Ciuman pertama mereka dimulai tanpa sengaja dengan sederhana. Joss yakin itu diprakarsai oleh alkohol dan suasana klub malam yang terlampau riuh dengan berbagai rasa. Semua orang sempoyongan, Foei tak henti-hentinya memesan alkohol dan berteriak pada DJ untuk memainkan lagu electro termutakhir. Tawa dan kelakar tentang masa muda saling tumpang tindih. Tenggorokan Joss sakit lantaran terlalu banyak bicara tentang berbagai kisah tolol yang terjadi pekan itu. Ia selalu menemukan dirinya berada di kerumunan, bertemu dengan orang-orang, dan menikmati momentum yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Namun, terlepas dari segala atensi yang ia terima, Joss tak bisa memungkiri kalau arah manik ainnya selalu tertuju pada sudut meja itu—tempat Gawin berada.
Laki-laki itu hadir di antara mereka tapi entah mengapa selalu terasa jauh. Joss barang tentu menyadari kalau Gawin bukan tipikal manusia pecinta bising. Ia datang kemari hanya untuk memenuhi kebutuhannya sebagai manusia: bersosialisasi. Lantas jika tuntas, laki-laki itu akan kembali siuh mendekam di liang gua untuk mengisi daya kehidupan. Tak ada seorang pun dari mereka yang mengeluhkan hal itu, Gawin bukan teman nongkrong yang buruk meski tak memiliki energi yang meledak-ledak. Alih-alih, laki-laki itu selalu bisa jadi pendengar ulung. Ia gemar menyimak segala prahara lalu menanggapi masalah dengan ketenangan yang nyata. Semua orang berkeluh kesah pada Gawin karena di meja itu hanya dia satu-satunya orang yang tak akan menghakimi. Ya, eksistensi Gawin adalah anomali yang entah mengapa membuat mereka merasa nyaman, tak terkecuali Joss.
Ia selalu dapat menemukan damai jika berada di dekat laki-laki itu.
"Kenapa? Udah mabuk lu?"
Joss terhunyung merangkak di atas sofa dan nyaris terjungkal jatuh jika tidak dibantu Gawin. Ia terperenyak di sisi laki-laki itu dan menempel pada tubuh Gawin seperti perangko dengan kedua tangan melingkar erat pada tubuh yang hanya sedikit lebih kecil darinya itu. Wajah Joss memanas, ia lupa menakar ambang batas toleransi alkoholnya dan membiarkan Bible mencekokinya dengan merk whiskey Jepang teranyar yang dibawa sebagai buah tangan. Joss benci pada dirinya yang tak bisa menolak minuman keras.
"G-gak, cuman... pusing banget... kepala gue..." Joss denial seraya merebahkan kepala pada ceruk di antara bahu dan mandibula Gawin.
Gawin tertawa tanpa suara, lantas ia meletakan gelas whiskey di tangannya ke atas meja dan membiarkan Joss menguasai tubuhnya sejenak. Pipi Gawin menempel ada puncak kepada pria itu dan menghidu lamat-lamat aroma ganja yang tadi mereka hisap bersama tertinggal di sana. Gawin tidak tahu sejak kapan ia mengizinkan dirinya untuk berada sedekat ini dengan manusia lain. Bahasa batinnya barangkali lebih rumit dari yang manusia biasa bisa pahami, maka dari itu Gawin memutuskan lebih banyak diam dan mendengar. Namun, bersama Joss, entah kenapa ia mampu menerjemahkan dirinya dengan lebih sederhana tanpa galat. Seolah-olah dengan kehadiran pria itu di hidupnya, Gawin tahu ia akan merasa aman.
"Lain kali kalau Bible bawa miras lu gak usah ikut-ikutan minum," ujar Gawin untuk mengisi kekosongan suara di antara mereka. "Lu tuh kalau udah sekali nyoba miras merk baru suka lepas diri."
"Eurghhh..." Joss mengerang, kepalanya pengar dan telinganya sejurus terasa pengang ketika mendengar anjuran Gawin. "Gue... gak mabuk... Winnn...."
Mendengar Joss yang masih mengikari fakta, Gawin hanya menghela napas panjang lalu menepuk-nepuk punggung pria itu. "Iya, iya, percaya gue," tanggapnya hanya karena malas berdebat dengan orang mabuk.
Joss yang bisa merasakan ucapan setengah hati Gawin itu sejurus merasa kesal karena pikirannya telah diselimuti alkohol. Sambil meracau Joss pun mencoba menarik sedikit etape dari tubuh Gawin, lalu mengangkat kepalanya untuk menunjukkan kalau ia baik-baik saja. Namun di waktu yang bersamaan Gawin pun melayangkan pandangan pada Joss dan tanpa bisa terelakan bibir mereka bersentuhan di satu momentum yang singkat.
