O5

4 3 0
                                    

"Keputusan keluarga atau keputusan Papa? Aku nggak akan menjalani hidup yang bukan pilihan aku sendiri, Pa,"

***

Karisa mengangguk mantap. "Iya, Pa. Aku serius pengen jadi pelukis. Aku pengen punya karya yang dihargai orang banyak. Aku pengen fokus ke situ dulu."

Darmawan menghela napas berat, lalu menggeleng perlahan. "Isa, Papa sebenarnya punya rencana lain buat kamu. Kamu tahu kan, keluarga kita punya tanggung jawab dan hubungan dengan beberapa keluarga lain. Dan Papa sudah bicarakan ini dengan Mama... Papa ingin kamu mempertimbangkan perjodohan."

Karisa terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Tapi setelah beberapa detik, ia menatap ayahnya dengan tatapan menyalang.

"Papa serius?" Karisa bertanya dengan nada tak percaya.

"Papa serius, Isa. Anak dari keluarga Harjono, Reyhan adalah pilihan yang tepat. Dia punya masa depan yang cerah, dan keluarganya punya hubungan baik dengan kita. Papa rasa dia akan menjadi pasangan yang baik untukmu."

Karisa menggeleng, menahan napas agar emosinya tidak meledak. "Pa, aku nggak bisa. Aku nggak mau dijodohin, apalagi sekarang. Aku pengen ngejar impian aku dulu."

Darmawan menatap Karisa dengan sorot mata yang tegas. "Isa, Papa bukan cuma mikirin masa depanmu, tapi juga masa depan keluarga kita. Reyhan itu anak yang baik, pintar, dan bertanggung jawab. Dia bisa menjamin masa depan yang stabil untuk kamu."

"Tapi itu bukan hidup yang aku mau, Pa! Aku pengen jadi pelukis, aku pengen ngejar impian aku tanpa ada beban. Aku masih muda, aku masih punya banyak waktu buat hal seperti ini" balas Karisa dengan nada keras kepala.

Pak Darmawan menghela napas panjang, seolah mencari kesabaran. "Isa, keluarga kita tidak bisa hanya mementingkan keinginan pribadi. Papa sudah memikirkan ini matang-matang, dan Papa minta kamu untuk menghormati keputusan keluarga."

"Keputusan keluarga atau keputusan Papa? Aku nggak akan menjalani hidup yang bukan pilihan aku sendiri, Pa" jawab Karisa sambil berdiri dari kursinya.

Percakapan itu berakhir dengan suasana tegang. Karisa meninggalkan ruang kerja ayahnya dengan perasaan penuh amarah dan kekecewaan. Di satu sisi, ia ingin memperjuangkan mimpinya, namun di sisi lain, ia merasakan tekanan besar dari ayahnya yang terus mendesaknya.

Setelah masuk ke kamarnya, Karisa menghempaskan dirinya di tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar sambil merenung. Meski marah, ada sedikit rasa bersalah muncul di dalam hatinya karena menentang ayahnya. Namun, ia tahu bahwa impiannya menjadi pelukis adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup.

Dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri. "Gue akan membuktiin kalo gue bisa sukses dengan pilihan gue sendiri, tanpa harus dikekang perjodohan bodoh ini."

Setelah lama berbaring dan bergulat dengan pikirannya sendiri, Karisa memutuskan untuk melampiaskan kegundahannya lewat menggambar. Ia meraih sketchbook dan mulai menggoreskan pensilnya dengan cepat. Gambar demi gambar terisi penuh emosi-gurat-gurat tajam, garis kasar, dan bayangan yang menggambarkan perasaannya yang penuh gejolak. Gambarnya penuh dengan sosok-sosok yang terlihat marah dan frustasi, seakan memprotes keadaan yang memaksanya memilih antara impian dan keluarga.

Karisa menarik napas dalam-dalam. Dia tahu, meskipun dia marah dan kecewa, perasaan itu nggak akan mengubah keputusan ayahnya begitu saja. Keluarganya selalu memandang perjodohan sebagai solusi terbaik untuk mempertahankan hubungan baik dengan keluarga-keluarga terpandang. Di mata mereka, cinta atau mimpi adalah sesuatu yang bisa "menunggu" di balik tuntutan keluarga.

***

Malamnya, saat makan malam, suasana di meja makan terasa sunyi dan tegang. Maya, ibunya Karisa, menyadari ada sesuatu yang tidak beres antara Karisa dan Darmawan. Namun, dia tidak langsung menanyakannya, takut malah memperburuk keadaan. Karisa hanya memainkan makanannya, tanpa benar-benar berselera.

"Isa," suara lembut ibunya terdengar memecah keheningan. "Kamu kelihatan lelah. Banyak tugas di sekolah?"

Karisa mengangkat bahu. "Nggak juga, Ma. Biasa aja."

Sebenarnya, dia ingin sekali menceritakan kegundahannya pada ibunya, tapi dia ragu. Di satu sisi, Maya mungkin akan mendukungnya. Tapi di sisi lain, Maya juga adalah istri yang selalu setia mendampingi Darmawan, bahkan dalam keputusan-keputusan besar keluarga.

Darmawan hanya menghela napas dan menatap Karisa dengan pandangan yang sulit ditebak. Seakan dalam tatapan itu, ada keinginan untuk berbicara namun tertahan oleh tembok yang telah mereka bangun dalam percakapan sebelumnya.

***

Keesokan harinya di sekolah, Karisa bertemu dengan Raisa. Sahabatnya itu langsung tahu bahwa ada yang mengganggu pikiran Karisa.

"Lo kelihatan kacau banget, Isa. Ada apa?" tanya Raisa, menatap Karisa dengan sorot penuh kekhawatiran.

Karisa menghela napas, ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerita. "Rai, gue ada masalah gede. Papa gue mau jodohin gue sama cowok yang bahkan gue belum pernah ketemu."

Mata Raisa melebar. "Serius? Lo dijodohin? Gila, Isa, itu zaman kapan sih?"

Karisa tersenyum pahit. "Ya, itulah keluarga gue. Tradisi dan reputasi keluarga selalu jadi prioritas. Mereka nggak peduli sama mimpi gue buat jadi pelukis."

Raisa menggelengkan kepala. "Lo mau gimana sekarang? Lo bakal lawan keputusan itu?"

"Jelas gue bakal lawan, Rai. Tapi gue nggak tahu gimana cara ngeyakinin mereka kalau ini hidup gue, bukan sekadar alat buat memenuhi keinginan keluarga."

Raisa menepuk bahu Karisa, memberi dukungan. "Gue percaya lo bisa, Isa. Lo selalu keras kepala kalau soal mimpi lo, dan gue yakin lo bisa bikin keluarga lo ngeliat itu."

***

ada gak ini yang kaya gini? harus selalu ngikutin kata orang tua, padahal kan kita punya tujuan masing masing.

Jangan lupa follow, vote dan comment okeyy, terimakasihh cilov!

Melody Mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang