Raisa menepuk bahu Karisa, memberi dukungan. "Gue percaya lo bisa, Isa. Lo selalu keras kepala kalau soal mimpi lo, dan gue yakin lo bisa bikin keluarga lo ngeliat itu."
***
Setelah beberapa hari berlalu, Karisa memutuskan untuk bicara lagi dengan ayahnya. Kali ini, dia sudah mempersiapkan diri dengan baik. Dia sudah tahu apa yang ingin dia katakan dan bagaimana dia akan membuktikan kesungguhannya.
Karisa mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Darmawan yang sedang menatap laptopnya, menoleh dan menatapnya dengan ekspresi datar.
"Papa, aku minta waktu sebentar. Aku pengen bicara," ujar Karisa dengan nada tegas.
Darmawan mengangguk dan melipat tangannya, memberi isyarat agar Karisa masuk.
Karisa menghela napas panjang, lalu mulai bicara dengan nada yang penuh emosi. "Pa, aku tahu Papa menginginkan yang terbaik buat aku dan keluarga kita. Tapi, aku nggak bisa jalani hidup yang bukan pilihan aku sendiri. Aku nggak mau diatur buat nikah sama orang yang nggak aku kenal, yang bahkan aku nggak tahu apa dia peduli sama mimpi aku atau nggak."
Darmawan menghela napas, lalu menjawab dengan suara yang tegas namun tetap tenang. "Isa, hidup ini bukan hanya tentang impian pribadi. Ada tanggung jawab yang harus kita pikul. Kamu mungkin belum mengerti sekarang, tapi suatu hari nanti kamu akan paham kenapa Papa mengambil keputusan ini."
"Tapi, Pa, aku nggak mau nunggu sampai suatu hari nanti untuk memahami sesuatu yang bisa aku lawan sekarang. Aku nggak mau menyesal di masa depan karena nggak pernah mencoba mempertahankan apa yang aku inginkan," balas Karisa dengan suara memohon.
Darmawan terdiam, matanya memperhatikan Karisa dengan cermat. "Jadi, apa yang kamu ingin lakukan untuk membuktikan kalau kamu bisa mencapai impianmu tanpa bantuan orang lain?"
Karisa tersenyum tipis. "Aku akan ambil bagian dalam kompetisi melukis nasional. Kalau aku menang, aku harap Papa bisa percaya bahwa aku memang punya bakat dan niat yang serius buat jadi pelukis."
Darmawan menatapnya lama, seolah mencari tanda keteguhan di mata putrinya. Setelah hening yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya mengangguk.
"Baiklah, Isa. Kalau kamu benar-benar serius, Papa akan kasih waktu. Tapi ingat, Papa tetap mengharapkan kamu untuk mempertimbangkan keputusan keluarga suatu hari nanti."
Karisa mengangguk, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. "Terima kasih, Pa. Aku akan buktiin kalau aku memang serius."
Setelah itu, Karisa meninggalkan ruang kerja ayahnya dengan perasaan campur aduk. Ada sedikit kebebasan yang ia dapatkan, namun tanggung jawab yang lebih besar kini menantinya. Bukan hanya untuk membuktikan diri kepada ayahnya, tapi juga untuk menggapai mimpi yang selama ini ia yakini.
Karisa menutup pintu ruang kerja ayahnya, membiarkan keheningan malam menemani langkahnya menuju kamar. Begitu sampai di dalam kamar, ia melemparkan diri ke tempat tidur dan menatap langit-langit dengan hati yang penuh harap dan kegelisahan. Meskipun perasaan lega sempat hadir, Karisa menyadari satu hal perjuangannya baru dimulai.
***
Keesokan harinya, ia berangkat lebih awal ke sekolah. Di dalam hatinya, ada semangat baru yang mendorongnya untuk segera mengambil langkah konkret. Begitu tiba, Karisa langsung mencari informasi tentang kompetisi melukis yang ia sebutkan kepada ayahnya. Ia sadar, untuk membuktikan dirinya, ia harus benar-benar menampilkan karya terbaik yang pernah ia buat.
Di kelas, Raisa langsung menghampirinya dengan penuh rasa ingin tahu. "Gimana, Isa? Lo udah ngobrol lagi sama Papa lo?" tanyanya sambil menyodorkan sebotol air minum ke arah Karisa.
Karisa mengangguk sambil tersenyum tipis. "udah, gue jelasin semuanya ke Papa, dan akhirnya dia setuju buat kasih gue waktu. Tapi, sebagai gantinya, gue harus menang di kompetisi melukis nasional," jawabnya sambil membuka botol minum dan menyesap sedikit air.
Mendengar itu, mata Raisa berbinar-binar penuh semangat. "Serius? Wah, itu kesempatan emas, Isa! Lo pasti bisa, gue yakin. Jadi, lo udah siapin konsep lukisan apa buat kompetisinya?"
Karisa menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan. "Belum. Gue masih bingung, Rai. Gue mau bikin sesuatu yang benar-benar bisa nunjukin siapa gue dan apa yang gue perjuangin. Tapi gue belum tahu harus mulai dari mana."
Raisa tersenyum dan menepuk pundak sahabatnya. "Lo pasti bisa nemuin inspirasi. Lo cuma perlu lebih fokus dan ngerasain emosi lo sendiri. Gue yakin, dari situ lo akan nemuin ide yang tepat."
***
Malam itu, Karisa duduk di meja belajarnya, menatap kanvas kosong di depannya dengan pikiran yang berkelana. Ia ingin menyampaikan pesan yang dalam, sesuatu yang bisa menggambarkan perjuangannya menghadapi keinginan keluarga, keinginan ayahnya, dan mimpinya sendiri.
Setelah beberapa saat, ia mulai menggoreskan pensil di atas kanvas, membentuk sketsa kasar. Garis-garis itu mulai menunjukkan seorang perempuan dengan wajah penuh ekspresi, dikelilingi rantai-rantai yang membelenggunya. Di latar belakang, Karisa menggambarkan semacam cahaya, sebuah simbol harapan dan kebebasan yang dia kejar.
Ketika selesai dengan sketsa awal, Karisa menatap hasilnya sambil merasa campur aduk. Ada perasaan puas yang melintas di hatinya, namun juga kegelisahan.
"Ini belum cukup kuat," gumamnya, merasa bahwa pesan lukisannya belum sepenuhnya menggambarkan emosinya.
Karisa terus bekerja keras selama beberapa hari berikutnya, menghabiskan waktu untuk mengerjakan lukisan itu setiap malam setelah pulang sekolah. Meskipun tubuhnya terasa lelah, ia merasa semangatnya semakin menguat seiring perkembangan lukisannya. Setiap goresan kuas yang ia buat terasa seperti cara untuk mengekspresikan semua ketakutan dan harapannya.
***
Semangat isa(yang) kuu kamu pasti bisaaa
Guys bantu vote, comment dan follow okeyy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Mimpi.
RomanceDORR pasti penasaran sama kisah ini kan?? Jawab penasaran aja pliss hehehe :> yuk! Langsung cuss bacaa. "Aduh, ini dia..." gumamnya pelan. "Karisa!!" suara Maya membuat Karisa tersentak. "Siapa suruh ambil mangga tetangga? Bilangnya mau belajar ke r...