Hanya dua detik tapi rasanya seperti sewindu, Gawin lekas menarik bibir karena refleknya lebih cekatan sementara Joss terpaku di tempat. Kedua tangan pria itu masih melingkar di tubuh Gawin kendati renggang, jadi ia hanya bisa memalingkan wajah yang memanas karena tak bisa menghindar.
"J-Joss, sorry... kayaknya lu...." Gawin mencoba mendorong tubuh Joss menjauh karena ia terlalu malu untuk menghadapi konsekuensi dari kecelakaan yang sepertinya membuka kotak pandora hubungan mereka. Perlahan-lahan Gawin mulai kehilangan kendali atas degup jantung sendiri karena suara dentuman di rongga dadanya terdengar lebih nyaring dari ingar bingar musik EDM di ruangan itu.
"Gawin..." Joss menarik laki-laki itu mendekat dan memaksa Gawin kembali menatapnya. "Gue gak mabuk," ujarnya mantap dalam satu tarikan napas.
Terperangah, Gawin tak dapat mengatakan apa pun. Namun, ruangan remang dengan lampu disko yang menembakan cahaya warna-warni itu tak dapat menyembunyikan bahasa hati yang terpapar gamblang pada ekspresinya. Dari seluruh hal yang pernah ia rasakan, Gawin tak pernah menemukan rasa dengan intensitas semegah ini dan ia sama sekali tak berani menamaninya dengan istilah apa pun...
...karena ini rasa yang entah kenapa bisa membuat Gawin meruntuhkan tembok-temboknya di depan Joss; karena ini rasa yang sama ketika Gawin tanpa sadar mengizinkan Joss merangkul dan memeluknya sepanjang waktu; karena ini rasa yang juga membuatnya tak bisa tidur semalam suntuk; karena ini rasa yang membuat dirinya pada detik ini-momen ini-kala kini, membiarkan Joss merengkuh tengkuknya, menarik wajahnya, dan kembali memagut bibirnya dalam ciuman yang lebih dari sekadar halusinasi semata—Joss menciumnya seolah-olah esok hari dunia kiamat.
"Hmm... ughm... haaa..."
Joss gila. Suara lenguhan serta desah yang lolos dari mulut Gawin membuatnya hilang kewarasan. Ia yakin separuh kesadarannya dikuasai alkohol tapi sedikit sisa kendali dalam dirinya masih dapat menjejak rasa pada bibir laki-laki itu, seperti sepatnya alkohol dan getirnya ganja, juga manis yang timbul entah dari mana—mungkin bibir Gawin memang rasanya manis. Lebih manis dari permen kegemarannya; lebih manis dari gula mana pun; juga lebih manis dari mimpi basah yang sekali waktu pernah ia alami setelah pertemuan ketiganya dengan laki-laki itu. Joss tak dapat menahan dirinya, bibir Gawin nyatanya memang jauh lebih manis dari yang pernah ia bayangkan selama ini.
"Hmmm... Ahh... hahhh...."
Akhirnya, untuk sejenak, Joss menarik jeda pada ciuman mereka dan melepaskan pagutan yang meninggalkan jejak saliva pada bibir masing-masing. Ia memandang lurus pada ain Gawin dan menemukan pantulan wajahnya sendiri pada mata hazel itu. Gawin membalas pandangannya dengan ekspresi yang sulit ia gambarkan; ekspresi yang membuatnya merasa nyaman namun sedih di waktu yang bersamaan karena semua rasa yang bermanifestasi dalam ciuman itu hanya akan berhenti di sana tanpa menemukan akhir.
"Cium gue lagi, Joss."
Suara Gawin terdengar dingin juga rapuh dan sejurus membuat tengkuk Joss meremang takut meskipun ia menuruti. Lantas seiring bibir yang kembali bertaut, Joss pun mengerti, bahwa bagi Gawin tak akan ada yang berubah dari mereka setelah ciuman itu. Bahwa entah sebanyak apa pun Joss menciumnya, Gawin akan menerima itu tak lebih dari sekadar pelampiasan nafsu jahanam semata—tak lebih, tak kurang, karena laki-laki itu terlalu takut untuk memulai sesuatu yang tak pasti...
...karena mereka berdua terlalu pengecut untuk mulai mencintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Joss x Gawin] Our Alternative Reality
Fanfiction"Joss..." "Hm?" "Lu masih mau nunggu gue gak?" Gawin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang meluap-luap. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Joss dan mendengar dengan saksama bagaimana jantung pria itu berdegup dengan nyaring...