapi semakin lama dia merasa tertarik untuk menambahkan elemen-elemen unik; seperti latar belakang jalanan malam yang dia bayangkan.

Di saat Karisa lagi fokus, teman-teman satu gengnya muncul di depan pintu kelas seni. Aldi dan Asep mengintip dengan wajah heran.

"Isa, ini masih pagi, aturan ke kantin dulu atau nongkrong bareng kita dulu kek, kayanya lo udah lama gak gabung kita" ucap Aldi dengan nada menggoda.

Asep menambahkan, "Kayaknya lo kena sihir atau apalah, Isa. Lo nggak biasanya serius gini."

Karisa cuma melirik mereka sambil tersenyum, tapi kali ini dia nggak terlalu menanggapi godaan mereka. "Bacot banget deh, udah-udah! lo jangan ribut deh. Gue lagi fokus, nih. Kalian kalau nggak ngerti, mending pergi sana!"

Aldi dan Asep saling berpandangan, lalu tertawa kecil sebelum pergi. Meski begitu, mereka tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Karisa yang dulu terkenal sebagai troublemaker kini terlihat serius dan penuh dedikasi.

***

Jam istirahat, Karisa duduk di taman sekolah, mengamati karya-karyanya di sketchbook. Dia tahu karyanya belum sempurna, tapi ada rasa bangga yang mulai tumbuh di hatinya. Dia membayangkan apa jadinya jika dia benar-benar bisa jadi pelukis, karyanya dipajang di galeri seni, dan orang-orang menghargainya. Saat pikirannya melayang-layang, Raisa tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya.

"Isa, kok lo sendirian di sini?" tanya Raisa sambil melirik gambar di sketchbook Karisa.

"Cuma lagi mikir aja, Rai. Gue nggak tahu nih... bisa nggak ya gue bener-bener ngejar impian gue ini?" jawab Karisa sambil tersenyum tipis, sedikit ragu.

Raisa menepuk pundaknya lembut. "Semua orang bisa, Isa. Lo cuma perlu fokus dan sabar. Lihat hasil kerja keras lo aja sekarang, udah makin bagus. Gue yakin suatu hari lo bakal jadi pelukis hebat."

Kata-kata Raisa itu bikin Karisa terdiam sesaat. Ia merasa terharu, ada dorongan untuk benar-benar serius mengasah bakatnya.

"Thanks, Rai. Gue nggak pernah seberani ini buat ngejar mimpi gue, tapi lo ngasih gue semangat" balas Karisa tulus.

***

Sepulang sekolah, saat Karisa berniat mampir ke taman kota seperti biasa, ponselnya bergetar. Ia menerima pesan dari mamanya, Maya.

"Isa, pulang dulu ya, jangan keluyuran. Papa mau bicara sama kamu. Cepet ya, sayang."

Membaca pesan itu, Karisa menarik napas panjang. Meski penasaran apa yang ingin disampaikan papanya, ada sedikit kekhawatiran yang muncul. Tapi ia akhirnya memilih buat langsung pulang tanpa mampir ke mana-mana.

Begitu sampai di rumah, Karisa menemukan mamanya sedang duduk di ruang tamu sambil menyiapkan minuman. Senyuman lembut Maya menyambutnya, membuat Karisa merasa lebih tenang.

"Isa, kamu ada kabar baik dari sekolah?" tanya Maya sambil menyerahkan segelas teh hangat.

Karisa tersenyum kecil, lalu duduk di samping mamanya. "Iya, Ma. Aku mulai suka banget sama seni lukis. Guru seni juga bilang kalau aku punya bakat."

Maya menatapnya bangga. "Bagus kalau kamu sudah mulai tahu arah ke mana yang kamu inginkan. Sekarang, Papa mau bicara sama kamu di ruang kerja."

Di dalam ruangan itu, Darmawan, papa Karisa, sudah menunggunya dengan tatapan serius. Begitu Karisa duduk, papanya membuka pembicaraan tanpa basa-basi.

"Isa, Papa dengar dari Mama kalau kamu sekarang tertarik dengan seni lukis," ujar Darmawan, ayahnya.

Karisa mengangguk mantap. "Iya, Pa. Aku serius pengen jadi pelukis. Aku pengen punya karya yang dihargai orang banyak. Aku pengen fokus ke situ dulu."

***

Kira kira papanya Karisa mau ngomongin tentang apa ya?

Holaa pren jangan lupa dukung cerita ini terus sampe tamat yaaa, jangan lupa vote dan comment karena semakin kalian comment, itu buat aku semangat ngelanjutin!

Melody Mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang