O7

2 1 0
                                    

Setelah beberapa malam berlalu, Karisa semakin dalam terlibat dengan lukisannya. Tiap kali kuasnya menyentuh kanvas, ada percikan emosi yang meluap, membentuk gambar-gambar yang bukan hanya indah, tapi juga penuh makna. Lukisan itu seolah menjadi jembatan antara hatinya yang penuh kegelisahan dan impian yang ingin ia gapai. Tiap warna yang ia pilih, tiap bayangan yang ia ciptakan, semua dirancang untuk menyampaikan pesannya kepada dunia—dan kepada ayahnya.

Di sekolah, Karisa semakin sering tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kadang-kadang Raisa akan memergokinya sedang melamun di kelas atau saat istirahat, tatapan matanya jauh seolah membayangkan sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.

“Isa, fokus boleh tapi jangan sampe lo kecapean” kata Raisa suatu siang, saat mereka duduk di bangku taman sekolah. “Lo nggak biasanya melamun kayak gini. Gue malah jadi penasaran sama lukisan yang lo buat buat kompetisi.”

Karisa tersenyum tipis, tatapannya masih memandang jauh. “Gue sendiri masih nggak yakin, Rai. Gue pengen lukisan ini lebih dari sekadar gambar. Gue mau lukisan ini bisa nyampein apa yang gue rasain selama ini—tentang perasaan terjebak, tentang mimpi gue, tentang semua hal yang gue perjuangin.”

Raisa mengangguk penuh pemahaman, tangannya meraih tangan Karisa sejenak untuk memberi semangat. “Isa, lo adalah salah satu orang paling keras kepala dan gigih yang gue kenal. Gue yakin lo bakal berhasil. Gue tahu betapa pentingnya ini buat lo, dan lo nggak sendiri. Gue bakal dukung lo sampai akhir.”

Dukungan dari Raisa memberikan sedikit ketenangan bagi Karisa. Ia tahu, bagaimanapun sulitnya jalan yang harus ia tempuh, ada orang-orang yang benar-benar peduli dan percaya padanya.

***

Malam berikutnya, Karisa memutuskan untuk mencoba metode yang berbeda. Ia menyalakan musik klasik lembut yang menemaninya saat melukis, membiarkan melodi itu membawa perasaannya mengalir lebih dalam. Lukisannya semakin mendetail, menampilkan sosok perempuan yang dikelilingi rantai yang membelenggu, tapi di tangannya, perempuan itu menggenggam sekuntum bunga yang mulai mekar. Karisa merasa bahwa bunga itu menjadi simbol dirinya—harapan yang tetap hidup meski dalam keterbatasan.

Seiring malam yang semakin larut, Karisa merasa tersentuh oleh hasil karyanya sendiri. Perempuan dalam lukisan itu seolah memandang balik padanya, seakan memahami perjuangan yang sedang ia hadapi. Tanpa sadar, air mata menetes dari mata Karisa, membasahi pipinya. Mungkin inilah saat pertama kali ia merasa bahwa ia benar-benar jujur dengan dirinya sendiri, menumpahkan segala kegelisahan dan rasa sakit yang ia rasakan selama ini.

***

Keesokan harinya, Karisa terbangun dengan perasaan yang lebih lega. Namun, tubuhnya terasa lelah karena kurang tidur. Meski begitu, ia tetap semangat berangkat ke sekolah. Di kelas, Raisa bisa langsung melihat lingkaran hitam di bawah mata Karisa dan bertanya, “Isa, lo nggak apa-apa? Lo kelihatan capek banget.”

Karisa tersenyum lemah. “Semalam gue begadang buat ngelanjutin lukisan. Rasanya kayak nggak bisa berhenti, Rai. Begitu banyak yang pengen gue tuangin di lukisan itu.”

Raisa meraih pundak Karisa dan menepuknya pelan. “Lo harus jaga kesehatan juga, Isa. Jangan sampai karena kompetisi ini, lo malah jatuh sakit.”

Karisa mengangguk, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa untuk kali ini, ia harus memberikan segalanya.

Waktu terus berjalan, dan kompetisi semakin mendekat. Tiap kali ia melihat lukisannya, ada rasa bangga sekaligus rasa takut. Bagaimanapun hasilnya nanti, lukisan ini akan menjadi bagian dari jiwanya, sebuah karya yang mencerminkan siapa dirinya dan apa yang ia perjuangkan.

Saat sedang sibuk dengan sketsa barunya di kamar, ponsel Karisa berbunyi. Ia melihat ada notifikasi chat dari teman-teman gengnya. Aldi, salah satu temannya, baru saja mengirim pesan.

Asep paling cakep
cecepp, aldi taher, babang catur, dika slebew, you.

Isa, hari ini ada yang nantang balapan, terima gak?
19:07

Karisa membaca pesan itu sambil menghela napas. Ia tahu, biasanya dia adalah orang pertama yang selalu siap kalau ada tantangan balapan, tapi kali ini berbeda. Kompetisi melukis sudah semakin dekat, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya teralihkan.

Enggak, gue skip kali ini, Di.
Send 19:07

Hanya beberapa detik setelah pesan itu terkirim, Aldi langsung membalas.

Serius lo, Sa? Ini baru banget loh! Akhir-akhir ini kita jarang nongkrong bareng, lo jarang ikut balapan juga. Ayolah, Sa, sesekali gitu. Jangan fokus ke lukisan terus, lo butuh nge-refresh otak lo biar seger
19:08

Karisa membaca pesan itu dengan alis berkerut. Ada rasa kesal yang mulai muncul. Ia tahu teman-temannya hanya ingin bersenang-senang, tapi ini bukan waktu yang tepat. Dalam hati, ia merasa mereka kurang mengerti tentang seberapa pentingnya kompetisi ini baginya.

Gue lagi nggak bisa, Di. Gue serius soal kompetisi ini, jadi gue nggak mau ngelakuin hal yang bisa ganggu fokus gue. Kalau lo nggak ngerti, gue juga nggak bisa maksa.
Send 19:08

Pesan itu membuat grup hening sejenak. Ia melihat tanda Aldi sedang mengetik, namun tidak ada pesan yang masuk. Karisa menaruh ponselnya dengan agak keras, perasaannya sedikit kacau. Di satu sisi, ia rindu kebersamaan mereka, namun di sisi lain, ia ingin menunjukkan pada mereka bahwa ada hal yang lebih penting dalam hidupnya saat ini.

Setelah beberapa menit, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, Asep yang mengirim pesan langsung ke chat pribadi.

Cecepp
Online

Maaf ya, Sa. Aldi mungkin kelewatan. Tapi gue harap lo ngerti, kita cuma nggak pengen lo kecapean mikirin itu mulu. Kita tetep dukung lo kok, apa pun yang lo pilih.
19:10

Karisa membaca pesan itu sambil menarik napas panjang, berusaha meredakan emosinya. Asep memang selalu lebih pengertian daripada Aldi, dan ia merasa sedikit tenang membaca pesannya.

Gue ngerti kok, Sep. Makasih ya. Cuma… ini penting banget buat gue. Gue cuma butuh waktu buat fokus, dan gue janji bakal balik lagi ke kalian kalau semuanya selesai.
Send 19:10

Semangat isaa, gue yakin lo pasti bisa.
19:10

Read.

Setelah itu, Karisa mematikan ponselnya dan kembali menatap lukisannya yang belum selesai. Meski merasa bersalah pada teman-temannya, ia tahu bahwa inilah jalan yang harus ia tempuh. Lukisan itu lebih dari sekadar gambar, melainkan simbol dari perjuangannya, dan ia tidak akan membiarkan apa pun mengganggu jalannya kali ini.


jangan lupaa vote, comment dan follow untuk update update an akuu selanjutnyaaa yaaa sayangkuu, terimakasihh

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melody Mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang